Munculnya klaim tari barongan yang datang dari negeri Malaysia (komunitas masyarakat Johor dan Selangor), yang mirip tari Reyog Ponorogo, sempat membuat geram wong Ponorogo. Tak heran jika kemunculannya mengundang reaksi beragam; mulai yang bersifat reaksioner-bombastis hingga yang bernada “kalem-cuek” . Berbagai bentuk pengungkapan kekesalan masyarakat Ponorogo, nampak dengan sangat jelas adanya motif yang sama, yakni merasa hak milik nya diserobot orang dan karena itu harus “dibelani” dengan sikap dan bahasa masing-masing.
Benar memang kalau melihat gambar yang dipampangkan lewat internet maupun media lain, bahwa tari barongan yang diklaim itu sangat mirip dengan tari Reyog Ponorogo. Mulai dadak merak, warok, pujangganong, penari kuda, dan seterusnya adalah sangat sulit dicari perbedaannya dengan Reyog Ponorogo. Atau bisa jadi gambar itu diambil dari pentas Reyog Ponorogo dan kemudian dikoleksi dan direkayasa dengan pesan-pesan klaim tari barongan tersebut.
Terlepas apakah tari barongan itu sadapan dari tari Reyog Ponorogo atau tidak, justru penulis tertarik pada bagian sinopsis legenda tari barongan yang tertulis di bawah publikasi yang disampaikannya. Secara singkat pesan legenda itu menyebut bahwa reyog atau mereka menyebutnya tari barongan itu muncul ketika Nabi Sulaiman sedang melakukan perjalanan dan kemudian bertemu dengan sejumlah binatang dan kemudian beliau melakukan percakapan dengan para binatang itu, termasuk dengan dadak merak yang bentuk fisiknya persis dengan dadak merak produk para pengrajin Reyog Ponorogo (mungkin saja kalau ditunjukkan kepada para pengrajin Reyog di Ponorogo akan ada salah satu dari mereka yang bisa mengenali bahwa dadak merak itu adalah produknya). Sekali lagi, penulis justru tertarik pada pesan legenda yang mereka bangun. Legenda biasanya diciptakan untuk memberi tanda terkait dengan keadaan alam atau nama sebuah daerah. Para pakar dalam bidang ini sependapat mengatakan demikian, misalnya Liberatus Tengsoe Tjahjono, Burhan Nurgiyantoro, dan lainnya. Jadi, sekalipun ia merupakan sebuah dongeng yang diciptakan oleh masyarakat sehubungan dengan keadaan alam yang melingkupi, jelas ia tidak lepas sama sekali dengan ruang dan waktu yang melingkupi sebuah legenda itu lahir dan berkembang. Tari Reyog Ponorogo, misalnya, yang terpayungi oleh sejumlah legenda kelahirannya, semuanya sangat jelas menunjukkan kesesuaian dengan perkembangan ruang-waktu masyarakat Ponorogo, misalnya; ia dilatari dengan masa dimana masyarakat Ponorogo masih memeluk animisme dinamisme dimana salah satunya menghadirkan sosok macan (harimau) yang diyakini sebagai satu-satunya binatang yang memiliki kekuatan dahsyat dan karena itu layak dijadikan idola (“tuhan”) dalam mengawal hidup dan kehidupan masyarakatnya. Ia dilatari juga oleh sebuah peristiwa kemegahan dan kejayaan kerajaan Wengker yang pernah besar di Ponorogo, hingga untuk menandai kebesaran dan kemegahannya itu dibuat sebuah legenda yang menunjukkan tidak saja para manusia yang nyengkuyung kekuasaan sang raja (Klonosewandono), tetapi hingga para binatang belantara pun ikut tunduk dan patuh kepadanya. Ada juga yang dilatari dengan sebuah jaman dimana agama Islam telah masuk dan dipeluk oleh sebagian masyarakat Ponorogo, sehingga karena itu ada manik-manik (semacam tasbih: alat untuk menghitung zikr yang dibaca oleh seorang Muslim terutama setelah melakukan shalat) yang dipasang di taruh burung merak sebagai tanda adanya gerakan islamisasi dimaksud. Begitu seterusnya masih banyak legenda yang memayungi kelahiran Reyog Ponorogo, yang kesemuanya tak lepas sama sekali dengan sejarah Ponorogo.
Akan halnya legenda tari barongan, menjadi sangat “lucu” dan “naïf” ketika disebut disana, bahwa kemunculannya berkait erat dengan jaman Nabi Sulaiman, dimana aspek ini jelas-jelas lepas dengan ruang dan waktu yang melingkupi tempat kelahirannya; Malaysia. Memang bisa saja sang kreator nya menghubung-hubungkan dengan negeri Arab atau lebih luas negeri Timur Tengah, dimana sang Nabi Sulaiman yang dijadikannya background legendanya lahir disana. Tapi ingat bahwa sebuah nama “tari barongan” yang kadung dipakai - sama sekali tidak mencerminkan Arab. Mungkin saja sang kreator akan menyanggah bahwa sebuah nama tidak harus selalu mengambil dari bahasa negeri asalnya- Arab, tapi alasan itu justru lucu dan ngawur, karena otomatis akan mengaburkan identitas pemilik legenda. Ataukah Nabi Sulaiman pernah plesir ke negeri Slangor dan Johor ?
Karena itu ada beberapa catatan khusus untuk sang kreator tari barongan, selebihnya untuk orang dan pihak yang ikut “ndaku”; Pertama, mengkreasi dan kemudian mengklaim sebuah karya orang lain menjadi miliknya adalah sebuah sikap arogan; jumawah, ngawur, dan sembrono. Bagaimana tidak, sebuah karya seni, termasuk seni Reyog Ponorogo lahir dan berkembang, tidak tanpa upaya dan kerja keras. Ia telah memaksa para penggagas awal hingga generasi penerus (anak cicit wong Ponorogo) untuk rela meluangkan segala energi yang dimiliki (lahir-batin) untuk mempertahankan, memelihara, dan memperkembangkannya dari waktu ke waktu. Nah, dengan demikian, menyerobot kemudian mengkreasi dan mengklaim nya sebagai pemilik nya adalah sebuah sikap yang tidak saja tidak sopan, tapi sebuah sikap sombong dan jumawah pewaris “betharakala” yang main “untal” – melahap apa saja yang dimauinya, karena memang tidak memiliki nurani. Kedua, mengklaim tari barongan sebagai miliknya adalah sebuah sikap “dungu”. Kedunguan sang kreator akan nampak dalam beberapa hal; (1) Nabi Sulaiman yang dijadikan latar legenda kelahirannya sama sekali tidak matching dengan ruang dan waktu Malaysia. Justru hal ini menjadi sangat “naïf” manakala dihubungkan dengan perkembangan sosial keagamaan (Islam) di Malaysia yang relatif sangat bagus, dimana penghubungan legenda dengan sebuah kenabian itu justru hanya akan menodai (baca: melecehkan) Islam dan sekaligus umat Islam disana; (2) Reyog Ponorogo yang kemudian ia sadap dengan nama tari barongan, jelas-jelas takkan pernah matching juga dengan karakter asli orang Johor dan Selangor, karena memang tari Reyog Ponorogo, khususnya tari warok nya digali dari karakter asli wong Ponorogo. Oke lah andaikan ada pembenaran yang didasarkan dengan kenyataan adanya komunitas wong Ponorogo atau orang Jawa Indonesia pada umumnya yang singgah dinegeri itu sebagai Tenaga Kerja Indonesia dan membentuk group Reyog Ponorogo. Tapi mengklaimnya sebagai tari barongan ala Malaysia, lagi-lagi tak bisa dibenarkan dengan dalih dan logika apapun.
Penulis yakin, pemerintah Malaysia takkan gegabah untuk ikut-ikutan meng-amini ambisi sang kreator yang arogan dan dungu itu. Penulis pun juga sangat yakin terhadap para pemilik seni Reyog Ponorogo takkan mudah terprovokasi oleh pancingan-pancingan “naïf” sang kreator tari barongan berikut para pecundangnya. Sikap, ucap, tindak yang arif dan tertata untuk menghadapi klaim tari barongan ini, justru akan membawa berbagai pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Ponorogo, bahwa seni Reyog Ponorogo ternyata memang besar. Pamor kebesarannya takkan pernah berhenti dari gangguan orang lain agar ia pudar dan kemudian punah dari negeri warok ini. Tapi upaya keras dan sikap yang tulus wong Ponorogo untuk menjaga kebesaran Reyog Ponorogo, akan menyebabkan akar kebesarannya semakin kokoh dan takkan ada upaya usil yang akan berhasil mencerabutnya, dengan cara arogan dan dungu sekalipun.
(Penulis Drs. Rido Kurnianto, M.Ag. Ketua LPPM Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Anggota Litbang Yayasan Reyog Ponorogo)
Benar memang kalau melihat gambar yang dipampangkan lewat internet maupun media lain, bahwa tari barongan yang diklaim itu sangat mirip dengan tari Reyog Ponorogo. Mulai dadak merak, warok, pujangganong, penari kuda, dan seterusnya adalah sangat sulit dicari perbedaannya dengan Reyog Ponorogo. Atau bisa jadi gambar itu diambil dari pentas Reyog Ponorogo dan kemudian dikoleksi dan direkayasa dengan pesan-pesan klaim tari barongan tersebut.
Terlepas apakah tari barongan itu sadapan dari tari Reyog Ponorogo atau tidak, justru penulis tertarik pada bagian sinopsis legenda tari barongan yang tertulis di bawah publikasi yang disampaikannya. Secara singkat pesan legenda itu menyebut bahwa reyog atau mereka menyebutnya tari barongan itu muncul ketika Nabi Sulaiman sedang melakukan perjalanan dan kemudian bertemu dengan sejumlah binatang dan kemudian beliau melakukan percakapan dengan para binatang itu, termasuk dengan dadak merak yang bentuk fisiknya persis dengan dadak merak produk para pengrajin Reyog Ponorogo (mungkin saja kalau ditunjukkan kepada para pengrajin Reyog di Ponorogo akan ada salah satu dari mereka yang bisa mengenali bahwa dadak merak itu adalah produknya). Sekali lagi, penulis justru tertarik pada pesan legenda yang mereka bangun. Legenda biasanya diciptakan untuk memberi tanda terkait dengan keadaan alam atau nama sebuah daerah. Para pakar dalam bidang ini sependapat mengatakan demikian, misalnya Liberatus Tengsoe Tjahjono, Burhan Nurgiyantoro, dan lainnya. Jadi, sekalipun ia merupakan sebuah dongeng yang diciptakan oleh masyarakat sehubungan dengan keadaan alam yang melingkupi, jelas ia tidak lepas sama sekali dengan ruang dan waktu yang melingkupi sebuah legenda itu lahir dan berkembang. Tari Reyog Ponorogo, misalnya, yang terpayungi oleh sejumlah legenda kelahirannya, semuanya sangat jelas menunjukkan kesesuaian dengan perkembangan ruang-waktu masyarakat Ponorogo, misalnya; ia dilatari dengan masa dimana masyarakat Ponorogo masih memeluk animisme dinamisme dimana salah satunya menghadirkan sosok macan (harimau) yang diyakini sebagai satu-satunya binatang yang memiliki kekuatan dahsyat dan karena itu layak dijadikan idola (“tuhan”) dalam mengawal hidup dan kehidupan masyarakatnya. Ia dilatari juga oleh sebuah peristiwa kemegahan dan kejayaan kerajaan Wengker yang pernah besar di Ponorogo, hingga untuk menandai kebesaran dan kemegahannya itu dibuat sebuah legenda yang menunjukkan tidak saja para manusia yang nyengkuyung kekuasaan sang raja (Klonosewandono), tetapi hingga para binatang belantara pun ikut tunduk dan patuh kepadanya. Ada juga yang dilatari dengan sebuah jaman dimana agama Islam telah masuk dan dipeluk oleh sebagian masyarakat Ponorogo, sehingga karena itu ada manik-manik (semacam tasbih: alat untuk menghitung zikr yang dibaca oleh seorang Muslim terutama setelah melakukan shalat) yang dipasang di taruh burung merak sebagai tanda adanya gerakan islamisasi dimaksud. Begitu seterusnya masih banyak legenda yang memayungi kelahiran Reyog Ponorogo, yang kesemuanya tak lepas sama sekali dengan sejarah Ponorogo.
Akan halnya legenda tari barongan, menjadi sangat “lucu” dan “naïf” ketika disebut disana, bahwa kemunculannya berkait erat dengan jaman Nabi Sulaiman, dimana aspek ini jelas-jelas lepas dengan ruang dan waktu yang melingkupi tempat kelahirannya; Malaysia. Memang bisa saja sang kreator nya menghubung-hubungkan dengan negeri Arab atau lebih luas negeri Timur Tengah, dimana sang Nabi Sulaiman yang dijadikannya background legendanya lahir disana. Tapi ingat bahwa sebuah nama “tari barongan” yang kadung dipakai - sama sekali tidak mencerminkan Arab. Mungkin saja sang kreator akan menyanggah bahwa sebuah nama tidak harus selalu mengambil dari bahasa negeri asalnya- Arab, tapi alasan itu justru lucu dan ngawur, karena otomatis akan mengaburkan identitas pemilik legenda. Ataukah Nabi Sulaiman pernah plesir ke negeri Slangor dan Johor ?
Karena itu ada beberapa catatan khusus untuk sang kreator tari barongan, selebihnya untuk orang dan pihak yang ikut “ndaku”; Pertama, mengkreasi dan kemudian mengklaim sebuah karya orang lain menjadi miliknya adalah sebuah sikap arogan; jumawah, ngawur, dan sembrono. Bagaimana tidak, sebuah karya seni, termasuk seni Reyog Ponorogo lahir dan berkembang, tidak tanpa upaya dan kerja keras. Ia telah memaksa para penggagas awal hingga generasi penerus (anak cicit wong Ponorogo) untuk rela meluangkan segala energi yang dimiliki (lahir-batin) untuk mempertahankan, memelihara, dan memperkembangkannya dari waktu ke waktu. Nah, dengan demikian, menyerobot kemudian mengkreasi dan mengklaim nya sebagai pemilik nya adalah sebuah sikap yang tidak saja tidak sopan, tapi sebuah sikap sombong dan jumawah pewaris “betharakala” yang main “untal” – melahap apa saja yang dimauinya, karena memang tidak memiliki nurani. Kedua, mengklaim tari barongan sebagai miliknya adalah sebuah sikap “dungu”. Kedunguan sang kreator akan nampak dalam beberapa hal; (1) Nabi Sulaiman yang dijadikan latar legenda kelahirannya sama sekali tidak matching dengan ruang dan waktu Malaysia. Justru hal ini menjadi sangat “naïf” manakala dihubungkan dengan perkembangan sosial keagamaan (Islam) di Malaysia yang relatif sangat bagus, dimana penghubungan legenda dengan sebuah kenabian itu justru hanya akan menodai (baca: melecehkan) Islam dan sekaligus umat Islam disana; (2) Reyog Ponorogo yang kemudian ia sadap dengan nama tari barongan, jelas-jelas takkan pernah matching juga dengan karakter asli orang Johor dan Selangor, karena memang tari Reyog Ponorogo, khususnya tari warok nya digali dari karakter asli wong Ponorogo. Oke lah andaikan ada pembenaran yang didasarkan dengan kenyataan adanya komunitas wong Ponorogo atau orang Jawa Indonesia pada umumnya yang singgah dinegeri itu sebagai Tenaga Kerja Indonesia dan membentuk group Reyog Ponorogo. Tapi mengklaimnya sebagai tari barongan ala Malaysia, lagi-lagi tak bisa dibenarkan dengan dalih dan logika apapun.
Penulis yakin, pemerintah Malaysia takkan gegabah untuk ikut-ikutan meng-amini ambisi sang kreator yang arogan dan dungu itu. Penulis pun juga sangat yakin terhadap para pemilik seni Reyog Ponorogo takkan mudah terprovokasi oleh pancingan-pancingan “naïf” sang kreator tari barongan berikut para pecundangnya. Sikap, ucap, tindak yang arif dan tertata untuk menghadapi klaim tari barongan ini, justru akan membawa berbagai pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Ponorogo, bahwa seni Reyog Ponorogo ternyata memang besar. Pamor kebesarannya takkan pernah berhenti dari gangguan orang lain agar ia pudar dan kemudian punah dari negeri warok ini. Tapi upaya keras dan sikap yang tulus wong Ponorogo untuk menjaga kebesaran Reyog Ponorogo, akan menyebabkan akar kebesarannya semakin kokoh dan takkan ada upaya usil yang akan berhasil mencerabutnya, dengan cara arogan dan dungu sekalipun.
(Penulis Drs. Rido Kurnianto, M.Ag. Ketua LPPM Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Anggota Litbang Yayasan Reyog Ponorogo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar