Kelompok Filsuf dalam Analisis Kebijakan

Machiavelli (1469-1527) dan Bacon (1561-1626). Machiavelli berusaha mengkaitkan antara teori-teori pemerintahan dengan politik aktual. Pemerintahan adalah sebuah ketrampilan dan studi pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan. Menurutnya pihak penguasa perlu memahami bagaimana kekuasaan tersebut bekerja. Dengan pemahaman atas realitas politik dan kekuasaan, pembuat keputusan dapat menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki kemampuan lebih besar untuk mengatasi persoalan. Politisi (pangeran, the prince) yang efektif adalah orang yang paling baik dalam memanfaatkan waktu dan situasi.

Kesuksesan, kinerja, dan meraih hasil yang diharapkan adalah kriteria untuk menilai oarang-rang yang bekerja di pemerintahan. Kebijakan adalah strategi untuk mencapai tujuan dan dalam upaya tersebut kebijakan benar atau salah tidak menjadi soal yang terpenting karena yang terpenting kebijakan mana yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut. Francis Bacon mengemukakan bahwa kebijakan yang baik pada dasarnya mengandung semacam kesadaran bahwa pelaksanaan kekuasaan memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan legimitasi dengan membangun dukungan dan persetujuan (keseimbangan) ketimbang menciptakan permusuhan. Kebijakan adalah penggunaan pengetahuan untuk mencapai tujuan pemerintahan.
Jeremy Bentham (1748-1823) dan James Mill (1773-1836). Dasar tindakan individu dan kebijakan pemerintah adalah prinsip utilitas, yakni the greatest happiness for the greatest number. Keputusan yang baik seharusnya menghasilkan konsekuensi yang baik pula dan dimungkinkan untuk membuat kalkulasi (secara kuantitatif) dan membandingkan tindakan berdasarkan konsekuensinya. Dengan melakukan kalkulasi terhadap kesejahteraan manusia maka para ekonom dapat menyusun metode perbandingan biaya dan keuntungan dan definisi tingkat-tingkat efisiensinya.
William James (1842-1819) dan John Dewey (1859-1952). James berpendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide, dimana kebenaran tersebut karena adanya kejadian-kejadian. Ide adalah aktivitas yang memampukan manusia untuk memodifikasi lingkungan mereka dalam rangka bertahan dan melanjutkan kehidupan. Pemikiran yang bersandarkan pengetahuan empiris akan mengilhami banyak pembaru sosial, ilmuwan sosial dan politik untuk memperbaikin dan menyesuaikan kebijakan dan prosesnya dalam upaya memajukan umat manusia. Dewey menggunakan metode eksperimen sosial dalam bentuk pembelajaran uji coba (trial and error). Demokrasi dipahami sebagai aktivitas penelitian dimana ide-ide dipertukarkan, dan merupakan tempat dimana masyarakat memecahkan masalah melalui pembelajaran dan pengujian (menggunakan pengetahuan ilmiah).
Rawls dan Nozick : Teori Keadilan. Karya Rawls (1971). Theory of Justice, banyak membahas pandangan utilitarian mengenai kesejahteraan dan mengajukan sebuah model keadilan yang mengandung kejujuran (fairness). Menurutnya perbedaan dapat diterima jika kesenjangan ekonomi dan sosial dapat memaksimalkan keuntungan bagi pihak yang kurang beruntung. Keadilan merupakan kesetaraan kesempatan dimana orang-orang yang mempunyai kemampuan sama harus mempunyai kesempatan hidup yang sama dan hal ini merupakan landasan filosofis dalam menciptakan kebijakan publik. Nozick (1974), Anarchy, State, and Utopia, menentang gagasan Rawls tentang keadilan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan distribusi hasil secara fair. Pendapatnya bahwa konsep keadilan distribusi tidak terlalu tepat secara teori maupun di dunia nyata, tetapi yang terpenting adalah pemberian hak-hak individual secara baik. Keadilan harus berhubungan dengan apa yang menjadi hak-hak individu dan bukan atas dasar sesuatu yang dianggap fair. Distribusi dapat adil jika setiap orang mendapatkan hak atas apa yang mereka miliki. Individu dan pasar merupakan satu-satunya cara di dunia bebas agar masyarakat dapat diatur dengan baik dan mendapatkan keadilan.
Karl Popper : Model Rekayasa Sedikit Demi Sedikit. Popper (1959) menyatakan bahwa metode kebijakan publik yang bertujuan untuk pengambilan keputusan politik menggunakan pendekatan ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Metode ilmiah tidak terdiri dari proses pembuktian logis berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, tetapi lebih berada dalam setting dimana teori dapat difalsifikasi. Pengetahuan tidak pernah final dan semua teori bersifat tentatif. Hakekat pengetahuan bersifat perkiraan dan berkembang melalui proses yang memunculkan teori tentatif. Sedangkan teori bisa jadi tidak benar atau keliru dan karenanya muncul problem baru. Oleh sebab itu, kemajuan sosial bukanlah akibat dari perubahan besar atau total tetapi sebagai akibat dari siklus eksperimentasi trial and error, atau dengan istilah ”rekayasa sosial sedikit demi sedikit”.
Hayek : Tentang Pasar dan Pilihan Individual. Dalam karyanya Road to Serfdom (1944) dan The Constitutional of Liberty (1960), Hayek mengaplikasikan filsafat dan teori ekonomi untuk politik dan pemerintahan. Kebijakan merupakan apresiasi terhadap politik ide-ide dan menekankan pentingnya promosi ide-ide melalui organisasi. Hayek menolak positivistik logis dan mengkritik gagasan bahwa pengetahuan obyektif eksis atau dapat berfungsi sebagai basis untuk mendekdusikan hukum atau merencanakan masyarakat secara ilmiah. Menurutnya, pengetahuan manusia sangat terbatas dan terfragmentasi, maka negara, pemerintah atau birokrasi tidak dapat menyatukan atau mengoodinasikan semua informasi yang terbatas tersebut dalam rangka mengambil keputusan sosial dan mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu. Masyarakat bukan hasil desain manusia tetapi merupakan tatanan yang spontan. Oleh sebab itu, peran kebijakan publik hanya terbatas untuk memastikan agar tatanan spontan dalam masyarakat dan perekonomian dapat berjalan tanpa campur tangan pemerintah atau pengurangan terhadap persaingan bebas. Tugas negara adalah mempromosikan kebebasan individu dan pasar bebas, dan menegakkan aturan undang-undang demi kemaslahatan semua individu. Pembuatan kebijakan bukan untuk memecahkan masalah tetapi sebagai aktifitas memfasilitasi kebebasan personal dalam kerangka atauran dan hukum yang berlaku.
Etzioni : Komunitarianisme. Komunitarianisme menganggap bahwa individualisme pasar mengakibatkan masyarakat menjadi terpecah-pecah dan kehilangan sense of community dan solidaritas sosial, sehingga hubungan yang penting antara negara dengan masyarakat menjadi hilang. Oleh sebab itu, hubungan antar negara dengan masyarakat harus dibangun kembali dan dilindungi dalam rangka membangun kepercayaan etis. Menurut Etzioni (1994) pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan (walfare state) adalah tugas yang semula dilaksanakan negara harus mulai diserahkan kepada individu, keluarga dan komunitas sebagai upaya untuk mengembangkan rasa tanggung jawab personal sekaligus tanggung jawab bersama. Tetapi jika individu atau keluarga yang dekat dengan persoalan tidak dapat mengatasi persoalan maka komunitas lokal diperbolehkan terlibat dan jika komunitas lokal tidak mampu mengatasi persoalan baru negara diperbolehkan terlibat. Terkait dengan kebijakan publik harus ada kejelasan dan dibutuhkan kebangkitan tanggung jawab perorangan, keluarag, komunitas, masyarakat keseluruhan, dan negara.
Hebermas : Rasionalitas Komunikatif. Analisis kebijakan merupakan bidang interdispliner sebagai ide-ide tentang peran akal dalam persoalan manusia. Dalam analisis kebijakan didominasi oleh keyakinan pada rasionalitas dalam memecahkan problem. Namun menurut Habermas, nalar (reason) bukanlah sebuah proses logis untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan secara obyektif, tetapi proses untuk mendapatkan pemahaman dalam suatu konteks sosial. Oleh sebab itu, ia menyarankan perlunya perhatian yang besar kepada bahasa, diskursus, dan argumentasi dalam melakukan analisis kebijakan publik serta dibutuhkan metode analisis baru dan proses institusional baru yang mampu mempromosikan pendekatan interkomunikatif untuk merumuskan dan menyampaikan kebijakan publik.

Read More......

Pergeseran Fokus dan Kerangka Analisis Kebijakan

Fokus orientasi kebijakan terus menerus mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Saat ini metodologi dan filosofi subyek kebijakan menjadi lebih beragam. Tiga aspek kunci dari terjadinya perubahan teori dan praktek analisis kebijakan adalah:
Kekecewaan terhadap pendekatan positivisme. Analisis kebijakan positivisme berasal dari argumen yang mengkritisi sifat investigasi ilmiah dan perubahan teoritis.

Menurut Karl Popper pembuatan kebijakan adalah kegiatan yang mendekati ”rekayasa sosial sedikit demi sedikit”. Menurut Thomas Kuhn, positivisme tidak memahami fakta sebagai bentuk nilai. Sains bukan merupakan aktivitas dimana ilmuwan berusaha membuktikan kesalahan teorinya. Pada dasarnya para ilmuwan menunjukkan keengganan untuk meninggalkan teorinya sampai terjadinya krisis yang memaksa untuk mengubah atau menggeser paradigma. Sedangkan menurut Berger dan Luckman (1966) realitas dikontruksi secara sosial dan bukan realitas obyektif. Oleh sebab itu, kebijakan publik menekankan perlunya menganalisis politik dan kebijakan sebgaai model diskursus yang menuyusun realitas;
Ketertarikan besar pada pasar dan manajemen. Fokus analisis kebijakan dan studi proses kebijakan adalah pada pembuat kebijakan, yaitu bagaimana keputusan dibuat (oleh elit secara pluralistik, rasional, atau inkremental) dan bagaimana kemampuan pembuatan keputusan dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik atau metode baru. Fokus pada pembuat kebijakan atau penguasa (tahun 1960-an) tersebut mulai bergeser setelah munculnya persoalan bahwa pemerintah atau penguasa kelebihan beban dan gagal dalam mengimplementasikan kebijakan (tahun 1970-an), sehingga salah satunya muncul proses pembuatan kebijakan secara bottom up. Tetapi pada tahun 1980-an paradigma atau konsep tersebut juga mengalami pergeseran, yaitu lebih difokuskan pada pemberian kebebasan pada pasar dan menyatakan bahwa intervensi pemerintah atau penguasa (birokrasi) ke dalam pasar semakin memperburuk kondisi pasar. Sampai dengan tahun 1990-an, fokus kebijakan yang lebih mengarah pada kebebasan pasar (kaitan negara, masyarakat, dan ekonomi) dan memandang bahwa administrasi publik sebagai manajemen publik, masih tetap dipertahankan.
Model Baru Proses Kebijakan. Kekecewaan terhadap model yang menjelaskan proses kerja pembuatan kebijakan modern dengan konsep ”segi tiga besi”, yaitu relasi antara pemerintah (administrasi), literatur, dan kelompok kepentingan, mengakibatkan munculnya model baru proses kebijakan. Dalam model baru tersebut menggunakan metafora jaringan (network) dan komunitas (community). Disamping itu, model baru juga memperhatikan peran intitusi dalam ilmu politik, sosiologi, ekonomi yang sering diabaikan oleh para pembuat kebijakan. Model baru tersebut menjadi penting karena dalam proses pembuatan kebijakan publik mencakup bidang yang semakin beragam dan menggunakan lebih banyak kerangka pemikiran.


Read More......

Meta Analisis : Konseb Publik dan Kebijakan

Meta Analisis merupakan metode atau pendekatan yang digunakan dalam studi kebijakan publik, yang mempunyai tujuan untuk memahami dan mengkritisi gagasan, ide, bahasa, asal usul, asumsi, model, dan signifikansi yang digunakan dalam melakukan sebuah analisis kebijakan publik. Dalam melakukan meta analisis kebijakan publik diawali dengan memahami makna dan gagasan tentang publik. Istilah publik merupakan segala aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama.

Oleh sebab itu, sering muncul istilah kepentingan publik, barang publik, sektor publik, akuntabilitas publik, utang publik dan lain-lain. Istilah publik tersebut menjadi berbeda dengan istilah privat atau murni milik pribadi, namun batasan antara ruang publik dengan ruang privat sering menjadi perdebatan atau konflik yang berkepanjangan.
Upaya untuk menjelaskan perbedaan antara ruang publik dengan ruang privat, telah dilakukan oleh para ahli bidang Ekonomi Politik dengan menggunakan gagasan pasar (market) (Habermas, 1989). Kekuatan pasar dapat dianggap sebagai cara untuk memaksimalkan kepentingan individual dan sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Peran negara adalah untuk menciptakan kondisi yang dapat menjamin kepentingan publik dan akan lebih baik jika tidak terlalu banyak campur tangan dalam pasar, atau dengan istilah memberikan kebebasan ekonomi. Kepentingan publik dapat terlayani dengan baik jika negara memfasilitasi kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar, dan bukan membatasi atau mengaturnya. Intervensi publik oleh negara ditujukan sebagai upaya menjamin penegakkan hukum, hak asasi, dan ketertiban. Dengan demikian, tujuan pengambilan kebijakan publik (Laswell, 1971) yang dilakukan oleh negara adalah mengelola ruang publik beserta masalah-masalahnya dan menangani aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang tidak mampu diselesaikan oleh kekuatan atau mekanisme pasar.
Upaya untuk mengelola ruang publik oleh negara tersebut di atas, memunculkan konsep administrasi publik yang merupakan sarana untuk mengamankan kepentingan publik. Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pegawai negeri sipil yang mempunyai tugas melaksanakan semua perintah negara (pemerintah). Oleh karena itu, birokrasi publik menjadi sangat berbeda dengan birokrasi yang ada disektor privat atau swasta (misalnya dunia bisnis, perdagangan atau industri), karena birokrasi publik lebih mengarah kepada upaya untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan nasional, dan bukan untuk mengamankan kepentingan privat atau swasta (Weber, 1991).
Melakukan analisis tentang konsep publik tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan konsep kebijakan. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni a) Berorientasi persoalan; b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik penelitian (multimetode); dan c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan. Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang proses politik, artinya a) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk, proses politik, dan; b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik.
Menurut Herbert Simon, studi kebijakan mempunyai jangkauan yang lebih luas dan bersifat multidisipliner yang mempunyai dampak terhadap ilmu sosial yang lainnya. Perhatian terhadap proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas, yaitu sebagai sesuatu yang ”terkekang” namun mampu membuat perbaikan. Menurut pendapat Charles Lindblom (1993) bahwa proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas dengan menggunakan pendekatan ”incrementalism” atau bertingkat naik, artinya bahwa proses pengambilan keputusan merupakan langkah-langkah yang tertata dan penuh pertimbangan, dan pembuatan kebijakan adalah sebuah proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh sebab itu, dalam mempelajari proses kebijakan harus mempertimbangkan berbagai hal, antara lain terkait pemilihan umum, birokrasi, partai, politisi, kelompok kepentingan, dunia bisnis, kesenjangan, dan keterbatasan kemampuan untuk melakukan analisis. Sedangkan menurut pendapat David Easton (1953) bahwa proses kebijakan dapat dilihat dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan), permintaan di dalam sistem politik, dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan. David Easton berusaha membuat konsep hubungan antara pembuat kebijakan, output kebijakan dan lingkungannya yang lebih luas.

Read More......

TARI BARONGAN; AROGAN TAPI “DUNGU”

Munculnya klaim tari barongan yang datang dari negeri Malaysia (komunitas masyarakat Johor dan Selangor), yang mirip tari Reyog Ponorogo, sempat membuat geram wong Ponorogo. Tak heran jika kemunculannya mengundang reaksi beragam; mulai yang bersifat reaksioner-bombastis hingga yang bernada “kalem-cuek” . Berbagai bentuk pengungkapan kekesalan masyarakat Ponorogo, nampak dengan sangat jelas adanya motif yang sama, yakni merasa hak milik nya diserobot orang dan karena itu harus “dibelani” dengan sikap dan bahasa masing-masing.

Benar memang kalau melihat gambar yang dipampangkan lewat internet maupun media lain, bahwa tari barongan yang diklaim itu sangat mirip dengan tari Reyog Ponorogo. Mulai dadak merak, warok, pujangganong, penari kuda, dan seterusnya adalah sangat sulit dicari perbedaannya dengan Reyog Ponorogo. Atau bisa jadi gambar itu diambil dari pentas Reyog Ponorogo dan kemudian dikoleksi dan direkayasa dengan pesan-pesan klaim tari barongan tersebut.
Terlepas apakah tari barongan itu sadapan dari tari Reyog Ponorogo atau tidak, justru penulis tertarik pada bagian sinopsis legenda tari barongan yang tertulis di bawah publikasi yang disampaikannya. Secara singkat pesan legenda itu menyebut bahwa reyog atau mereka menyebutnya tari barongan itu muncul ketika Nabi Sulaiman sedang melakukan perjalanan dan kemudian bertemu dengan sejumlah binatang dan kemudian beliau melakukan percakapan dengan para binatang itu, termasuk dengan dadak merak yang bentuk fisiknya persis dengan dadak merak produk para pengrajin Reyog Ponorogo (mungkin saja kalau ditunjukkan kepada para pengrajin Reyog di Ponorogo akan ada salah satu dari mereka yang bisa mengenali bahwa dadak merak itu adalah produknya). Sekali lagi, penulis justru tertarik pada pesan legenda yang mereka bangun. Legenda biasanya diciptakan untuk memberi tanda terkait dengan keadaan alam atau nama sebuah daerah. Para pakar dalam bidang ini sependapat mengatakan demikian, misalnya Liberatus Tengsoe Tjahjono, Burhan Nurgiyantoro, dan lainnya. Jadi, sekalipun ia merupakan sebuah dongeng yang diciptakan oleh masyarakat sehubungan dengan keadaan alam yang melingkupi, jelas ia tidak lepas sama sekali dengan ruang dan waktu yang melingkupi sebuah legenda itu lahir dan berkembang. Tari Reyog Ponorogo, misalnya, yang terpayungi oleh sejumlah legenda kelahirannya, semuanya sangat jelas menunjukkan kesesuaian dengan perkembangan ruang-waktu masyarakat Ponorogo, misalnya; ia dilatari dengan masa dimana masyarakat Ponorogo masih memeluk animisme dinamisme dimana salah satunya menghadirkan sosok macan (harimau) yang diyakini sebagai satu-satunya binatang yang memiliki kekuatan dahsyat dan karena itu layak dijadikan idola (“tuhan”) dalam mengawal hidup dan kehidupan masyarakatnya. Ia dilatari juga oleh sebuah peristiwa kemegahan dan kejayaan kerajaan Wengker yang pernah besar di Ponorogo, hingga untuk menandai kebesaran dan kemegahannya itu dibuat sebuah legenda yang menunjukkan tidak saja para manusia yang nyengkuyung kekuasaan sang raja (Klonosewandono), tetapi hingga para binatang belantara pun ikut tunduk dan patuh kepadanya. Ada juga yang dilatari dengan sebuah jaman dimana agama Islam telah masuk dan dipeluk oleh sebagian masyarakat Ponorogo, sehingga karena itu ada manik-manik (semacam tasbih: alat untuk menghitung zikr yang dibaca oleh seorang Muslim terutama setelah melakukan shalat) yang dipasang di taruh burung merak sebagai tanda adanya gerakan islamisasi dimaksud. Begitu seterusnya masih banyak legenda yang memayungi kelahiran Reyog Ponorogo, yang kesemuanya tak lepas sama sekali dengan sejarah Ponorogo.
Akan halnya legenda tari barongan, menjadi sangat “lucu” dan “naïf” ketika disebut disana, bahwa kemunculannya berkait erat dengan jaman Nabi Sulaiman, dimana aspek ini jelas-jelas lepas dengan ruang dan waktu yang melingkupi tempat kelahirannya; Malaysia. Memang bisa saja sang kreator nya menghubung-hubungkan dengan negeri Arab atau lebih luas negeri Timur Tengah, dimana sang Nabi Sulaiman yang dijadikannya background legendanya lahir disana. Tapi ingat bahwa sebuah nama “tari barongan” yang kadung dipakai - sama sekali tidak mencerminkan Arab. Mungkin saja sang kreator akan menyanggah bahwa sebuah nama tidak harus selalu mengambil dari bahasa negeri asalnya- Arab, tapi alasan itu justru lucu dan ngawur, karena otomatis akan mengaburkan identitas pemilik legenda. Ataukah Nabi Sulaiman pernah plesir ke negeri Slangor dan Johor ?
Karena itu ada beberapa catatan khusus untuk sang kreator tari barongan, selebihnya untuk orang dan pihak yang ikut “ndaku”; Pertama, mengkreasi dan kemudian mengklaim sebuah karya orang lain menjadi miliknya adalah sebuah sikap arogan; jumawah, ngawur, dan sembrono. Bagaimana tidak, sebuah karya seni, termasuk seni Reyog Ponorogo lahir dan berkembang, tidak tanpa upaya dan kerja keras. Ia telah memaksa para penggagas awal hingga generasi penerus (anak cicit wong Ponorogo) untuk rela meluangkan segala energi yang dimiliki (lahir-batin) untuk mempertahankan, memelihara, dan memperkembangkannya dari waktu ke waktu. Nah, dengan demikian, menyerobot kemudian mengkreasi dan mengklaim nya sebagai pemilik nya adalah sebuah sikap yang tidak saja tidak sopan, tapi sebuah sikap sombong dan jumawah pewaris “betharakala” yang main “untal” – melahap apa saja yang dimauinya, karena memang tidak memiliki nurani. Kedua, mengklaim tari barongan sebagai miliknya adalah sebuah sikap “dungu”. Kedunguan sang kreator akan nampak dalam beberapa hal; (1) Nabi Sulaiman yang dijadikan latar legenda kelahirannya sama sekali tidak matching dengan ruang dan waktu Malaysia. Justru hal ini menjadi sangat “naïf” manakala dihubungkan dengan perkembangan sosial keagamaan (Islam) di Malaysia yang relatif sangat bagus, dimana penghubungan legenda dengan sebuah kenabian itu justru hanya akan menodai (baca: melecehkan) Islam dan sekaligus umat Islam disana; (2) Reyog Ponorogo yang kemudian ia sadap dengan nama tari barongan, jelas-jelas takkan pernah matching juga dengan karakter asli orang Johor dan Selangor, karena memang tari Reyog Ponorogo, khususnya tari warok nya digali dari karakter asli wong Ponorogo. Oke lah andaikan ada pembenaran yang didasarkan dengan kenyataan adanya komunitas wong Ponorogo atau orang Jawa Indonesia pada umumnya yang singgah dinegeri itu sebagai Tenaga Kerja Indonesia dan membentuk group Reyog Ponorogo. Tapi mengklaimnya sebagai tari barongan ala Malaysia, lagi-lagi tak bisa dibenarkan dengan dalih dan logika apapun.
Penulis yakin, pemerintah Malaysia takkan gegabah untuk ikut-ikutan meng-amini ambisi sang kreator yang arogan dan dungu itu. Penulis pun juga sangat yakin terhadap para pemilik seni Reyog Ponorogo takkan mudah terprovokasi oleh pancingan-pancingan “naïf” sang kreator tari barongan berikut para pecundangnya. Sikap, ucap, tindak yang arif dan tertata untuk menghadapi klaim tari barongan ini, justru akan membawa berbagai pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Ponorogo, bahwa seni Reyog Ponorogo ternyata memang besar. Pamor kebesarannya takkan pernah berhenti dari gangguan orang lain agar ia pudar dan kemudian punah dari negeri warok ini. Tapi upaya keras dan sikap yang tulus wong Ponorogo untuk menjaga kebesaran Reyog Ponorogo, akan menyebabkan akar kebesarannya semakin kokoh dan takkan ada upaya usil yang akan berhasil mencerabutnya, dengan cara arogan dan dungu sekalipun.
(Penulis Drs. Rido Kurnianto, M.Ag. Ketua LPPM Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Anggota Litbang Yayasan Reyog Ponorogo)

Read More......

Etos Kerja Pengusaha Muslim Perkotaan di Kota Ponorogo

Kemampuan pengusaha lokal dalam mengelola usaha perekonomian dan mampu bersaing diantara dominasi etnik Cina tidak banyak dijumpai di Indonesia. Kota Ponorogo merupakan salah satu kota yang menunjukkan gejala tersebut. Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo termasuk salah satu dari golongan yang mampu bertahan menghadapi dominasi etnik Cina dan mereka bahkan berhasil mendominasi beberapa jenis usaha. Pada kurun waktu antara tahun 1950 sampai dengan akhir tahun 1960, kota Ponorogo dikenal sebagai jalur perdagangan batik (sejajar dengan kota Surakarta, Yogyakarta dan Pekalongan) dan ketika batik menjadi “primadona” perekonomian lokal maka pengusaha muslim perkotaan sebagai pemegang kendali.

Tetapi ketika batik mengalami kemerosotan pada awal tahun 1970, maka berdampak pada menurunnya dominasi pengusaha muslim perkotaan dalam perekonomian di kota Ponorogo. Regenerasi perekonomian di kalangan pengusaha muslim perkotaan di Ponorogo berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan kurang ditanamkannya nilai-nilai kewirausahaan pada anak-anak mereka. Setelah mengalami kemerosotan kurang lebih selama 10 tahun, pengusaha muslim perkotaan mulai bangkit lagi pada akhir tahun 1980. Kebangkitan pengusaha muslim tersebut sebagian berasal dari keluarga pengusaha batik, yang pada masa itu termasuk kelas menengah, dan sebagian lagi merupakan pengusaha muslim baru yang berangkat dari bawah. Para pengusaha muslim generasi baru, yang berlatar belakang dari keluarga pengusaha batik, tidak lagi meneruskan usaha batik melainkan mengembangkan jenis usaha lain baik usaha pertokoan maupun usaha jasa. Sedangkan untuk pengusaha muslim baru yang memulai usaha dari bawah adalah mereka yang sebelumnya hanya sebagai karyawan pada usaha tertentu, karena kegigihannya maka mereka mampu membuka usaha secara mandiri dan bahkan usahanya sekarang lebih sukses dibandingkan dengan usaha tempat kerjanya dahulu (Harsono dan Santoso, 2005).
Sampai sekarang ini para pengusaha muslim perkotaan pada umumnya dalam menjalankan usahanya terkonsentrasi di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mangkujayan, Banyudono dan Bangunsari, yang semuanya terletak di wilayah Kecamatan Kota Ponorogo dan secara geografis berada di pusat Kota Ponorogo. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko meubel, sebagian besar beroperasi di Kelurahan Mangkujayan, khususnya Jalan Urip Sumoharjo, meskipun di lokasi tersebut juga terdapat beberapa pengusaha toko meubel dari etnik Cina. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko pakaian jadi, sebagian besar terkonsentrasi di Kelurahan Banyudono dan Bangunsari, terutama di Jalan Jaksa Agung, Jalan Bayangkara, Jalan Sukarno-Hatta dan Pasar Legi Selatan (Pasar Lanang). Sedangkan untuk jenis usaha yang lain, seperti apotik, hotel, kounter hand phone, rumah makan dan toko swalayan, wilayah penyebarannya lebih merata di banyak kelurahan di pusat kota.
Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo menjadi pengusaha sukses tidak berangkat dengan modal usaha yang besar tetapi mereka berangkat dengan modal semangat dan ketrampilan. Yang tidak kalah menarik dari etos kerja pengusaha muslim perkotaan adalah bahwa tingginya etos kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi semata tetapi juga didorong oleh motif religi dan sosial.

Motif Religi dan Sosial
Nilai-nilai agama dan kultural dapat memberikan dorongan pada seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu, terutama dalam bidang ekonomi. Motif religi yang mendorong keberhasilan hidup seseorang tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Terminologi etos kerja kaum Santri Pedagang menggambarkan keberhasilan para pengusaha muslim dalam mengembangkan usahanya di beberapa kota di Jawa pada tahun 1950-an, seperti Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Ponorogo dan kota lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat agama dengan lebih bersungguh-sungguh, dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi.
Disamping menunaikan ibadah haji, para pengusaha muslim perkotaan secara rutin membayar zakat, baik zakat fitrah pada Hari Raya Idul Fitri maupun zakat maal. Namun mereka mempunyai cara yang berbeda-beda dalam membayar zakat, yaitu ada yang menyerahkan zakatnya langsung kepada panitia zakat, ada yang lebih suka membayarkan sendiri zakatnya pada yang berhak dan ada menyerahkan zakatnya pada sebuah panti asuhan anak yatim. Menunaikan ibadah haji adalah dalam rangka memenuhi motivasi religi, sedangkan membayar zakat disamping untuk memenuhi motif religi, juga dimaksudkan untuk memenuhi motif sosial. Zakat yang mereka keluarkan tidak hanya untuk membantu masjid saja tetapi juga untuk kegiatan sosial, yaitu memberikan shodaqoh untuk panti asuhan dan menyalurkan beras untuk kaum miskin. Para pengusaha muslim perkotaan sangat percaya bahwa puluhan juta rupiah yang dikeluarkan dalam dua bentuk kegiatan tersebut (ibadah haji dan membayar zakat) akan diganti oleh Allah SWT dengan kemudahan rezeki melalui kemajuan usaha mereka.
Terkait dengan promosi usaha melalui dunia periklanan, kebanyakan pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo belum banyak memanfaatkannya, namun demikian bukan berarti mereka menjadi pasif terhadap promosi atas kegiatan usahanya. Kerelasian dengan berbagai pihak selalu mereka kembangkan memalui organisasi-organisasi sosial yang mereka ikuti. Dalam mengembangkan kiat untuk menjaga kerelasian dengan mitra maupun konsumen, mereka selalu berusaha untuk tidak membuat kecewa apalagi marah. Sedangkan terhadap dunia perbankan para pengusaha muslim perkotaan tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sejak awal usahanya sudah berhubungan dengan dunia perbankan, karena dalam mengawali bisnisnya mereka memperoleh pinjaman modal dari sebuah bank. Sementara pengusaha muslim perkotaan yang lain dalam usaha mengembangkan bisnisnya tidak pernah berusaha memperoleh kredit dari perbankan. Mereka beranggapan bahwa bersentuhan dengan dunia perbankan adalah dilarang oleh agama, karena mengandung unsur riba. Sehingga dalam mengembangkan modal usahanya lebih banyak mengandalkan pada keuntungan yang mereka kumpulkan secara perlahan-lahan.

Simpulan
  1. Para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi, yaitu supaya bisa memenuhi kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga didorong oleh motif religi dan motif sosial. Tingginya etos kerja para pengusaha muslim perkotaan dalam menjalankan usahanya adalah modal utama dalam mengembangkan usaha mereka, disamping mereka punya pengalaman dan ketrampilan yang cukup.
  2. Temuan di lapangan telah menunjukkan bahwa para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo telah mengalami kemajuan usaha, baik di bidang perdagangan, jasa maupun industri, dan hal ini merupakan indikasi penting adanya etos kerja dan kemampuan yang baik dari para pengusaha tersebut dalam mengelola dan mengembangkan usaha mereka.

Read More......

Mobilitas Vertikal dan Pola Aliran Uang Tenaga Kerja Indonesia di Ponorogo

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil peneltiian ini adalah :
Dengan beremigrasi (mobilitas horisontal) ke beberapa negara, seperti Malaysia, Abu Dhabi, Baehein, Arab Saudi, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan, selama 10 bulan sampai dengan 8 tahun, para TKI mampu mencapai status sosial ekonomi yang lebih baik dengan peningkatan kepemilikan asset berupa hand phone, televisi, tape recorder, sepeda motor sampai pada asset yang bersifat investatif, seperti mobil, rumah, tanah, dan modal usaha berupa toko dan persewaan alat-alat terop.


Hal ini semua adalah hasil dari perjuangan mereka yang penuh dengan resiko dan tantangan untuk pencapaian pemenuhan kebutuhan hidup lebih baik atau N-Ach.
Dorongan gaya hidup yang konsumptif telah menyebabkan mereka membelanjakan uang hasil kerja selama di luar negeri. Karena mereka banyak belanja produk luar negeri, seperti hand phone, televisi, tape recorder dan sepeda motor, maka dalam waktu yang cepat uang yang mereka bawa dari luar negeri juga mengalir kembali ke luar negeri melalui agen-agen penjualan barang-barang tersebut.
Secara umum uang hasil kerja keras di luar negeri telah mampu menggerakkan roda-roda ekonomi di Ponorogo. Mereka tidak hanya mampu menggairahkan sektor formal, seperti dealer sepeda motor, toko barang-barang elektronika, toko besi, dan counter-counter hand phone, tetapi juga mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan, seperti warung-warung dan sentra-sentra industri genteng dan batu bata, serta mampu memberikan pekerjaan pada para tukang dan kuli bangunan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo c/q instansi terkait. Melihat begitu besarnya potensi TKI asal kota Ponorogo, maka sangat dibutuhkan pembekalan pra dan pasca menjadi TKI, khususnya terkait dengan pengelolaan keuangan dan kewirausahaan. Hal ini penting artinya agar uang yang dibawa TKI dari hasil jerih payahnya di luar negeri yang begitu besar tidak hilang begitu saja dalam waktu yang relatif singkat tetapi mampu sebagai modal usaha untuk berwirausaha secara mandiri. Disamping itu, perlu adanya kebijakan pemerintah daerah dalam hal mengembangkan potensi pasar desa yang ada. Potensi pasar desa di masing-masing desa di wilayah Kabupaten Ponorogo disamping sebagai media untuk pengembangan ekonomi kerakyatan di masing-masing desa, dapat juga sebagai sarana untuk menghambat percepatan keluarnya kembali uang yang dibawa dan atau remitan TKI ke luar daerah atau bahkan kembali ke luar negeri lagi, melalui pembelian barang-barang konsumtif produk luar negeri.

Perintahah Daerah dan DPRD Kabupaten Ponorogo. Perlindungan TKI sangat dibutuhkan untuk menjaga keselamatan dan keamanan secara keseluruhan mulai dari di penampungan, pemberangkatan, di tempat kerja, sampai dengan pulang ke daerah. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan Peraturan Daerah yang benar-benar peduli terhadap keselamatan dan keamanan TKI.
(Didanai oleh Ditjen Dikti Depdiknas, Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 008/SP2H/DP2M/III/2007)

Read More......

PARADIGMA DALAM ILMU SOSIOLOGI

Meskipun masih terjadi banyak perdebatan dalam penggolongan paradigma dalam ilmu Sosiologi, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga paradigma (George Ritzer: 2004­). Ketiga paradigma dimaksud adalah :

  1. Paradigma Fakta Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma fakta sosial terdiri dari dua tipe, yaitu Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Teori yang tergabung adalah Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Tokoh aliran ini antara lain : Emile Durkheim, Talcot Parson, Robert K. Merton, Herbert Gans, Karl Mark, Ralp Dahrendorf dan lain-lain. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode kuesioner dan interviu. Variabel penelitian lebih ke arah Group.
  2. Paradigma Definisi Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang Tindakan Sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori yang tergabung adalah Teori Aksi, Interaksionisme Simbolik, dan Fenomenologi. Tokoh aliran ini antara lain : Weber, Herbert Blumer, Florian Znaniencki, Persons, Cooley, John Dewey, Robert Park, GH Mead, dan lain-lain. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode observasi, dengan tipe Participant Observation, Participant as Observer, Observer as Participant, dan Complete Observer. Variabel penelitian bisa Individual atau Group.
  3. Paradigma Perilaku Sosial. Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma perilaku sosial adalah hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Teori yang tergabung adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange. Tokoh aliran ini antara lain : BF Skinner dan George Homan. Metode penelitian empiris yang digunakan cenderung ke arah metode kuesioner, interviu dan observasi. Variabel penelitian lebih ke Individual.

Read More......

Analisis Potensi Pajak Hotel dalam Meningkatkan PAD di Kabupaten Ponorogo

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian , maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Penetapan target penerimaan Pajak Hotel per tahun di Kabupaten Ponorogo masih belum berdasarkan potensi yang ada di masing-masing hotel; 2) Hasil penghitungan potensi penerimaan Pajak Hotel (berdasarkan data lapangan) menunjukkan bahwa Pajak Hotel mempunyai potensi penerimaan yang sangat besar, yaitu sebesar Rp. 299.982.500,- per tahun.
Potensi tersebut belum dapat direalisasikan, yaitu ditunjukkan bahwa pada tahun 2006 realisasi penerimaan Pajak Hotel sebesar Rp. 71.101.566,- atau masih sekitar 23,7% dari potensi penerimaan Pajak Hotel; dan 3) Penghitungan target penerimaan Pajak Hotel per tahun berdasarkan potensi yang ada dengan menggunakan tiga estimasi (Optimis, Moderat dan Pesimis) menunjukkan bahwa estimasi yang dapat digunakan dalam menentukan target penerimaan Pajak Hotel per tahun untuk lima tahun ke depan adalah menggunakan estimasi Moderat, yaitu sebesar Rp. 119.993.000,- (tahun 2007); sebesar Rp. 130.348.396,- (tahun 2008); sebesar Rp. 141.597.462,- (tahun 2009); sebesar Rp. 153.817.323,- (tahun 2010); dan sebesar Rp. 167.091.758,- (tahun 2011).
Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, saran atau rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut : 1) Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo. Dalam penentuan target penerimaan khususnya Pajak Daerah, umumnya Pendapatan Asli Daerah, perlu memperhatikan potensi yang ada di lapangan, sehingga tidak terjadi “potential loss” dalam setiap penentapan targetnya. Oleh sebab itu, penelitian lapangan merupakan salah satu upaya untuk menjawab permasalahan tersebut dan hal tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama secara profesional dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Kabupaten Ponorogo; 2) Pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan Wajib Pajak. Sangat dibutuhkan peningkatan sosialisasi dan koordinasi sehingga terdapat pemahaman yang sama dan saling kerja sama yang baik dalam upaya meningkatkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Ponorogo; dan 3) Peneliti selanjutnya. Dalam melakukan pengumpulan data, khususnya terkait dengan wajib pajak, untuk memperolah data atau informasi yang valid sangat dibutuhkan kerja sama dengan instansi yang berhak dalam penarikan pajak daerah, yaitu pihak Badan Pengelola Keuangan Daerah. Hal ini mengingat, jika hanya menggunakan ijin penelitian dari pihak Badan Kesatuan Bangsa Perlindungan dan Ketertiban Masyarakat Kabupaten Ponorogo, sering kali wajib pajak kurang serius dalam memberikan data dan informasi yang dibutuhkan.

Read More......

PEMIKIRAN MICHEL FOUCAULT (1926 – 1984)

Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan bukan merupakan suatu teori perubahan sosial, namun, analisis dan kritik Postmodernisme terhadap proyek modernisme termasuk kritik. Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Mansour Fakih, 2002).
Pada tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory, Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan. Menurutnya diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, 2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu para teoritisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan sosilogi kepada Negara Barat tersebut. Meskipun underdevelopment adalah formasi sejarah yang riil, tetapi hal tersebut telah melahirkan praktek dominasi terhadap Dunia Ketiga. Sejarah dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan “dunia baru” hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan menggunakan diskursus “dunia terbelakang”, dan pada era pasca kolonialisme dengan mendirikan IBRD, tahun 1940an dan 1950an dominan dilakukan dengan diskursus pembangunan. Negara kaya, dengan kekayaan dan teknologinya, merasa mampu untuk menyelamatkan kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan berubah menjadi pembangunan. Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat mereka menjadi yakin akan keberhasilannya. Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat. Dan ketika pembangunan mengalami krisis, diskursus baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktek perubahan sosial adalah membuat teori ini lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam disetiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, dan ini bertentangan dengan umumnya kenyataan ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan, dan asumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Konsep tentang kekuasaan (power) ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaiana berbagai kekuasaan. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta diskursus, birokrat, akademisi, dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab” yang harus disiplinkan, diregulasi dan “dibina” (Mansour Fakih, 2002).Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar (dalam Muhadi Sugiono, 1999) mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu normalisasi mekanisme. Strategi pertama disebut “inkorporasi progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat. Ketiga strategi tersebut menunjukkan bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan tersebut.

Read More......

GERAKAN SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL

Dalam Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur.
Unsur dasar (base) adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi (kelas kapitalis). Dengan kata lain, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh, dengan determinisme ekonomi sebagai landasan gerakan sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis, termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian pula sebaliknya. Disamping itu, mereka tidak mempercayai bahwa esensial terjadinya apapun disebabkan oleh suatu penyebab yang esensial. Mereka menggunakan istilah Overdeterminisme sebagai alternatif bagi esensialisme dan pengganti dialektika-nya Marx. Overdeterminisme merujuk kepada keberadaan esensial, dalam pengertian bahasa, politik, pengetahuan, eksploitasi, masyarakat, yang saling mempengaruhi dan menentukan. Dengan kata lain, tidak ada satu entitaspun yang dianggal lebih menentukan dari pada entital yang lainnya. Dengan pendekatan ini berarti bahwa perubahan sosial adalah hasil interaksi seluruh aspek masyarakat dan bukan akibat dari suatu sebab ensensial tertentu.
Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial. Pendidikan, budaya dan kesadaran merupakan sesuatu permasalahan yang sangat penting dan perlu diperjuangkan dalam perubahan sosial. Hegemoni merupakan bentuk kekuasaan kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran subordinat. Walaupun dalam hal bekerjanya hegemoni dan memasukkan ideology hegemonik merupakan hal yang rumit, tetapi Gramsci percaya bahwa kuatnya kesadaran kritis individu tersebut dapat menolak gagasan determinisme histories ekonomi-nya Marx. Gramsci tetap menggunakan kelas buruh sebagai gerakan revolusioner, tetapi tidak menutup kemungkinan akan hadirnya kelompok baru dalam kategori kelas buruh dan terciptanya aliansi antara unsur kelas buruh dengan kelompok lain tersebut, serta menekankan transformasi kesadaran (tidak selalu terkait ekonomi) sebagai bagian proses revolusioner.
Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideology dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Mansour Fakih, 2004).
Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal (misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa yang disebut dengan “perang maneuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan cultural dan idiologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah meyakinkan kelas buruh bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupan sosial global”. Dengan demikian, peran kependidikan organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan sosial atau transformasi sosial.

Read More......

Penyusunan Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil temuan di lapangan dan kajian-kajian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Jumlah Pasar Desa adalah sebanyak 53 (lima puluh tiga) Pasar Desa yang tersebar di 19 (sembilan belas) kecamatan. Berdasarkan hari pasaran, jumlah Pasar Desa yang beroperasi pada pasaran Pon sebanyak 24 Pasar Desa, pada pasaran Wage sebanyak 22 Pasar Desa, pada pasaran Kliwon sebanyak 20 Pasar Desa, pada pasaran Legi sebanyak 25 Pasar Desa, dan pada pasaran Pahing sebanyak 21 Pasar Desa; 2).
Hasil temuan di lapangan diketahui bahwa masih terdapat 2 (dua) Pasar Desa yang belum masuk dalam data base, yaitu Pasar Tatung, Desa Tatung Kecamatan Balong, yang beroperasi pada pasaran Pahing dan Kliwon, dan Pasar Jalen, Desa Jalen Kecamatan Balong, yang beroperasi pada pasaran Pahing. Dengan demikian jumlah Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo menjadi sebanyak 55 (lima puluh lima) yang tersebar di 20 (dua puluh) kecamatan. Sedangkan jumlah Pasar Desa yang beroperasi pada pasaran Kliwon menjadi sebanyak 21 Pasar Desa dan yang beroperasi pada pasaran Pahing menjadi sebanyak 23 Pasar Desa; 3) Kondisi Fisik Pasar Desa, mayoritas dalam kondisi yang rusak, yaitu kondisi atap los sudah banyak yang bocor dan pada musim penghujan hampir tidak dapat untuk berjualan. Disamping itu, karena jalan di dalam pasar terbuat dari tanah yang dipadatkan, maka pada musim penghujan menjadi becek dan terkesan kotor; 4) Untuk menjaga kenyamanan dalam melakukan transaksi di Pasar Desa, disamping perlu adanya renovasi untuk saran dan prasarana Pasar Desa, juga diperlukan tersedianya tempat parkir kendaraan, tempat MCK, dan tempat pembuangan sampah; 5) Tersedianya Kantor Pasar Desa, Musholla dan perbaikan jalan menuju ke Pasar Desa, memerlukan hal yang penting dalam rangka mengembangkan keberadaan Pasar Desa; dan 6) Baik Pedagang, Pembeli, Pemerintah Desa maupun Pemerintah Daerah masing-masing mempunyai peran yang besar untuk mengembangkan Pasar Desa. Oleh sebab itu, masing-masing mempunyai kewajiban untuk menjaga kelangsungan keberadaan Pasar Desa.
Berdasarkan hasil penggalian data di lapangan, rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut : 1) Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Terkait dengan Pasar Desa, walaupun tugasnya melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian, tetapi mengingat kondisi fisik Pasar Desa yang mayoritas dalam kondisi rusak, maka perlu mengalokasikan dana untuk renovasi dan atau pembangunan sarana dan prasarana di Pasar Desa. Hal ini penting artinya, mengingat dengan berjalannya Pasar Desa maka akan mampu menggerakkan roda perkonomian di masing-masing desa dan hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat desa; 2) Pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui instansi terkait perlu melakukan pembenahan tentang mekanisme pembayaran retribusi Pasar Desa sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu, data base tentang Pasar Desa sangat penting untuk dimiliki, sehingga dalam penetapan target retribusi Pasar Desa per tahun dapat sesuai dengan potensi yang ada di lapangan; 3) Dana retribusi Pasar Desa yang masuk ke Kas Daerah Kabupaten Ponorogo sebesar 30% sudah selayaknya dialokasikan kembali untuk pembangunan Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo; 4) Program pembangunan Pasar Desa tidak hanya diarahkan ke pembangunan fisik Pasar Desa saja tetapi juga diarahkan ke bantuan permodalan kepada para pedagang di Pasar Desa; 5) Pemerintah Kabupaten Ponorogo (melalui instansi terkait) dan Pemerintah Desa dalam melakukan Program Pembangunan Pasar Desa diharapkan mampu melibatkan para pedagang di Pasar Desa, baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pelestarian program, sehingga para pedagang di Pasar Desa akan merasa memiliki dan berpartisipasi secara aktif untuk menjaga kelangsungan dan perkembangan Pasar Desa itu sendiri; dan 6) Pemerintah Desa. Dana pembagian hasil retribusi Pasar Desa, disamping dialokasikan untuk pembenahan balai desa dan membantu biaya operasional Pemerintahan Desa, juga penting untuk dialokasikan ke usaha menjaga kelangsungan keberadaan Pasar Desa, misalnya biaya untuk kebersihan dan MCK di Pasar Desa. Hal ini penting artinya, karena dana tersebut bersumber dari Pasar Desa dan tentu saja alokasi dananya juga ada yang mengarah ke Pasar Desa.
(Kerja sama antara Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Ponorogo dengan CV. Era Muda Consult, Jombang)

Read More......

Pembangunan Pedesaan untuk menekan Laju Kuantitas TKI dari Ponorogo

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Ponorogo merupakan salah satu kota penyumbang terbesar dari Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dari sisi penerimaan, keberadaan TKI tersebut diakui mampu menambah penghasilan keluarga mereka dan mampu menambah perputaran uang di Ponorogo. Tetapi di sisi lain, sering tidak disadari bahwa uang yang dibawa TKI atau kiriman TKI sangat sebentar berputar di Ponorogo.
Mereka banyak membelanjakannya untuk kebutuhan konsumtif saja, misalnya beli sepeda motor baru, HP, perhiasan dan lain-lain. Barang-barang tersebut nota bene merupakan produk dari luar negeri, sehingga uangnya pun akhirnya banyak kembali ke luar negeri.
Permasalahan besarnya TKI dari Ponorogo tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja. Walaupun dari mereka banyak mendatangkan keuntungan financial tetapi permasalahan tersebut akan membawa dampak negative yang cukup besar terhadap proses pembangunan di Ponorogo. Salah satu dampak negative yang saat ini sangat terasa adalah perilaku konsumtif yang cukup besar diantara mereka dan berdampak pada masyarakat luas. Oleh sebab itu, pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo perlu segera turun tangan untuk membendung percepatan laju kuantitas TKI dari Ponorogo. Konsekuensinya, pihak Pemerintah Daerah Ponorogo perlu menyedikan fasilitas dan peluang usaha bagi masyarakat secara luas. Disamping itu, pembangunan yang dilakukan tidak hanya terfokus pada daerah perkotaan, tetapi harus mampu menjangkau sampai ke daerah pedesaan. Hal ini penting dilakukan mengingat, mayoritas TKI berasal dari daerah pedesaan.
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini desa kurang mempunyai daya tarik bagi masyarakatnya untuk mengembangkan usaha dan mereka memilih kerja ke luar desa atau ke luar kota, termasuk menjadi TKI ke luar negeri. Berangkat dari fenomena tersebut, sudah waktunya pembangunan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo harus mampu menjangkau daerah pedesaan. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo secara mandiri, baik tenaga maupun financialnya. Oleh sebab itu, dalam peningkatan pembangunan di Ponorogo, pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, mulai Lembaga Swadaya Masyarakat, Pihak Swasta, sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pengembangan Desa Binaan merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan pembangunan daerah pedesaan. Pengembangan Desa Binaan tersebut, perlu pendampingan secara terus menerus dan berkesinamungan. Dan, hal tersebut perlu adanya kerja sama yang baik antara pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat atau Pihak Swasta atau Perguruan Tinggi, selaku pendamping desa binaan tersebut. Pendampingan Desa Binaan tersebut tidak dapat dilakukan hanya sesaat tetapi harus berkelanjutan sehingga desa tersebut akan mendapatkan pengembangan secara berkelanjutan baik dari segi sumber daya manusianya maupun pengembangan teknologi tepat guna yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa.Disamping itu, pembangunan fasilitas sarana dan prasarana Pasar Desa juga sangat dibutuhkan, mengingat berkembangnya suatu Pasar Desa akan mampu mempunyai daya tarik bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha mereka. Oleh sebab itu, kajian potensi pengembangan daerah pedesaan sangat mendesak untuk dilakukan, sehingga pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo memliki data yang valid sebagai bahan pembuatan kebijakan.

Read More......

Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa melalui Pemeranan Pasar Desa

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, merupakan awal dimulainya otonomi daerah dengan diberikannya peran yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan daerah memerlukan perhatian yang cukup mendalam.
Oleh sebab itu, dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah seharusnya memperhatikan kemampuan dan potensi pembiayaan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan diskusi dan kajian adalah keseimbangan pembangunan antara kota dan desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan daerah sering kali mengutamakan pembangunan daerah perkotaan terlebih dahulu. Hal tersebut tidak dapat disalahkan karena kota harus mampu menjadi pusat segala informasi dan harus mempunyai daya tarik sehingga mampu mendatangkan para investor ke daerah.
Perlu disadari dengan pemusatan pembangunan yang lebih mengutamakan pembangunan di perkotaan membawa dampak yang cukup besar. Salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan yang lebih serius adalah keberadaan pasar di kota. Dengan semakin berkembang kondisi perekonomian di suatu daerah secara signifikan akan diikuti dengan perkembangan pasar sebagai tempat untuk melakukan transaksi ekonomi. Perkembangan pasar di kota yang semakin meningkat pesat akan lebih banyak mendorong masyarakat desa untuk melakukan transaksi ekonomi di pasar kota. Hal tersebut mempunyai dampak yang cukup serius, yaitu secara tata ruang kota maka akan terjadi kesemrawutan dan terjadinya kemacetan di sekitar lokasi pasar kota, masyarakat desa cenderung melakukan transaksi ekonomi di kota sehingga kegiatan ekonomi di desa tidak dapat berkembang, dan secara ekonomi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang karena adanya tambahan biaya transportasi dari desa ke kota.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah diperlukan pemerataan pembangunan, termasuk di dalamnya pengembangan potensi pasar desa. Keberadaan pasar desa mempunyai arti yang cukup penting, karena disamping mampu mendorong kegiatan ekonomi masyarakat desa yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat desa juga mampu meredam pemusatan kegiatan ekonomi di kota. Disamping itu, keberadaan pasar desa diharapkan akan mampu menghambat percepatan aliran uang ke luar daerah, khususnya terkait dengan kiriman uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang mayoritas berasal dari desa.
Pengembangan potensi pasar desa tidak selalu terfokus pada pembangunan sarana dan prasarana pasar desa, tetapi diperlukan kajian lebih mendalam tentang kebutuhan pengembangan potensi secara keseluruhan yang sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Untuk menjawab hal tersebut tentu saja tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan adanya penelitian atau pemetaan potensi tentang keberadaan pasar desa. Berdasar hasil penelitian atau pemetaan potensi tersebut maka akan menjadi masukan yang berguna bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan khususnya tentang pengembangan potensi pasar desa dan umumnya pengembangan potensi desa/kelurahaan.

Read More......

Gerakan Sosial dan Teori Hegemoni

Dewasa ini, gerakan sosial (social movement) menjadi pokok bahasan yang popular bagi kalangan sosiolog di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Studi yang telah dilakukan mengenai gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam di Amerika Serikat tahun 1950an dan 1960an, serta kajian mengenai berbagai gerakan, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960an dan 1970an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada tahun 1970an dan 1980an,
kesemuanya membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Mansour Fakih: 2004).
Beberapa gerakan sosial yang sering dipilih untuk dijadikan bahan studi atau kajian antara lain Gerakan Perjuangan Etnis atau Nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni Soviet, Gerakan Anti Aparheid di Afrika Selatan dan Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.
Khusus untuk gerakan sosial yang ada di Negara Dunia Ketiga, seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh Negara, melalui apa yang disebut sebagai Pembangunan (Development). Pembangunan seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dan hal tersebut merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario Modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu Negara Dunia Ketiga.Menurut pendapat Bonner (Mansour Fakih: 2004), dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah “Pembangunan”. Studi tersebut bermasud untuk mencari alternatif terhadap gagasan “Pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi suatu “Agama Sekuler Baru” bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagi satu-satunya tujuan bagi pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima oleh kalangan birokrat, akademisi maupun aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat tanpa mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata mengenai soal metodologi, pendekatan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi secara teoristis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan adalah apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan dari pada memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga.
Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.
Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahanlan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.Teori konflik berakar dari paham Marxisme tradisional yang menyatakan bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik. Generasi Marxisme baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci: 1891 – 1937) menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, serta menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme tradisional. Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh.
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner atau bukan lagi titik fokal dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial. Disamping itu Gramsci juga mengemukakan teorinya tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner.

Read More......

Kritik terhadap Pembangunan sebagai sebuah Ideologi

Pembangunan, bagi mayoritas masyarakat, dianggap sebagai suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga istilah “pembangunan” sering kali disejajarkan dengan istilah “perubahan sosial”. Bagi penganut pandangan ini, konsep pembangunan adalah berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan lain, seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, pembangunan model Indonesia, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, teori pembangunan merupakan sebuah teori sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.
Di lain pihak, terdapat suatu pandangan yang lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata “pembangunan” itu sendiri adalah sebuah “discourse” atau suatu pendirian, suatu paham, atau bahkan disebut suatu ideologi tertentu terhadap perubahan sosial. Dalam pandangan ini, konsep pembangunan itu sendiri bukanlah merupakan kata yang bersifat netral, melainkan suatu “aliran” dan keyakinan ideologi dan teoretik serta praktek mengenai perubahan sosial, sebagaimana teori-teori sosialisme, dependensia atau teori-teori lainnya. Dengan demikian, teori pembangunan dapat diangap sebagai “pembangunanisme” atau “developmentalism”.
Gagasan dan teori pembangunan sampai saat ini telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih : 2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik.

Read More......

Ideologi Pembangunan dan Peran Media Komunitas

Gagasan dan teori Pembangunan dianggap mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, istilah Pembangunan tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori Pembangunan dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.

Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kondisi-kondisi tersebut akhirnya berdampak munculnya berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Disamping itu, terkait dengan media komunikasi (termasuk media massa), model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru ternyata banyak menimbulkan masalah, karena sistem media massa yang ada dirancang untuk memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif.
Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.Media komunitas sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat, baik berbentuk siaran radio, televisi sampai dengan surat kabar. Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur sudah banyak surat kabar lokal (Radar Madiun, Radar Malang, Ponorogo Pos, Krida Rakyat dan lain-lain), telivisi lokal (JTV Jawa Post), apalagi siaran radio (khususnya radio FM) yang sudah tersebar sampai ke daerah-daerah. Semua media massa komunitas tersebut diharapkan akan mampu mengangkat budaya dan permasalahan komunitas tertentu dan mampu menjembatani jika terdapat konflik di daerah dengan jalan memberitakan secara transparan, menjunjung kebenaran dan dapat dipertanggungjwawabkan.

Read More......

Dampak Program Gerdu-Taskin terhadap Perkembangan Pokmas Industri Roti di Desa Kalimalang Kabupaten Ponorogo

Ringkasan : Pada tahun 2005, Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, disamping mendapatkan bantuan pendanaan Program Gerdu-Taskin Reguler, pada tahun tersebut juga terpilih sebagai Desa Model untuk Program Pengembangan Desa Model Binaan Gerdu-Taskin kerja sama dengan Perguruan Tinggi/Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam Program Desa Binaan Gerdu-Taskin tersebut yang menjadi “unggulan” Desa Kalimalang dan akan dikembangkan adalah Kelompok Masyarakat (Pokmas) Industri Roti.
Oleh sebab itu, alokasi dana untuk bantuan modal usaha, dalam bentuk simpan pinjam, lebih banyak diarahkan kepada 14 (empat belas) pokmas industri roti, disamping pokmas mrancangan dan pokmas usaha tikar mendong. Terkait dengan hal tersebut di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini difokuskan pada : 1) Bagaimana pemanfaatan bantuan modal usaha tersebut dalam kaitannya dengan upaya pengembangan industri roti di Desa Kalimalang ?; dan 2) Bagaimana perkembangan Pokmas Industri Roti di Desa Kalimalang setelah mendapatkan bantuan modal usaha ?.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bantuan modal usaha Program Desa Binaan Gerdu-Taskin oleh Pokmas Industri Roti dan sekaligus mengetahui perkembangan Pokmas Industri Roti setelah mendapatkan bantuan modal usaha. Lokasi Penelitian ini adalah Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, dengan obyek penelitian difokuskan pada Kelompok Masyarakat (Pokmas) Industri Roti sebanyak 14 (empat belas) industri roti yang telah mendapatkan pinjaman modal dari program tersebut. Metode pengambilan data dengan menggunakan metode “Angket atau Kuesioner” dan didukung dengan wawancara secara langsung, sedangkan metode analisis data dengan menggunakan metode “Analisis Deskriptif Kuantitatif”.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa : 1) Dengan digulirkannya Program Pengembangan Desa Model Binaan Gerdu-Taskin kerjasama dengan Perguruan Tinggi/Lembaga Swadaya Masyarakat Tahun 2005 di Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, mempunyai dampak yang positif terhadap perkembangan Pokmas industri roti, sebagai ”Produk Unggulan” desa tersebut; 2) Dalam kurun waktu sekitar dua tahun, Pokmas industri roti telah mampu mengembangkan wilayah pemasaran produknya tidak hanya di Pasar Induk (Pasar Songgolangit), tetapi sudah hampir diseluruh Pasar Desa yang ada di Kabupaten Ponorogo, bahkan sampai ke luar kota, misalnya Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Madiun. Perkembangan usaha yang bagus tersebut juga berdampak pada masyarakat sekitar, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan, sehingga dapat membantu mengurangi angka penganguran di Kabupaten Ponorogo; 3) Meskipun dalam perjalanan usaha Pokmas industri roti di Desa Kalimalang telah menunjukkan perkembangan yang baik, tetapi tidak lepas dari permasalahan dan kendala usaha. Beberapa permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Pokmas industri roti tersebut antara lain adalah : a) Belum dimilikinya Ijin Usaha dan atau Ijin Kesehatan; b) Persaingan usaha dan peningkatan biaya bahan baku; c) Belum dimilikinya Jenset sebagai pengganti jika terjadi pemadaman listrik; dan d) Masih membutuhkan modal untuk mengganti peralatan produksi yang kurang layak.
(Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 008/SP2H/DP2M/III/2007)

Read More......

Dampak Perayaan Grebeg Suro terhadap Peningkatan Kondisi Sosio-Ekonomi Masyarakat Ponorogo dan Pelaksanaan Festival Reyog Nasional XIII Tahun 2007

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah : a) Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya pelaksanaan kegiatan Grebeg Suro Tahun 2007 terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian di kota Ponorogo. Tidak hanya pelaku bisnis besar (misalnya rumah makan dan hotel), pelaku bisnis menengah ke bawah atau disebut usaha ekonomi kecil, baik di aloon-aloon Ponorogo maupun di sekitarnya, juga menikmati keuntungan dari pelaksanaan kegiatan tersebut.
Disamping itu, pelaksanaan kegiatan Grebeg Suro sebagai agenda rutin tahunan di Ponorogo dapat digunakan sebagai sarana mempromosikan produk atau hasil alam unggulan maupun bidang pariwisata Kabupaten Ponorogo; dan b) Kegiatan ekonomi di aloon-aloon Ponorogo dan sekitarnya, Malam Pembukaan Perayaan Grebeg Suro Tahun 2007, Kirab Pusaka, Malam Penutupan Perayaan Grebeg Suro Tahun 2007, dan Kegiatan Larung Risallah di Telaga Ngebel, mampu mempengaruhi peredaran uang yang sangat besar di Ponorogo. Secara total dari berbagai kegiatan tersebut telah menambah peredaran uang lebih dari 5 milyar rupiah atau sebesar Rp. 5.182.210.800,-.
Sedangkan untuk pelaksanaan Festival Reyog Nasional (FRN) XIII dapat disimpulkan bahwa secara umum penyelenggaraan FRN XIII Tahun 2007 berjalan baik dan lancar, baik terkait dengan persiapan, proses pelaksanaan, maupun hasil akhir FRN. Beberapa kekurangan menyebar di beberapa aspek teknis, meliputi : a) Keterbatasan sosialisasi FRN; b) Tata panggung yang sering terkendala oleh cuaca (hujan); c) Belum adanya pedoman penilaian yang representatif berdasar pesan-pesan substantif seni reyog sesuai karakter masyarakat Ponorogo; dan d) Keterbatasan tempat transit peserta (terutama penyediaan kursi berikut penyambutan peserta FRN). Terlepas dari kekurangan yang ada itu, penyelenggaraan FRN XIII Tahun 2007 ini mengindikasikan masih kuatnya apresiasi masyarakat terhadap FRN, baik dari aspek peserta maupun masyarakat penonton. Karena itu kemungkinan pengembangan sekaligus penguatan pesona wisata melalui event ini masih sangat terbuka lebar.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah : a) Kegiatan pasar malam di aloon-aloon Ponorogo, khususnya terkait penataan lokasi, masih memerlukan perhatian dan penataan yang serius untuk tahun depan. Hal tersebut mengingat bahwa banyak pedagang mengeluh karena lokasi usahanya terlalu masuk ke dalam sehingga mengurangi jumlah pengunjung dan pembelinya. Disamping itu, terkait dengan kebersihan lokasi juga memerlukan perhatian dan perlu ditingkatkan kebersihannya; dan b) Beberapa kekurangan yang ada dan terjadi dalam event FRN sangatlah wajar, jika mempertimbangkan lingkup festival setingkat nasional. Namun demikian, sebuah langkah bijak memang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo, misalnya pada aspek tata panggung yang sering terkendala oleh cuaca, terutama hujan bisa disikapi dan diantisipasi dengan sebaik-baiknya.
(Kerja sama antara Panitia Besar Grebeg Suro Kabupaten Ponorogo dengan Kelompok Studi Masyarakat Ponorogo, Tahun 2007)

Read More......

Survivalitas Pedagang Warung Hik (Warung Angkringan) di Kota Ponorogo

Ringkasan : Salah satu pedagang sektor informal yang menunjukkan perkembangan (dari segi kuantitas) di kota Ponorogo adalah Pedagang Warung Hik. Yang dimaksud dengan pedagang warung hik adalah pedagang kaki lima (penjualnya laki-laki) yang menjual makanan dan minuman, seperti kopi, teh, jahe, beberapa jajanan dan nasi bungkus.
Mereka berjualan di trotoar jalan atau di depan pertokoan, khusus untuk malam hari, setelah toko tutup. Mereka kebanyakan berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, seperti kota Sukoharjo, Solo, Klaten, Wonogiri dan Gunung Kidul Yogyakarta. Istilah pedagang warung hik di kota Solo dan Yogyakarta biasa disebut dengan Pedagang Warung Angkringan. Sekitar tahun 1999-an (pasca krisis ekonomi), jumlah pedagang warung hik yang ada di kota Ponorogo sekitar 5 (lima) pedagang dan sampai dengan tahun 2006 jumlah pedagang warung hik tersebut mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 20 (dua puluh) pedagang yang telah tersebar di jalan protokol kota Ponorogo. Kehadiran pedagang warung hik tersebut juga mendorong beberapa masyarakat Ponorogo untuk membuka usaha sejenis, dan sering disebut Warung Kopi Lesehan. Dengan demikian, pedagang warung hik disamping harus mampu bersaing dengan sesama pedagang warung hik (sesama pedagang pendatang) juga harus mampu bersaingan dengan warung kopi lesehan dan warung permanen (pedagang asli Ponorogo).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) agar mampu bertahan dalam menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Ponorogo (Kecamatan Kota) Kabupaten Ponorogo. Pengambilan lokasi tersebut berdasarkan kondisi bahwa pedagang warung hik banyak berjualan di wilayah Kecamatan Kota. Sedangkan yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah para pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) yang berjualan di kota Ponorogo. Subyek penelitian ini perlu dipertegas karena disamping pedagang warung hik tersebut masih banyak pedagang warung lesehan yang pedagangnya asli dari kota Ponorogo. Disamping itu, penelitian ini juga membutuhkan data yang dikumpulkan dari para pembeli (konsumen) di warung hik, sebagai data pendukung. Dalam menentukan informan, teknik yang digunakan adalah Teknik Bola Salju (Snow Ball) dan untuk pengumpulan data digunakan Wawancara Mendalam (Indepth Interview). Berdasarkan pola azas penelitian kualitatif, maka aktifitas analisis data dilakukan di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam wawancara mendalam, oleh karena itu analisis data dengan mengunakan Model Analisis Interaktif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : a) Pedagang warung hik di kota Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan menghadapi persaingan usaha; b) Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan usaha tersebut, disamping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang tinggi, juga didorong dengan berperannya modal sosial di antara pedagang warung hik; c) Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) terhadap gerobak untuk berjualan maupun penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, maka pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan non mandiri; e) Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung hik tidak hanya semata-mata didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan minuman), tetapi didorong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli merasa nyaman untuk singgah berlama-lama di warung hik. Hal tersebut disebabkan, disamping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat duduk lesehan di trotoal dengan beralaskan tikar.
(Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 233/SP3/PP/DP2M/II/2006)

Read More......

Analisis Potensi Pajak Restoran Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Ponorogo

Ringkasan : Pajak Paerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang cukup potensial. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 pajak restoran masih tergabung dengan pajak hotel. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kabupaten Ponorogo Nomor 3 Tahun 2003, tentang pajak restoran, maka secara resmi pengelolaan pajak restoran terpisah dengan pajak hotel.
Pada tahun 2003, realisasi penerimaan pajak restoran adalah sebesar Rp. 164.650.448 atau mencapai 100,79 persen dari target yang ditentukan. Sedangkan pada tahun 2004 realisasi pajak restoran mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp. 299.923.523 atau mencapai 160,02 persen dari target yang ditentukan. Meskipun secara capaian target penerimaan dari pajak restoran sangat menggembirakan, tetapi jika mengkaji lebih dalam tentang realisasi penerimaan pajak restoran yang jauh di atas target maka diketahui bahwa dalam penetapan target tahunan pajak restoran belum berdasarkan potensi yang ada di lapangan. Disamping itu, hasil pengamatan awal di lapangan diketahui bahwa di Kabupaten Ponorogo telah terjadi perkembangan jumlah restoran yang signifikan dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, sangat dimungkinkan terjadinya potensial loss dari sisi penetapan target tahunan pajak restoran dan hal tersebut tentu saja akan berdampak pada realisasi penerimaan pajak restoran per tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan sekaligus menganalisis potensi pajak restoran di Kabupaten Ponorogo. Penelitian difokuskan di wilayah Kecamatan Kota. Pertimbangan pemilihan kecamatan tersebut adalah bahwa jumlah restoran yang terbanyak berada di wilayah Kecamatan Kota. Metode pengambilan data dengan menggunakan metode Angket atau Kuesioner dan didukung dengan wawancara secara langsung. Metode analisis data dengan menggunakan metode Analisis Deskriptif Kuantitatif. Disamping itu, berdasarkan hasil pengumpulan data maka akan dilakukan proyeksi target pajak restoran per tahun untuk 5 (lima) tahun ke depan. Proyeksi tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) jenis proyeksi, yaitu proyeksi secara optimis, moderat dan pesimis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) Penetapan target Pajak Restoran di Kabupaten Ponorogo untuk tiap tahunnya masih belum berdasarkan potensi Pajak Restoran atau data di lapangan; b) Hasil penggalian data di lapangan menunjukkan bahwa Kabupaten Ponorogo memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan penerimaan dari Pajak Restoran; c) Dengan membandingkan target Pajak Restoran yang ditetapkan pada tahun 2006 dengan potensi Pajak Restoran hasil penggalian data di lapangan, diketahui bahwa target Pajak Restoran yang ditetapkan tersebut masih sangat rendah, yaitu sebesar 10,96 % dari potensi Pajak Restoran; dan d) Berdasarkan potensi Pajak Restoran hasil penggalian data di lapangan dan dengan menggunakan proyeksi moderat diketahui bahwa target Pajak Restoran pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar Rp. 414.185.950, pada tahun 2007 diproyeksikan sebesar Rp. 534.051.364, pada tahun 2008 diproyeksikan sebesar Rp. 688.605.829, tahun 2009 diproyeksikan sebesar Rp. 887.888.355 dan tahun 2010 diproyeksikan sebesar Rp. 1.144.843.246.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan bahwa a) Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo melalui Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Ponorogo dalam menetapkan target Pajak Daerah, khususnya Pajak Restoran, untuk setiap tahunnya perlu memperhatikan potensi yang ada di lapangan, sehingga tidak terjadi potensial loss dalam penghitungan dan penetapan target pajak per tahun; b) Pihak Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Ponorogo perlu membuat dan memiliki data base tentang pajak agar dalam penetapan target pajak per tahun dapat sesuai dengan potensi yang ada di lapangan.
(Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 233/SP3/PP/DP2M/II/2006)

Read More......

Pergeseran Peran dan Fungsi Suami Terhadap Pendidikan Anak dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Luar Negeri

Ringkasan : Adanya motivasi untuk mengubah nasib maupun adanya daya tarik upah yang relatif tinggi di luar negeri, mengakibatkan banyak tenaga kerja (khususnya para wanita) rela menjadi tenaga kerja di luar negeri, bahkan para wanita yang telah bersuamipun telah banyak menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri.
Dengan bekerjanya istri ke luar negeri, beban suami menjadi semakin besar karena selain setiap hari harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengatur pekerjaan di dalam rumah juga harus mampu untuk mendidik, mengasuh dan mengawasi anak-anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pergeseran peran dan fungsi suami terhadap pendidikan anak dalam keluarga tenaga kerja wanita (TKW) luar negeri di Desa Polorejo Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Teknik Indepth Interview dan didukung dengan data-data yang diperoleh di kantor desa. Teknik penentuan informan dengan menggunakan Teknik Snow Ball dan untuk menganalisis data dengan menggunakan Model Intraktif Analisis Data.
Berdasarkan hasil dan pembahasan beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : a) Terdapat dua faktor yang mendorong ibu rumah tangga atau istri di Desa Polorejo untuk menjadi TKW di luar negeri, yaitu pertama, keinginan dari dalam dirinya sendiri dengan tujuan merubah nasib, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarga, dan kedua, dorongan dari luar diri, yaitu terpengaruh oleh teman, kerabat, tetangga, dan dorongan dari suami, dengan tujuan untuk membuat rumah, mencukupi perabot, kendaraan dan mencari modal usaha untuk masa depan; b) Peran dan fungsi suami dalam pemenuhan kebutuhan keluarga sangat didukung atau dibantu oleh anggota keluarga, terutama kakek-nenek, paman-bibi, adik kandung atau adik ipar, sehingga peran ganda suami (ayah) menjadi tidak terlalu berat dan dapat menekan konflik peran sebagai kepala keluarga; dan c) Dampak kepergian ibu rumah tangga (istri) menjadi TKW di luar negeri terhadap pendidikan anak sangat besar pengaruhnya. Dalam hal ini keterlibatan suami secara aktif sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, baik dalam pendidikan formal (sekolah) maupun perhatian dan pemenuhan kebutuhan material dalam upaya mencapai prestasi anak secara mental dan spiritual.
Sedangkan saran yang dapat diajukan adalah : a) Bagi ibu rumah tangga (istri), khususnya yang sudah mempunyai anak, dalam memutuskan menjadi TKW di luar negeri hendaknya mendapat persetujuan baik oleh suami maupun anak yang tertua, sehingga dapat menghindari ketidakharmonisan keluarga karena terdapat kesadaran akan cita-cita bersama yang menjadi harapan keluarga; b) Bagi suami (ayah), yang ditinggal oleh istrinya bekerja di luar negeri, hendaknya memenuhi kewajibannya sebagai ayah dan sekaligus sebagai ibu yang baik, dihormati oleh anak-anaknya, dan penuh dengan pengertian, kesadaran, dan keikhlasan dalam menjaga, memelihara, mengasihsayangi, dan memberi perhatian kepada anak-anaknya, sehingga pendidikan anak dapat dicapai dengan baik dan berguna bagi masa depannya; c) Bagi pemerintah dan pialang tenaga kerja, hendaknya memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap para TKW di luar negeri, mulai dari berangkat, di tempat kerja dan sampai dengan pada saat mereka pulang; dan d) Bagi masyarakat yang mempunyai keinginan menjadi TKW di luar negeri hendaknya melalui jalan yang resmi atau formal (Depnaker atau PJTKI resmi) sehingga tidak terjadi penipuan dan akhirnya dideportasi dan tidak mendapatkan perlindungan hukum.
(Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 233/SP3/PP/DP2M/II/2006)

Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO