DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM WAROK PONOROGO

Abstrak : Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan penelitian tentang dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo. Aspek ini menarik untuk diteliti, mengingat warok Ponorogo yang dikenal selama ini, seolah tidak mungkin untuk melakukan karya di bidang pemikiran Islam. Bahkan yang berkembang selama ini, warok selalu akrab dengan pencitraan sosok negatif disebabkan bayang-bayang sisi gelap kehidupannya, berkaitan dengan sikap jumawah dan penyimpangan seksual. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dua tipologi pemikiran Islam yang diwakili oleh Kiai Ma’shum melalui seni reyog dan Kiai Syukri melalui warok kanuragan berdampak secara signifikan terhadap pengembangan seni reyog pada sati sisi, dan peningkatan keberagamaan warok kanuragan pada sisi yang lain. Dari hasil penelitian ini ditemukan masalah penelitian baru, yakni berkembangnya pola Islamisasi di kalangan warok kanuragan terkait dengan peningkatan kualitas keberagamaan di kalangan konco reyog dan warok Ponorogo secara umum.

Kata kunci : Warok, Olah Kanuragan, Pemikiran Islam, Islamisasi

PENDAHULUAN
Bisa diduga, bahwa kesenian ini menjadi alat dakwah yang sangat efektif pada masanya. Dan, itulah yang memang terjadi kemudian. Simbolisasi instrumen Reyog, diantaranya; manik-manik yang dipasang di paruh merak dimaksudkan sebagai simbol tasbih (alat ber-zikr yang berfungsi sebagai alat untuk memastikan nominal bacaan zikr); jumlah dan warna pakaian penari (jathil) dimaksudkan sebagai lambang nafsu yang berada di dalam diri manusia, dimana hal-hal yang baru disebut itu menjadi bukti adanya gerakan dakwah islamiyah yang sangat sistematis. Selanjutnya, posisi R. Katong sebagai penguasa menjadi strategis dalam mewarnai agama rakyatnya, terutama para tokoh kota ini dari berbagai lapisan sosial maupun agama. Para tokoh inilah yang dikemudian hari menjadi pilar-pilar pelestari dan pengembang kesenian Reyog Ponorogo itu.

Dalam situasi tertentu, para tokoh, sebagaimana diterangkan di atas, selanjutnya mendapat gelar kehormatan ; para warok. Belum ada data obyektif, memang, untuk memastikan jati diri keberagamaan para warok itu; apakah Muslim ataukah non-Muslim (Kejawen, Animis, Dinamis, Hindhu, Budha). Namun, jika mencermati kosakata sebutan yang disandangkan kepadanya, yakni “warok”, maka jelas ia diambil dari kosa kata Arab dari kata “wira’i” artinya orang yang selalu menjaga kehormatan diri. Dari sini bisa diasumsikan, bahwa para warok itu adalah Muslim. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan ruang dan waktu saat itu, dimana R. Katong sangat berkepentingan untuk membumikan sekaligus mengembangkan agama Islam di bumi Ponorogo ini.
Dinamika perubahan jaman telah membawa dampak terhadap berubahnya orientasi hidup para warok. Definisi warok yang semula terbatasi hanya untuk orang-orang yang memiliki kanoragan, kasekten tinggi (dalam arti yang sesungguhnya dalam bentuk kekuatan fisik dan lahir; kuat tirakat, prihatin sekaligus ruhaninya, sehingga karenanya mereka tidak mempan diterjang senjata tajam, otot kawat balung wesi), telah bergeser dan melebar menjadi milik siapapun (baik dlondonge wong Ponorogo; “penduduk asli Ponorogo” maupun pendatang) yang ditokohkan karena jasa-jasanya dalam membangun peradaban kota ini. Karena itu, deretan daftar warok menjadi panjang, bahkan pada saat ini, para warok dalam pengertian kedua itu, ternyata yang lebih mendapatkan ruang gerak memberikan kontribusi riil dalam pengembangan masyarakat Ponorogo.
Para warok, yang kebanyakan berlatar intelektual Muslim itu dituntut oleh ruang dan waktu untuk memberikan kontribusi nyata, terutama di bidang pemikiran Islam di Ponorogo. Hal ini mengingat begitu panjangnya masa interaksi Islam dengan dunia masyarakat Ponorogo (dimana sebagaimana masyarakat lain di Jawa telah memiliki sejumlah keyakinan atau “agama” sebelum Islam datang, dalam stadium telah mendarah mendaging dalam kehidupan mereka), telah membentuk Islam dalam interpretasi mereka (yang sangat kental dengan aspek-aspek dari keyakinan atau “agama” asal tersebut). Persoalan yang muncul kemudian, bisa diduga, bahwa ada banyak aspek kehidupan mereka yang jauh dari ruh ajaran Islam itu sendiri (baca: “syirk”; menyekutukan atau menduakan Tuhan dengan sesuatu yang lain). Interpretasi terhadap Islam yang diwujudkan dalam aksi pemelukan Islam oleh masyarakat Ponorogo, jelas akan terus membutuhkan pencerahan dari para tokoh masyarakat (warok) tersebut. Pemikiran Islam, dengan demikian, tidak sekadar perlu diperhatikan para warok itu, tetapi bahkan harus dilakukan, dalam rangka menjembatani kesulitan-kesulitan berekspresi sebagai Muslim disebabkan oleh jeratan-jeratan keyakinan masa lalunya.
Penelitian ini bisa dianggap penting, mengingat belum pernah dilakukan penelitian tantang warok dari aspek pemikiran Islam, terkait dengan upaya pencerahan masyarakat (baca : Islamisasi secara kualitatif). Beberapa penelitian yang telah dilakukan, lebih terfokus kepada kaji budaya seni Reyog berikut Warok Ponorogo (pada aspek profil kanoragan, kasekten nya), sehingga kontribusi dan peran yang lebih besar dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat sendiri, terabaikan. Penelitian ini juga dimungkinkan akan membuka wacana baru bagi dunia pe-warok-an di Ponorogo. Selama ini, warok diklaim hanya bagi mereka yang memiliki “olah kanoragan” tinggi, dan inilah yang selama ini dikawal oleh masyarakat Ponorogo. Padahal, mestinya, sesuai dengan istilahnya, warok mestilah tidak sebatas itu. Sangat niscaya warok dimaknai lebih dari sisi partisipasi aktifnya dalam memberikan kemanfaatan bagi pembangunan masyarakat Ponorogo.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana dinamika pemikiran Islam yang dilakukan oleh para warok Ponorogo ?. Kemudian agar memperoleh jawaban penelitian yang lebih rinci dan mampu mendukung analisis pertanyaan permasalahan penelitian itu, maka akan dicari jawabannya lewat pengembangan permasalahan penelitian berikut ; a) Bagaimana perkembangan Islam di Ponorogo berikut hubungannya dengan adat setempat ?; b) Bagaimana konsepsi tentang warok Ponorogo dari masa ke masa ?; c) Apa saja kontribusi pemikiran Islam para warok di bidang pengembangan umat Islam Ponorogo secara kualitatif ?; dan d) Apa saja kontribusi para warok itu bagi pembangunan masyarakat Ponorogo, sesuai dengan bidangnya masing-masing ?.
Dinamika pemikiran Islam yang berkembang di Ponorogo, diasumsikan terkait rapat dengan seni Reyog Ponorogo, mengingat aktifitas warok juga terkait erat dengan kesenian yang telah menjadi kebanggaan nasional ini, sekalipun antara warok dan seni reyog itu sendiri memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Karena itu, permasalahan penelitian yang telah dirumuskan di atas, akan disetting fokus kajiannya melalui seni reyog Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Data yang hendak dikumpulkan adalah tentang dinamika pemikiran Islam. Dari ungkapan konsep tersebut, jelas, bahwa yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi. Karena itu, penelitian ini lebih mempunyai perspektif emik, artinya data yang dikumpulkan diupayakan untuk dideskripsikan berdasarkan ungkapan, bahasa, cara berpikir, pandangan subjek penelitian, sehingga apa yang menjadi pertimbangan dibalik pemikiran, dapat terungkap.
Data tentang dinamika pemikiran warok Ponorogo, akan digali melalui teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis, melalui proses induksi-interprtetasi-konseptualisasi, baik saat di lapangan maupun di luar lapangan. Sedangkan validasi data akan dilakukan bersamaan dengan analisis data, baik saat di lapangan maupun terutama setelah dari lapangan dengan memilah data yang masih meragukan untuk dilakukan reduksi data kemudian diteruskan dengan melakukan verifikasi data, dianalisis kembali dan terakhir akan didiskusikan dengan informan penelitian untuk memastikan validitas temuan.

HASIL PENELITIAN
Perkembangan Islam dan Adat di Ponorogo
Kondisi keberagamaan masyarakat yang erat dengan adat tradisi kepercayaan lama, seperti di Ponorogo, nampaknya berdampak pada kualitas keberagamaan berikutnya. Hingga saat ini pemelukan keberagamaan itu masih bercampur dengan kepercayaan lama, bahkan sulit untuk memilah antara adat tradisi yang terwarisi dari kepercayaan lama itu dengan ajaran Islam yang tengah mereka peluk. Disinilah sering terjadi yang namanya tumpang suh (tumpang tindih) antara adat dan agama (Islam); aspek ajaran Islam sering disikapi sebagai adat, dan sebaliknya adat disikapi layaknya agama.
Dalam hidup keseharian, pencampur-adukan itu mewujud di dalam berbagai ritual, misalnya kenduri. Kenduri yang diboyong dari kepercayaan animisme dinamisme, atau Hindhu bertemu di dalam semangat shadakah (di dalam ajaran Islam). Di dalam ritual kenduri, aspek simbol sesaji dalam kepercayaan lama sangat kental. Perangkat kenduri dalam bentuk ambeng (nasi lengkap dengan lauknya ditaruh ditempat sejenis dulang atau leser; sebuah perkakas dapur yang berfungsi untuk menaruh gelas atau piring siap saji), ditata menurut urutan sesaji. Ada sedikit beda terkait dengan isi ambeng disebabkan berbeda tujuan sesaji-nya. Ambeng akan dilengkapi dengan sondreng (terbuat dari parutan kelapa yang digoreng dan dikasih bumbu untuk melengkapi lauk) dan apem (kue manis terbuat dari tepung dan ditaruh disekeliling ambeng), ketika ambeng ini diperuntukkan untuk memperingati ruh leluhur yang telah meninggal dunia. Sementara ambeng yang diperuntukkan selain tujuan itu tanpa dikasih dua kelengkapan tersebut. Dalam praktik ritual sesaji lewat kenduri ini, biasanya didahului dengan hidiyah (kirim surat al-Fatihah) untuk para leluhur diteruskan dengan membaca surah Yasin dan atau tahlil. Disinilah masih sangat nampak perpaduan dua unsur itu; adat dan ajaran Islam.
Memudarnya tradisi ritual sesaji pada seni reyog ini, nampaknya memang terilhami oleh pemikiran Kiai Ma’shum berkaitan dengan pemikiran Islam beliau yang dituangkan dalam meramu tampilan seni reyog islami yang dipublikasikan secara gencar lewat festival reyog islami yang diselenggarakan di pesantrennya; di Ponpes Modern Slahung Ponorogo. Festival ini dilakukan tahun 2004 dan 2005. Sebagaimana dijelaskan oleh Ustad Syarifan Nurjan, S.Ag., MA (bagian Humas Pesantren dan tangan kanan Kiai Ma’shum), animo masyarakat terhadap festival reyog islami ini cukup besar, baik dari peserta festival maupun masyarakan yang menikmati pentas reyog tersebut. Ada 22 group reyog yang mengikuti festival ini. Sekalipun belum melibatkan peserta dari luar propinsi (1 group peserta berasal dari Kabupaten Magetan Madiun), namun justru apresiasi masyarakat Ponorogo yang cukup besar itu mengisyaratkan sebuah keinginan besar menyambut seni reyog islami yang selama ini tak pernah mereka lihat dan nikmati. Nuansa islaminya, lanjut Ustad Syarifan, sudah sangat kental begitu pentas dimulai. Masing-masing group reyog membuka pentas dengan doa-doa kepasrahan kepada Allah SWT, yang ditembangkan dengan dua bahasa; Arab dan Jawa Ponorogo-an. Iringan dan hentakan gendang dikuatkan alunan gong besar, membuat hati haru dan menghadirkan suasana layaknya di sebuah majlis para shufi.

Konsepsi Warok dari Masa ke Masa
Beberapa pandangan yang berasal dari para Warok tentang warok bervariasi. Kasni Gunopati (karena ketokohannya, terutama di bidang seni Reyog Ponorogo, beliau tersohor dengan sebutan Mbah Wo Kucing), misalnya, menyatakan bahwa warok berasal dari kata wewarah (wongkang sugih wewarah). Jadi warok adalah orang yang mampu memberikan petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup dan kehidupan yang baik. Warok, lanjutnya, adalah orang yang memiliki tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang telah sempurna dalam hidup dan kehidupan lahir maupun batin). Dikarenakan konsep warok seperti ini maka sudah barang tentu untk menjadi seorang warok dibutuhkan bekal yang memadahi. Bekal yang dimaksud disini lebih pada “laku prihatin” untuk membekali diri baik fisik (kanuragan) maupun batin (spiritual). Di antara laku prihatin itu, ia contohkan, saat masih ngudi kaweruh (mbeguru wong sepuh, wong ngerti, pinter). Begitu beratnya laku prihatin itu sampai ia menyebrangi lautan luas serta menyusuri hutan belantara.
Seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Ponorogo, definisi dan interpretasi tentang warok nampaknya juga mengalami dinamikanya sendiri. Adalah Pak Kiai Syukri (panggilan akrab KH. Drs. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA pimpinan Ponpes Modern “Darussalam” Gontor Ponorogo) dan Pak Kiai Ma’shum (panggilan akrab KH. Drs. Muhammad Ma’shum Yusuf; pimpinan Ponpes Modern “Arrisalah” Slahung Ponorogo) belakangan dikenal dan masuk deretan warok Ponorogo. Dua orang tokoh ini memaknai warok dengan merujuk kepada akar kata warok itu sendiri, yakni kata Arab. Kiai Ma’shum mengatakan, bahwa “konsep warok dulu sesuai dengan namanya yang berasal dari terjemahan bahasa Arab “wara’a” menjadi wira’i, wara’ (warok, menurut lidah masyarakat Ponorogo) yaitu orang yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Kemudian konsep tersebut berubah menjadi kesenian budaya masyarakat Ponorogo”. Darinya lahir sebuah definisi yang lebih menekankan aspek fungsi atau peran sang tokoh dalam membangun masyaraktnya dalam pengertian yang luas, tidak sebatas dari aspek olah kanuragan. Warok menurut mereka adalah tokoh sentral dalam memberikan solusi permasalahan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Dan karena itu, ia di tuakan (disepuhake), dalam pengertian menjadi tokoh panutan di dalam sikap, ucap, serta tindaknya. Warok, lanjutnya “yang artinya menjaga diri akan selalu dijaga oleh Allah dan dia tidak akan takut dengan bentuk-bentuk apapun, yang dia takuti hanya Allah. Keberanian tersebut membuat masyarakat Ponorogo mengistilahkan dia (warok) mempunyai kanuragan, kemudian dilebih-lebihkan lagi menjadi warok kanuragan”.
Pandangan serupa disampaikan Kiai Syukri, bahwa warok Ponorogo adalah seorang yang memiliki jiwa yang suci (fitrah), dimana dengan jiwa suci ini seseorang itu mampu menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat dengan sangat baik. Jiwanya yang suci dibalut oleh keimanan yang murni kepada Allah SWT, membuat hidupnya selalu diarahkan kepada Sang Pencipta, dimana pada gilirannya mengantarkan dirinya mampu memaknai hidup ini dengan sebuah kemanfaatan. Hidup adalah untuk menebar kemanfaatan yang luas kepada masyarakat. Ia mengatakan “warok itu ya orang yang wira’i, suci jiwa dan hatinya, karena ia getol menjaga dirinya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Gerak warok adalah gerak ketuhanan, gerak yang selalu menghasilkan kemanfaatan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu ia selalu dituakan dalam segala urusan di tengah-tengah masyarakatnya. Ia dijunjung tinggi karena kejujurannya, kesesuaian antara ucap dengan tindaknya. Ia dianggap tokoh sakti dalam pengertian kehebatan luar biasa dalam aspek kematangan diri serta kemanfaatan yang disebarkan itu.”

Kontribusi Para Warok Bagi Peradaban Kabupaten Ponorogo
Warok, berdasarkan berbagai keterangan tersebut bisa dipastikan memiliki kontribusi nyata bagi peradaban Ponorogo. Di bidang seni reyog, misalnya, tokoh warok menempati posisi penting di dalam pengembangan kesenian ini, padahal antara seni reyog dan warok memiliki dunianya sendiri dan tidak pernah bersinggungan. Entah sejak kapan, warok menjadi unsur penting di dalam sebuah pentas seni reyog ini. Dalam episode pentas, biasanya tari warok mengawali keseluruhan pentas reyog; tari jathil, tari pujangganong, dan kemudian tari klono sewandono. Bahkan menurut Mbah Wo Kucing, keberadaan warok di dalam kesenian reyog berkaitan dengan perubahan citra, terutama terkait dengan peneguhan makna dan nilai hidup atau falsafah hidup yang terdapat di dalam kesenian ini. Ungkap beliau; “tanpa sang warok kesenian ini kehilangan makna”.
Bahkan menurut Kiai Ma’shum, kontribusi warok Ponorogo bagi peradaban Kabupaten Ponorogo, meliputi empat bidang Sosial, Budaya, Politik, dan Keamanan. Di bidang sosial, warok berhasil menciptakan kerukunan dan ketentraman masyarakat. Peran utama sang warok sebagai tumpuan masyarakat terhadap berbagai persoalan yang dihadapi, menciptakan masyarakat Ponorogo rukun damai. Kehadiran sosok warok sebagai panutan membuat sebuah konflik yang terjadi, misalnya, menjadi mudah dileraikan. Sistem kepribadian sang warok yang relatif matang, berpengaruh erat terhadap hasrat masyarakat untuk menjadikan rujukan dalam mensikapi hidup dan kehidupan sehari-hari. Dan karena itu, masyarakat merasa terayomi, merasa tenteram menjalani kehidupan keseharian bersama-sama dengan sang warok. Kepedulian sang warok akan terciptanya kerukunan hidup, lebih jauh masuk dalam komunitas pelaku seni atau seniman. Mereka bersedia untuk menjadi perantara ataupun penengah dalam mewujudkan kerukunan itu, hingga juga bersedia berkurban apapun yang mereka mampu. “Saya tidak suka kalau para seniman itu congkrah, eker-ekeran (saling berebut; berebut kebenaran, popularitas, dan semisalnya). Saya bersedia berkurban apapun untuk mendukung kegiatan mereka. Tetapi, satu pesan saya semua harus rukun,” ujar Mbah Wo Kucing penuh kearifan. Kepedulian para warok akan kerukunan ini, pada gilirannya membuat pemerintah menyambut niat luhur itu dengan mewujudkan sebuah padepokan reyog yang berlokasi di jalan Pramuka sebelah timur stadion Bathara Kathong.

Kontribusi Para Warok di Bidang Pemikiran Islam
Kemunculan warok dari dua pesantren besar di Ponorogo, dengan memberikan tawaran pemikiran Islam bagi pengembangan masyarakat Ponorogo, menghadirkan paradigma baru terutama bagi laju pelestrian budaya lokal di Kabupaten Ponorogo. Di bidang seni reyog telah melahirkan karya reyog islami, sedangkan di bidang pengembangan kualitas keberagamaan berhasil masuknya beberapa warok kanuragan ke dalam komunitas Muslim.

Penjelasan Atas Temuan Penelitian
Dari wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan, yang terdiri dari warok kanuragan dan warok Muslim diperoleh penjelasan, bahwa pemikiran Islam yang digulirkan oleh warok Muslim atau para Kiai, dalam hal ini Kiai Syukri dan Kiai Ma’shum, telah mampu menghadirkan paradigma baru dalam tradisi warok Ponorogo secara khusus dan masyarakat Ponorogo secara umum. Paradigma dalam tradisi warok selama ini penuh dengan citra negatif terkait dengan sisi gelap tradisi warok, terutama Mo Limo; Main, Madat, Maling, Madon, dan Marok”, disamping juga tercitrakannya sisi gelap kehidupan sang warok, sebagai kaum homo seksual, terkait dengan adanya tradisi gemblak.
Para warok kanuragan yang menjadi sasaran bidik pemikiran Islamnya, dengan metode sambang-sinambang mampu menjadikan pemikiran yang digulirkan itu mengalir dengan sangat mulus, seolah tanpa hambatan. Hingga ideologi Islam Kejawen yang telah lama mapan dihati para warok kanuragan seolah luntur diguyur hujan yang menyejukkan. Sambang-sinambang itu sangat aktif ia lakukan, baik fisik maupun non-fisik (lewat telepon), sehingga para warok yang dituju merasa layaknya bagian dari keluarga Gontor. Saat ini para warok kanuragan, seperti Mbah Sokerto (Kauman Somoroto), Mbah Jolego, dan sebagainya telah menjadikan hidup dan kehidupannya sebagai Kiai di lingkungannya; memiliki Masjid dan subyek binaan dari masyarakat lingkungan dan para konco reyog yang berada di bawah kepemimpinannya.
Sementara, Kiai Ma’shum sebagai pimpinan pondok modern Arrisalah Slahung Ponorogo, memiliki naluri seni yang cukup tinggi. Karakternya yang ceplas-ceplos menyampaikan kebenaran, justru membuat Kiai ini disenangi masyarakat. Kejujuran dan komitmennya terhadap kemajuan masyarakat Ponorogo, membuat banyak pihak terkagum-kagum. Wajar, ketika beliau menggulirkan ide reyog Islami, tidak membuat masyarakat tersentak kecewa, melainkan mengapresiasi pemikiran tersebut dengan sangat baik dan antusias.
Strategi budaya luwes gandes tur pantes, yang dilakukan lewat pemikiran Islam tidak mengakibatkan para pelaku reyog dengan pakem animisme, dinamisme, Hindhu yang terangkum dalam pakem reyog menjadi gerah dan menentang upaya tersebut, melainkan malah bangga dengan paradigma reyog islami tersebut. Nampaknya hal ini dipicu oleh kegelisahan mereka akan pudarnya apresiasi masyarakat Ponorogo sendiri disebabkan oleh, salah satunya, aspek kemaksiatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Kiai Syukri maupun Kiai Ma’shum, berkesesuaian dengan pendapat Rogers, bahwa warok sebagai linkers sang agen perubahan mempunyai posisi yang sangat penting. Ia memiliki sifat-sifat seperti opinion leaders; sebagai panutan masyarakatnya, punya rasa empati pada masyarakatnya, dan memiliki kepedulian pada masyarakatnya (Hidayat: 1997; 88) Pendekatan-pendekatan yang luwes dan mengakar, nampaknya juga bisa diturunkan dari teori ini.

Pemikiran Islam Perspektif Pengembangan Seni Budaya
Konsep pemikiran Islam pada aspek ini difokuskan pada tiga even budaya yang ada di Ponorogo; seni reyog, grebeg suro, dan larung risalah. Strategi penanaman ide Islami pada ketiga even budaya ini hampir sama, yakni menjadikan seni budaya yang telah ada sebagai media sosialisasi pemikiran Islam. Di dalam proses ini, sang pemikir tidak mengubah perangkat yang telah ada, tetapi hanya mewarnainya. Kekuatan dan kelemahan, beserta styl budayanya dicermati, untuk dikembangkan dalam pola pikir sesuai yang dimaui, dan kemudian darinya mengembangkan karakter imajinasi masyarakat yang dibidik. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Anderson dalam hasil kajiannya terhadap masyarakat Jawa, bahwa hasil proses akulturasi suatu masyarakat tak akan lebur menghilangkan karakter aslinya, tetapi ia jadi hetero-homogi-nitas. Pada kehidupan masyarakat Jawa, kontak antar komunitas berbeda budaya, tidak hanya melihat kekuatan dan kekurangan masing-masing tradisi, tetapi juga styl budayanya, sehingga berkembang seperti karakter imajinasi dari masyarakat bersangkutan (Anderson: 1991; 6-7).
Penerimaan terhadap perubahan paradigma berseni budaya, terutama dalam seni reyog Ponorogo, nampaknya mengalir sebagaimana dalam teori perubahan kultural yang menyatakan bahwa perubahan sosial pada dasarnya adalah perubahan budaya dalam kehidupan masyarakat. Perubahan itu disebabkan, antara lain oleh evolusi, difusi, dan akulturasi. Perubahan itu dituntut karena terjadinya perubahan ruang dan waktu, sehingga tak pernah lepas dari berbagai elemen yang melingkupi kehidupan manusia, seperti historis, perubahan kondisi sosial, kekuasaan, dan kemampuan adaptasi pada realitas sosial yang ada (Giddens: 1995; 227).

Pemikiran Islam Perspektif Pemberdayaan Warok Kanuragan
Dalam kasus Mbah Sisok, misalnya, untuk meluluhkan hati sang warok yang juga memiliki usaha pengrajin reyog ini, tidak segan-segan Kiai Syukri bertandang ke rumahnya untuk sekedar menanyakan kesehatan, usaha, dan seterusnya yang sama sekali tidak terkait dengan ajakan dakwah. Intensitas pertemuan antara keduanya, nampaknya cukup efektif melahirkan keakraban hubungan. Sulit untuk membedakan, apakah masuk dan memeluknya Islam Mbah Sisok karena kesadaran ataukah karena kedekatan dengan Kiai Syukri. Kedua-duanya sangat niscaya manjadi faktor utama, hanya yang menjadi persoalan faktor mana yang lebih duluan menjadi motif.
Demikian halnya yang terjadi pada Mbah Jolego sentuhan-sentuhan kekeluargaan telah membentuk keeratan hubungan persis jalinan kekerabatan. Keduanya benar-benar suyut; saling membutuhkan, saling terikat secara emosional, hingga tanpa terasa gesekan-gesekan siluturrahim yang terus-menerus terjadi itu, mengantarkan Mbah Jolego untuk tidak sekedar menerima kebenaran agama Islam, tetapi bahkan memeluknya secara fanatik. Darinya juga melahirkan sikap amaliah (praksis) dari pemelukan keagamaan itu, yakni hingga Mbah Jolego menunaikan rukun Islam kelima; haji.

Posisi Temuan Empirik Terhadap Teori
Para warok dari kalangan pesantren secara sengaja menunjukkan kepada masyarakat, bahwa mereka benar-benar peduli terhadap pengembangan masyarakat Ponorogo, terutama terkait dengan peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kualitas keberagamaan masyarakat Ponorogo relatif masih memprihatinkan, berkaitan dengan masih bercampur aduknya antara adat tradisi dari kepercayaan lama dengan Islam itu sendiri. Melalui karya pemikiran Islam, para warok itu melakukan pembinaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan; terutama melalui seni reyog dan tradisi warok Ponorogo.
Kesadaran para warok dari kalangan pesantren terhadap posisinya sebagai tokoh sentral akan tugas keumatan, disebut August Comte, dkk. (1985) “idea of progress”. Menurut August Comte, dkk., ketika anggota masyarakat mengalami berada di dalam posisi sentral, maka ia akan melakukan pembangunan masyarakatnya melalui dua tahapan, yakni perkembangan dalam “struktur atas” dan “struktur bawah. Struktur atas melahirkan kesadaran tokoh yang dituakan untuk membaca secara cerdas dunia sekelilingnya untuk dilakukan pengembangan masyarakat secara luas. Sedangkan struktur bawah realitas masyarakat itu sendiri. Sang aktor melakukan tindakan pengembangan melalui pemikiran islam yang digulirkan. Dengan demikian, sang aktor dalam hal ini para warok melakukan tindakan sosial melalui pemikiran Islam dalam rangka merespon balik sisi negatif dalam tradisi warok yang telah tercitrakan ke dalam masyarakat dan mendorong pengembangan masyarakat ke arah pemahaman ajaran Islam secara kualitatif.
Gerakan pemikiran Islam yang dilakukan oleh warok Muslim tersebut nampak membawa hasil dengan tumbuhnya minat dan kecintaan masyarakat Ponorogo terhadap seni reyog islami, disamping juga banyaknya warok kanuragan yang secara resmi menguatkan Islam sebagai agamanya. Sementara, dalam perspektif pengembangan keberagamaan masyarakat, banyak tokoh warok kanuragan yang menerima Islam sebagai agama yang dipeluknya, setelah sekian lama mereka memeluk kebatinan kejawen. Kesadaran warok kanuragan yang secara struktur berada di struktur bawah dari para warok Muslim di bidang keberagamaan, pada perkembangannya setelah berhikmat dalam berbagai ritual Islam, seperti naik haji, para warok kanuragan juga menjadi agen pengembangan keberagamaan bagi lingkungan masyarakatnya melalui masjid yang berhasil dibangunnya. Dengan demikian, teori idea of progress dalam lokus struktur bawah pada kasus dinamika pemikiran Islam warok Ponorogo mengalami pengembangan; muncul sub struktur atas yakni warok kanuragan itu sendiri dan sub struktur bawah kondisi sosial dan material masyarakat sang warok.

Implikasi Temuan Bagi Pengembangan Teori
Terhadap konsep “idea of Progress” dari August Comte, Saint Simon, Spencer, dan Marx, terkait dengan dua lokus perkembangan; pertama, adalah perkembangan dalam “struktur atas” atau “kesadaran” manusia tentang diri sendiri dan alam sekelilingnya; dan, kedua perkembangan “struktur bawah” atau kondisi sosial dan material dalam kehidupan manusia, sejalan pola pemikiran Islam yang dilakukan warok Ponorogo. Kesadaran sang warok sebagai linkers dan opinion liders menghasilkan karya dibidang pemikiran Islam dalam rangka meningkatkan keberagamaan masyarakat di semua bidang kehidupan. Akan halnya lokus kedua perkembangan “struktur bawah” ini harus diperluas pemaknaannya, bukan sekedar kondisi sosial dan material yang melingkupi, tetapi pada kasus pengembangan masyarakat Ponorogo, ia juga harus dimaknai “kesadaran” manusia tentang diri dan alam sekelilingnya, dimana dalam hal ini warok kanuragan yang sadar akan posisinya dan kemudian berkembang lagi kesadaran itu untuk mengembangkan masyarakat sekelilingnya, terutama para konco reyog yang berada di bawah kepemimpinannya.
Sementara, teori evolusi August Comte, terkait dengan penahapan dalam perkembangan masyarakat; tahap primitif, peralihan, dan rasional atau ilmiah, tak terjadi sepenuhnya dalam kasus warok kanuragan. Mereka sebenarnya telah lama bersinggungan dengan ajaran Islam, bahkan kitab Kejawen yang mereka pedomani, yakni kitab PAMU (Purwa Ayu Mardhi Utama), banyak berisi ajaran etika yang banyak disadur dari nilai-nilai etika Islam. Perkembangan ke arah pemelukan Islam yang berkualitas, dengan demikian, tidak terjadi secara linier sesuai dengan penahapan perkembangan tersebut, tetapi lebih pada aspek kesadaran sang warok. Karenanya, perlu ada reinterpretasi dan rekonstruksi atas konsep evolusi yang dikemukakan August Comte tersebut.

Implikasi Temuan Bagi Pembangunan Masyarakat
Berdasarkan temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa, pemikiran Islam yang dilakukan warok sudah cukup mengakar, paling tidak pada dataran seni budaya yang ada, terutama seni reyog Ponorogo berikut para warok kanuragan. Hanya saja pola pemikiran seperti ini, masih memiliki kelemahan, terutama pada aspek kontinuitas dan intensifitas, mengingat gerakannya masih sebatas mengandalkan figur sentral, disamping dokumentasi dan publikasi hasil pemikiran yang belum dilakukan, sehingga menghambat proses sosialisasi pada masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Karena itu, dalam rangka penguatan dan percepatan peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: 1) Membentuk jaringan dengan elemen masyarakat yang berkompetens di dalam pendukungan gerakan pemikiran Islam tersebut, misalnya dengan MUI, akademisi Muslim, budayawan Muslim, dan seterusnya; 2) Melakukan dokumentasi tertulis terhadap karya pemikiran Islam yang dilakukan, dalam bentuk buku saku, ataupun buku yang diterbitan oleh penerbit tertentu; dan 3) Melakukan sosialisasi pemikiran Isla secara intens dan terjadwal terhadap terutama konco reyog dan para warok dalam lingkup yang lebih luas.

KESIMPULAN
Berdasarkan temuan penelitian berikut analisis dan pembahasan, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : 1) Pemelukan keberagamaan masyarakat Ponorogo dalam tahap belum murni Islam, dalam arti masih tercampur dengan adat tradisi kepercayaan atau agama lama; animisme, dinamisme, Hindhu. Unsur-unsur adat tradisi ini mewujud dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, dan dipraktikkan dalam hidup keseharian, termasuk dalam berseni budaya; 2) Konsep tentang warok terus mengalami perubahan, seiring dengan dilakukannya reinterpretasi dan redefinisi berdasar peran yang dimainkan oleh warok itu sendiri. Konsep warok yang melegenda dari aspek olah kanuragan telah berubah ke arah substansi peran pembangunan masyarakat yang dilakukan. Sehingga identitas warok tak sebatas hanya dimiliki oleh komunitas warok kanuragan, tetapi menjadi siapapun yang memiliki peran sentral bagi pembangunan masyarakat. Fenomena terakhir, warok dari kalangan Muslim, yakni Kiai Syukri dari pondok modern Darussalam Gontor dan Kiai Ma’shum dari pondok modern Arrisalah Slahung diakui masyarakat sebagai warok Ponorogo disebabkan kontribusi mereka dalam pembangunan keberagamaan (Islam) masyarakat. Hingga saat ini berkembang dua identitas warok, yakni warok kanuragan dan warok Muslim; 3) Kontribusi warok Ponorogo bagi pembangunan masyarakat cukup signifikan, menyebar diberbagai bidang; sosial, politik, budaya, dan keamanan. Bidang ini telah dilakukan oleh kubu warok, baik kanuragan maupun Muslim. Sedangkan kontribusi warok dibidang pemikiran Islam, khusus dilakukan warok Muslim, yang diwakili oleh Kiai Syukri dan Kiai Ma’shum dan telah berhasil membawa kemajuan di bidang seni budaya maupun peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat; dan 4) Di bidang seni budaya, pemikiran Islam warok telah memunculkan paradigma bari seni reyog; dari pakem tradisi kepercayaan lama kepada reyog islami. Nilai islami produk pemikiran warok ini menyebar di seluruh tampilan reyog; gerak tari, koreografer, dan karawitan atau iringan gamelan reyog. Adapun di bidang pengembangan keberagamaan warok kanuragan telah berhasil mengantarkan beberapa warok kanuragan memeluk Islam sekaligus menjadi agen atau da’i bagi masyarakat lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosanjoto, Pradjarta, 1999, “Memelihara Umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa”, Desertasi di Vrije Universiteit Amsterdam, Penerbit LKIS, Yogyakarta.
Geertz, Clifford, 1983, “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, Jakarta.
Kurnianto, Rido, 1997, “Dampak Kesenian Reyog Ponorogo terhadap Jiwa Keagamaan Konco Reyog di Kabupaten Ponorogo”, LPSK UNMUH Ponorogo.
---------------------, 2005, “Perlawanan Kultural Tradisi Rakyat (Tradisi Larung Risalah dalam Pergumulan Agama, Kekuasaan, dan Tradisi di Ngebel Ponorogo”, LPPM UNMUH Ponorogo.
Rogers, Everett M., 1983, “Diffusion of Innovations”, The Free-Press A Division of Macmillan Publishing Co Inc., New York.
Sanderson, Stepen, 1995, “Macrosociology”, Alih bahasa Farid Wajidi, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
Schegel, Stuart S., 1977, “Grounded Research di dalam Ilmu-Ilmu Sosial”, Penerbit PLPIIS, Banda Aceh.

(Artikel ini ditulis oleh Rido Kurnianto dan Nurul Iman, dan telah diterbitkan dalam Jurnal Fenomena Volume 6 Nomor 1 Januari 2009, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammaidyah Ponorogo)


Read More......

MOTIF KEBERAGAMAAN MASYARAKAT URBAN ; KASUS JAMA’AH PENGAJIAN AHAD PAGI DI PONOROGO

Abstrak : Masyarakat urban (perkotaan) mempunyai dinamika dan mobilitas hidup lebih tinggi dibanding dengan masyarakat pedesaan. Mereka lebih akrab bergelut dengan logika atau rasionalisasi dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini dan sering melupakan aspek non-rasional (termasuk religius-spriritual). Penelitian ini bertujuan : 1) Mengetahui secara rinci latar belakang keberagaman jama’ah Ahad Pagi di Ponorogo; 2) Mendeskripsikan kualitas keberagaman jama’ah pengajian Ahad Pagi; 3) Mendeskripsikan penyelenggaraan dan pengelolaan masing-masing lembaga pengajian Ahad Pagi; dan 4) Mendeskripsikan motif keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1) Latar belakang keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi diwarnai oleh latar belakang organisasi keagamaan mereka, baik Nahdlatul ’Ulama’, Muhammadiyah, atau organisasi keagamaan lainnya; 2) Kualitas keberagamaan pengajian Ahad Pagi berdasarkan pada ragam kegiatan yang disajikan oleh panitia pengajian; 3) Panitia penyelenggara pengajian Ahad Pagi dibentuk dari berbagai unsur; dan 4) Berbagai motif keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi di Ponorogo berupa motif ideologis, ritual, devosi, pengalaman dan konsekwensi.

Kata Kunci : Motif Keberagamaan, Masyarakat Urban

PENDAHULUAN
Masyarakat urban lebih akrab bergelut dengan logika atau rasionalisasi dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini. Tidak jarang darinya, melahirkan sejumlah pemikiran dan sekaligus aksi yang melulu rasional, sementara aspek non-rasional (termasuk religius-spriritual) sering terlupakan. Hidup selalu disikapi dengan hitungan kalkulasi-matematis melulu, dimana darinya memang sering mendatangkan keuntungan material sesuai yang diharapkan. Namun aktifitas rasional-logis yang tidak dibarengi dengan muatan religius-spiritual sering membuat orang hidup di dalam kegersangan (kehilangan tambatan hati).

Di negeri-negeri Eropa, dimana masyarakatnya telah mengalami rasionalisasi di semua aspek kehidupan, ternyata justru mengalami berbagai tekanan dan kebingungan hidup. Mereka mulai sadar bahwa kecukupan di bidang material tidak bisa mengantarkan hidup tenang dan bahagia. Karena itulah tidak jarang setiap usai aktifitas kerja mereka mencari sesuatu di luar logika dan materi yang seharian mereka geluti. Fakta terakhir, bahkan ada fenomena menarik dalam hal pensikapan hidup penuh gundah dan bingung itu, dengan adanya “tradisi terbang telanjang”. Tradisi terbang telanjang ini dalam bentuk naik pesawat terbang bersama-sama (satu pesawat diisi oleh para pemburu materi itu) dalam kondisi telanjang bulat, dengan tujuan agar bisa melepaskan segala tekanan dan himpitan batin di tengah-tengah kehidupan material yang tercukupi itu. Ini sekaligus mengisyaratkan, bahwa semakin orang melulu mencari dan memburu kehidupan material, maka kehidupan rohani akan semakin gersang. Dan karena rohani gersang itu, kehidupan menjadi tertekan dan bingung.
Apa yang dipaparkan di atas terkenal dengan istilah aliensi (keterasingan), sebuah perasaan tidak berdaya, tidak bermakna, terpencil – dimana dalam pengertian ilmu sosial barangkali dimulai oleh Marx Weber bahwa sumber dari keterasingan itu terletak dalam cara berproduksi masyarakat. Pembagian kerja masyarakat telah melemparkan kaum proletariat ke tingkat keterasingan yang puncak, direnggutkan dari semua kualitas dan pemilikan (terutama pemilikan alat-alat produksi). Proses dehumanisasi semacam ini terjadi dalam masyarakat kapitalis dan telah menyusutkan sifat-sifat manusiawi kaum proletar menjadi alat pengada keuntungan semata-mata.
Di banyak kota di wilayah Nusantara telah menjadi metropolitan yang menyajikan bentuk masyarakat yeng berbeda sangat jauh dengan pedesaan. Keramahan dan keakraban yang ditunjukkan oleh desa dan kota kecil telah digantikan dengan kekerasan dan keangkuhan kota. Tumbuhya organisasi sosial massa di kota-kota makin menegaskan bahwa hubungan sosial semakin didasarkan kepada hubungan kepentingan impersonal semata-mata. Tidak mengherankan jika kota menimbulkan keterasingan. Di kota, barangkalli hanya di lokasi-lokasi kecil dan tradisional saja dapat terlihat hubungan personal antar anggota. Di kota, bahkan perkumpulan keluarga atau trah menjadi sebuah organisasi yang impersonal dengan AD dan ART serta brosur dan buletin berkala sendiri.
Wadah-wadah modern yang tersedia di kota-kota itu pada gilirannya membuat masyarakat semakin kaku. Ikatan-ikatan sosio-emosional, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat pedesaan tidak terjadi. Hubungan antar personal masyarakat ataupun antar kelompok masyarakat terjadi karena dilandasi oleh kepentingan sosial dalam arti yang sempit (semacam keterpaksaan sosial), sehingga menghilangkan nilai-nilai kebersamaan dalam wadah psikologis. Lebih jauh, karena disebabkan oleh semangat hidup dalam payung mobilitas rasional-material, maka sisi kehidupan spiritual menjadi tertekan dan kemudian sayup-sayup hilang. Sementara, ternyata manusia secara fitri tidak bisa lepas dan terlepas dari gelora ber-Tuhan, artinya seberapapun kebebasan yang sengaja diburu oleh manusia dalam rangka memenuhi tuntutan kenakalan akal-pikirannya, ia tetap akan kembali menuju spiritualisasi dalam kalbunya untuk memperoleh buaian ketenangan hidup dari akhir perjalanan logika-rasionalnya.
Itulah sebabnya pada masyarakat yang telah mengalami mobilitas hidup dan kehidupan yang kompleks dan tinggi, sebagaimana di negeri-negeri Eropa, selalu berakhir dengan kegundahan hidup, dengan ciri diantaranya pelarian mereka ke berbagai jenis aktifitas negatif sebagai kompensasi dari perasaan tertekan dan frustasi itu (perjudian, narkoba, seks bebas, bunuh diri, dan sebaginya). Sementara, ada juga kelompok mereka yang melirik kepada aktifitas positif sebagai pelarian dari perasaan tertekan dan frustasi tersebut, diantaranya dengan semangat mereka dalam pencarian Tuhan, melalui berbagai aktifitas; memeluk agama tertentu, mengikuti ritual mistis pada agama tertentu (dalam Islam, misalnya tarikat, zikr kolektif, aktif dalam majlis ta’lim atau pengajian dan sebagainya). Bahkan dari aktifitas kompensasi positif tersebut, tidak sedikit diantara mereka yang mengalami perkembangan keberagamaan melejit, dengan salah satu misalnya, menjadi tokoh didalamnya.
Di Ponorogo, berbagai kecenderungan pola hidup masyarakat urban, sebagai dipaparkan di atas, nampaknya juga terjadi, sekalipun tidak sehebat yang terjadi di kota-kota besar. Bersamaan dengan itu, bermunculan lembaga-lembaga atau majlis ta’lim (lembaga pengajian) di beberapa tempat di jantung maupun di pinggiran kota. Ada empat majlis ta’lim yang digelar di wilayah kota di Ponorogo, yaitu “Al-Manar” Universitas Muhammadiyah (UNMUH) Ponorogo, ISID Pondok Modern Gontor, Islamic Center Tonatan Ponorogo, dan INSURI Ponorogo. Kesemuanya diselenggarakan dalam waktu yang sama, yaitu setiap Ahad (minggu) pagi jam 06.00 sampai dengan 07.00 (selama satu jam). Anggota jama’ah masing-masing mayoritas berasal dari masyarakat kota, sekalipun juga ada dalam jumlah kecil mereka yang berasal dari desa. Dinamika keikutsertaan anggota jama’ah, ternyata mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Bahkan anggota jama’ah pengajian yang tergabung di dalam pengajian Ahad Pagi “A-Manar” UNMUH Ponorogo sangat fantastis. Saat ini berjumlah 1.300 orang untuk Ahad biasa (pembicara atau muballigh lokal dan regional). Sedangkan untuk Ahad Spesial (muballigh tingkat nasional) jumlah itu selalu mencapai di atas 2.500 anggota.
Sekalipun motif beribadah diasumsikan menguat dan menjadi motif utama pada masing-masing anggota jama’ah, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah motif lain yang terlepas dari semangat keberagamaan yang semestinya. Mengungkap berbagai motif keberagamaan masyarakat urban akan menjadi menarik, mengingat beberapa aspek pembangunan masyarakat, bisa ditempuh lewat jalur ini. Penelitian ini hendak mencari jawaban dari berbagi permasalahan yang muncul berkaitan dengan motif keberagaman jama’ah pengajian Ahad Pagi yang tersebar di beberapa tempat di Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, dimana analisis data dilakukan melalui pengaturan data secara logis dan sistematis. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Ponorogo, yakni di empat lembaga Pengajian Ahad Pagi; yakni Islamic Center Tonatan, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Institut Sunan Giri (Insuri) Ponorogo, dan Al- Manar UNMUH Ponorogo. Lembaga-lembaga pengajian Ahad Pagi yang dipilih sebagai lokasi penelitian ini semuanya berada di wilayah perkotaan, sehingga dimungkinkan jama’ah atau anggota pengajian yang ada di dalamnya berasal dari masyarakat urban (perkotaan).
Informan yang dijadikan subyek penelitian adalah para anggota pengajian Ahad Pagi di masing-masing institusi pengajian. Oleh karena jumlah anggota masing-masing lembaga pengajian cukup besar, maka informan penelitian di ambil secara sampling. Teknik sampling yang dipakai adalah nonprobability sampling (pengambilan sampel tidak berdasarkan peluang). Adapun jenis sampling yang dipilih adalah purposive sampling (pengambilan sampel berdasarkan tujuan). Dalam teknik ini siapa yang akan diambil sebagai anggota sampel diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang menurutnya sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, setelah diberikan penjelasan secara baik dari peneliti.
Data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini adalah apa yang dikatakan oleh informan. Apa yang dikatakan oleh para informan itu menurut (Patton: 1980; 30) merupakan sumber utama data kualitatif, dimana lewat data ini sudut pandang dan pengalaman orang lain bisa dipahami. Karena itu metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam, observasi, dan dokumenter. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data secara detail dan mendalam mengenai apa yang dirasakan oleh responden terkait dengan motif keikutsertaan mereka di dalam pengajian Ahad Pagi; kepentingan internal yang mengiringi aktifitas pengajian yang mereka ikuti, termasuk informasi yang berkaitan dengan latar keberagaman maupun harapan dan cita-cita keberagaman di masa mendatang. Teknik observasi akan dipakai untuk menggali data pendukung dari data yang telah dikumpulkan lewat wawancara mendalam di atas, baik dalam bentuk verbal, non-verbal (termasuk sikap dan tindak responden yang nampak dalam aktifitas pengajian), baik aktifitas yang bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan teknik dokumentasi akan dipakai untuk mengumpulkan data tentang biografi anggota jama’ah melalui dokumen yang dimiliki oleh masing-masing lembaga pengajian, berikut dokumen lain yang terkait dengan penyelenggaraan pengajian.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis induktif, yang berarti bahwa kategori, tema, dan pola berasal dari data. Kategori-kategori yang muncul dari catatan lapangan, dokumen, dan wawancara tidak ditentukan sebelum pengumpulan data (Denzim dan Lincoln: 1998; 47). Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif-analitis, dimana menurut Neuman (2000; 426) dikatakan bahwa analisis datanya merupakan suatu pencarian pola-pola dalam data, perilaku yang muncul, obyek-obyek atau badan pengetahuan (a body of knowledge). Sekali suatu pola itu diidentifikasi, pola diinterpretasi ke dalam istilah-istilah teori sosial atau latar dimana teori-teori sosial itu terjadi. Setelah itu pindah dari deskripsi peristiwa historis atau latar sosial ke interpretasi maknanya yang lebih umum. Analisis datanya, dengan demikian mencakup menguji, menyortir, mengkategori, mengevaluasi, membandingkan, mensintesakan, dan merenungkan (contemplating) data. Karena analisis dalam penelitian ini adalah analisis kasus (kualitatif), makna analisis datanya sebagaimana dikatakan Patton (1980; 303), meliputi mengorganisir data dengan kasus-kasus spesifik yang memungkinkan studi yang mendalam tentang kasus jama’ah pengajian Ahad Pagi di Ponorogo, dengan fokus kasus individual (apa yang dirasakan oleh masing-masing anggota jama’ah pengajian). Namun demikian kasus yang bersifat kelompok juga tetap tidak diabaikan agar analisis yang dilakukan menjadi semakin cermat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar belakang keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi diwarnai oleh latar belakang organisasi keagamaan mereka, baik Nahdlatul ’Ulama’, Muhammadiyah, atau organisasi keagamaan lainnya, seperti pengajian Ahad Pagi INSURI dan Al-Manar UNMUH Ponorogo. Ada juga yang berangkat dari latar belakang almamater yaitu Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, seperti pengajian Ahad Pagi Islamic Centre Tonatan, dan ada yang berangkat dari pengabdian pada masyarakat sekitar, seperti pengajian Ahad Pagi ISID Ponorogo.
Ciri khas dari kegiatan pengajian Ahad Pagi INSURI, yaitu shalat dhuha berjama’ah, zikir dan dilanjutkan setelah itu pengajian Ahad Pagi. Kegiatan tersebut berjalan lancar dengan jumlah jama’ah sekitar 100-150 orang yang didominasi oleh organisasi Nahdlatul ’Ulama. Jumlah tersebut sulit bertambah disebabkan oleh kegiatan yang monoton. Tapi meskipun demikian ada kebanggaan yang dirasakan jama’ah berupa nilai-nilai spiritual dari shalat dhuha, dan zikir bersama. Sedangkan tempat yang digunakan kegiatan pengajian adalah masjid yang terbagi menjadi dua bagian; jama’ah laki-laki dan jama’ah perempuan, yang menggunakan pakaian putih-putih, dipimpin oleh seseorang yang mengatur semua kegiatan sampai selesai.
Adapun Pengajian Ahad Pagi Al-Manar yang diperuntukkan awal bagi seluruh akademika kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo dan warga Muhammadiyah, tetapi dalam perjalanannya mengalami penambahan jama’ah yang berlatar belakang bukan hanya dari organisasi Muhammadiyah bahkan dari organisasi Nahdlatul ’Ulama dan lain sebagainya, sehingga berubah keperuntukkan bagi umum.
Bertambahnya kuantitas jamaah sekitar 1.500 sampai dengan 2.000 orang disebabkan pelayanan panitia akan kebutuhan jama’ah, berupa buletin mingguan, buku hasil editing buletin, jadwal triwulan, komposisi mubaligh/mubalighah, map untuk dokumentasi, berbagai stiker, transparansi keuangan (baik mingguan, bulanan, tahunan) dan berbagai kegiatan seperti peringatan dasawarsa I dan kupas tuntas ma’na shalat oleh Drs. Khusnul Fathoni, M.Ag. Pengajian ini bertempat di depan masjid al-Manar dan berkembang menempati halaman kampus UNMUH Ponorogo dengan mempergunakan kursi. Jumlah jama’ah yang mem-bludak berdampak pada kekhawatiran panitia akan mubaligh/mubalighah yang tidak hadir, tetapi ini bisa disiasati dengan mempersiapkan beberapa mubaligh/mubalighah cadangan, seperti Drs. Muh Syafrudin, MA, Drs. H. Zainun Shofwan, M.SI, dan H. Syarifan Nurjan, MA.
Pengajian Ahad Pagi Islamic Center Tonatan lebih difokuskan pada kreatifitas paguyuban alumni Pondok Modern Gontor dalam rangka syiar ajaran agama Islam. Pengajian ini bertempat di Kantor Kelurahan Tonatan yang kebetulan Kepala Kelurahan dari alumni Gontor. Tidak berkembangnya secara kuantitas pengunjung pengajian ini disebabkan oleh dominasi mubaligh-mubalighah lokal yang mengisi dan kurang variasi kegiatan yang menyertai pengajian. Meskipun demikian pengajian Islamic Center Tonatan memiliki daya tarik tersendiri berupa informasi-informasi yang terkini yang diberikan oleh panitia sebelum dimulai pengajian, masyarakat sekitar merasa tidak perlu membedakan secara organisasi ketika datang ke pengajian, dan mereka merasa memiliki kantor kelurahan yang digunakan pengajian Ahad pagi.
Pengajian Ahad Pagi ISID Gontor dilatarbelakangi keberagamaan jama’ah dan kedekatan jama’ah dengan Pondok Modern Gontor, dan kemudian ISID Gontor memfasilitasi dengan dharma pengabdiannya berupa pengajian. Pengajian ini dikelola oleh Ta’mir Masjid ISID Gontor bertempat di serambi masjid dengan jumlah jama’ah sekitar 200 orang. Tidak berkembangnya secara kuantitas pengunjung pengajian ini disebabkan lokasi yang agak jauh dari pemukiman masyarakat. Meskipun demikian pengajian ini menyiapkan transportasi truk untuk mengangkut jama’ah ke lokasi pengajian. Dua truk yang disiapkan harus mengangkut jama’ah dua sampai tiga kali pulang pergi. Kebiasaan ini berjalan sampai sekarang, dan pernah menjadi kendala manakala angkutan tidak bisa mengangkut yang berdampak pada jama’ah tidak bisa hadir di pengajian Ahad Pagi ISID. Pengajian ini dimulai dengan kegiatan ceremonial, sambutan wakil ketua ISID Gontor dan setelah itu pengajian.
Kualitas keberagamaan pengajian Ahad Pagi berdasarkan pada ragam kegiatan yang disajikan oleh panitia pengajian, seperti pengajian Ahad Pagi INSURI lebih menyuguhkan materi ubudiyah, dzikr dan kemudian pengajian, sehingga jama’ah yang mengikuti pengajian tersebut akan meningkat kualitas ubudiyah dan dzikr-nya (bersifat spiritual) ketimbang materi pendalaman agama yang kaffah. Berbeda dengan ragam yang disajikan oleh Pengajian Ahad Pagi Al-Manar UNMUH Ponorogo berupa pengetahuan agama Islam yang kaffah; kaifiyyah ibadah, kaifiyyah berakhlak, kaifiyyah bermu’amalah, wacana keislaman, kebudayaan dan peradaban Islam, yang dikemas baik oleh mubaligh/mubalighah tingkat regional bahkan nasional. Pengetahuan agama Islam yang kaffah akan meningkatkan kualitas pemahamam agama Islam yang benar, yang kemudian berdampak pada aktivitas sehari-hari jama’ah dalam kehidupan mereka. Sedangkan pengajian Ahad Pagi ISID Gontor dan Islamic Center Tonatan memberikan sajian kepada jama’ah akan ukhuwah Islamiyah dan keberagaman masyarakat Islam, yang tidak membedakan organisasi diantara para jama’ah. Ini akan meningkatkan kualitas ukhuwah Islamiyah diantara mereka dan saling mengenal.
Berbagai motif keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi Ponorogo berupa motif ideologis, ritual, devosi, pengalaman dan konsekwensi. Motif ideologi sebagai motif keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi yang lebih dominan, motif ini berkaitan dengan keimanan dan dasar etika agama. Sebagian besar jama’ah pengajian Ahad Pagi merasa senang datang ke pengajian Ahad Pagi dikarenakan motif idiologi, dan mereka beranggapan bahwa pengajian adalah menguatkan sarana keimanan, semakin sering datang ke pengajian Ahad Pagi semakin kuat keimanan mereka. (Wawancara dengan jama’ah pengajian Ahad Pagi Al-Manar).
Ada juga dari sebagian jama’ah pengajian Ahad Pagi yang beranggapan bahwa mendatangi pengajian Ahad Pagi sebagai bagian ibadah dan hal-hal yang dilakukan manusia dalam melaksanakan perintah agamanya. Mereka berdo’a, puji-puji (dzikr) dan berbagai amalan-amalan lainnya. Panitia pengajian Ahad Pagi memfasilitasi kepentingan jama’ahnya. Setiap kegiatan pengajian diawali shalat dhuha, dzikr kemudian dilanjutkan dengan pengajian Ahad Pagi (Wawancara dengan jama’ah pengajian Ahad pagi INSURI Ponorogo).
Sebagian dari jama’ah ada yang memiliki motif devosi, yang terkadang tekanan sosial dan pertimbangan lain yang bersifat non-keagamaan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam ritual formal keagamaan. Hal ini terlihat jelas jama’ah pengajian Ahad Pagi untuk berpartisipasi dalam ibadah yang dapat dilakukan di setiap waktu dan tempat, yang mengandung komitmen keagamaan (Wawancara dengan jama’ah pengajian Ahad Pagi ISID dan Islamic Center Tonatan).
Disamping berbagai motif di atas, ada juga motif keberagamaan jama’ah berupa motif pengalaman, yang mana motif ini mencakup perasaan, pengetahuan, dan emosi yang timbul dari, atau berhubungan dengan tipe-tipe komunikasi dengan atau pengalaman diri, hakekat ketuhanan yang paling tinggi. Motif ini sangat terasa bagi jama’ah karena pengalaman diri akan memperkuat mereka memiliki wawasan keislaman yang kaffah. (Wawancara dengan anggota jama’ah pengajian Ahad Pagi Al-Manar).
Dan ada juga dari jama’ah yang memiliki motif konsekwensi yang mencakup hal-hal seperti ketenangan jiwa, perasaan damai, kebahagiaan diri dan bahkan kesuksesan materi dalam kehidupannya selama mereka mengikuti pengajian Ahad Pagi. Mereka juga memahami bahwa materi pengajian Ahad Pagi berkonsekwensi bila mereka tidak mengikutinya. (Wawancara dengan jama’ah pengajian Ahad Pagi Al-Manar, ISID INSURI, Islamic Center Tonatan)

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1) Latar belakang keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi diwarnai oleh latar belakang organisasi keagamaan mereka, baik Nahdlatul ’Ulama’, Muhammadiyah, atau organisasi keagamaan lainnya. Seperti pengajian Ahad Pagi INSURI, Al-Manar UNMUH Ponorogo. Ada juga yang berangkat dari latar belakang almamater, yaitu Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, seperti pengajian Ahad pagi Islamic Centre Tonatan, dan ada yang berangkat dari pengabdian pada masyarakat sekitar, seperti pengajian Ahad Pagi ISID Gontor; 2) Kualitas keberagamaan pengajian Ahad Pagi berdasarkan pada ragam kegiatan yang disajikan oleh panitia pengajian, seperti pengajian Ahad Pagi INSURI lebih menyuguhkan materi ubudiyah, dzikr dan kemudian pengajian, pengajian Ahad Pagi Al-Manar UNMUH Ponorogo berupa pengetahuan agama Islam yang kaffah; kaifiyyah ibadah, kaifiyyah berakhlak, kaifiyyah bermu’amalah, wacana keislaman, kebudayaan dan peradaban Islam, yang dikemas baik oleh mubaligh/mubalighah tingkat regional bahkan nasional, dan pengajian Ahad Pagi ISID dan Islamic Center Tonatan memberikan sajian kepada jama’ah akan ukhuwah Islamiyah dan keberagaman masyarakat Islam; 3) Panitia penyelenggara pengajian Ahad Pagi dibentuk dari berbagai unsur; ada yang dibentuk dari akademika kampus, seperti pengajian Ahad Pagi UNMUH dan INSURI, ada yang dari alumni al-mamater Pondok Modern Gontor seperti Islamic Center Tonatan dan ada yang dibentuk dari kepengurusan masjid, seperti ISID Gontor; 4) Berbagai motif keberagamaan jama’ah pengajian Ahad Pagi di Ponorogo berupa motif ideologis, ritual, devosi, pengalaman dan konsekwensi.
Berdasarkan temuan dalam penelitian, dapat dikemukakan beberapa saran : 1) Bagi masyarakat disarankan mulai mengikuti berbagai aktivitas pengajian Ahad Pagi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dalam rangka mengembangkan spritualitas dan rasionalitas dalam rangka ber-Islam kaffah; 2) Panitia Pengajian Ahad Pagi semestinya memahami berbagai kebutuhan jama’ah pengajian, sehingga semakin berkesinambungan; dan 3) Untuk pengembangan lebih lanjut, maka penelitian ini memerlukan banyak revisi. Hal ini disebabkan dalam penelitian dan kajian masih banyak terdapat kekurangan, terutama dalam data, yang akan sangat mempengaruhi dalam pembahasan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Aly Ubay, Machfudhah, 2007, ”Inovasi dan Pengembangan Program Majelis Ta`lim” Materi Pelatihan Majelis Ta`lim di Departemen Agama, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
Azizy, Qodiri, A, 2004, ”Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bell, Daniel 1978, ”The Cultural Contradictions of Capitalism” Basic Book, Inc, New York.
David, Riesman. 1953, ”The Lonely Crowd : A Study of Changing American Charakter” Garden City, N.Y. : Doubleday.
Evers, Hans-Dieter & Rudiger Korff, 2002, ”Urbanisme di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial”, Penterjamah Zulfahmi, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta.
Hassan, Riaz, 2006, ”Keragaman Imam Studi Komperatif Masyarakat Muslim”, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
Kalida, Muhsin, 2007, ”Menggali Potensi PKBM Majelis Ta`lim” Materi Pelatihan Majelis ta`lim di Departemen Agama, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
Kuntowijoyo, 1999, ”Budaya & Masyarakat”, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kuyano, Shogo (Editor), 1996, ”Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara”, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Lincoln, Yvonna. S. & Egon. G. 1985, ”Guba. Naturalistic Inquiry”, Sage Publications, New Delhi.
Magnis-Suseno, Fran. 2006, ”Menalar Tuhan”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Mahduri, Annas, 2007, ”Pemberdayaan dan Pengembangan Majelis Ta`lim”, Materi Pelatihan Majelis Ta`lim di Departemen Agama, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
Muhtadi, Asep Saeful, 2005, ”Pribumisasi Islam Ikhtiar Menggagas Fiqh Kontekstual”, Penerbit Pustaka Setia, Bandung.

(Artikel ini ditulis oleh Zainun Shofwan dan Syarifan Nurjan, dan telah diterbitkan dalam Jurnal Fenomena Volume 5 Nomor 1 Januari 2008, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ponorogo)


Read More......

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM TRADISI WAROK PONOROGO

Abstrak : Tradisi warok Ponorogo tak bisa lepas dari tradisi gemblak, dimana hal ini merupakan tuntutan ideologi kanuragan yang mendasari kehidupan warok itu sendiri. Tradisi gemblak ini pada gilirannya menjadi dilema bagi tradisi warok. Satu sisi menjadi tuntutan ideologi kanuragan, sementara pada sisi yang lain memunculkan citra buruk warok; penyimpangan seksual. Penelitian ini bertujuan utama mengkaji kemungkinan terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan (terutama para isteri warok yang memiliki gemblak) dalam hal peran dan fungsi mereka dalam rumah tangga khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada dua tipologi dalam tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo; 1) Warok yang memiliki gemlak, dimana fungsi dan perannya lebih pada aspek pelayanan sang warok saat nglakoni; dan 2) Panggemblak, yakni bukan warok tetapi memiliki gemblak, dimana ia memiliki fungsi dan peran melayani nafsu biologis tuannya. Terlepas dari tradisi gemblak maupun panggemblak, tradisi warok ini telah mengakibatkan terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan. Subordinasi dan marginalisasi itu mengambil bentuk konco wingking (sebatas mengurus rumah tangga) dalam lingkup yang sangat sempit, karena telah tergantikan sebagiannya oleh gemblak pasangan warok dan berikutnya urmat garwa (menghormati apapun yang dilakukan suami), hingga tak tersisa ruang bagi perempuan untuk ikut berperan di dalam mengambil kebijakan dalam bentuk apapun.

Kata kunci : Tradisi Warok, Tradisi Gemblak, Marginalisasi.

PENDAHULUAN
Kesenian Reyog Ponorogo tidak bisa terlepas dari tradisi warok. Secara historis, belum ada data yang bisa menunjukkan secara pasti hubungan antara reyog dengan tradisi warok. Dalam perkembangannya, yang jelas tradisi warok ini menjadi komunitas atau semacam perkumpulan sosial (paguyuban) dengan nama konco reyog, terdiri dari tiga komponen yang saling terkait; warok, warokan, dan jathil. Komunitas atau perkumpulan sosial itu selanjutnya menampilkan cara dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat lain. Paguyuban warok itu akan sangat nampak, terutama ketika ada perayaan-perayaan religius, misalnya dalam acara hajatan; bersih desa, ruwatan, mantu, ritual sesaji, maupun ritual adat tradisi, baik di tingkat desa maupun di tingkat yang lebih luas; daerah dan bahkan nasional.

Di dalam tradisi terdapat tradisi gemblakan atau mairil. Komponen ini memiliki karakteristik berikut; berjenis kelamin laki-laki; berusia 10 sampai 17 tahun; dan berparas tampan. Dalam pertunjukan reyog (sebelum diganti dengan pemeran perempuan) gemblakan berperan sebagai penari jathil. Hubungan warok, warokan, maupun gemblakan bisa dilukiskan seperti hubungan suami-isteri. “Gemblakan iku minongko gantine bojo”- (Gemblakan itu sebagai pengganti isteri). Karena itu gemblakan itu selalu disayang, disanjung, dan dibanggakan jauh melebihi sang isteri warok sendiri.
Dalam pengertian tertentu, sebagaimana ditulis Effendy (1998; 220), tradisi warok adalah kehidupan homo-seksual, dimana gemblakan itu menggantikan peran dan posisi seorang isteri. Dan dalam kondisi tertentu, kehidupan sebagaimana disebutkan ini merupakan tuntutan dari ideologi “olah kanoragan”. Beberapa sumber menyebutkan, bahwa kehidupan homo-seksual di dalam tradisi warok Ponorogo terjadi lebih disebabkan oleh kuatnya pandangan setempat, bahwa ilmu-ilmu kanoragan (baca: kekebalan) yang menjadi andalan utama tradisi itu hanya dimungkinkan bila pemiliknya mampu menahan tidak berhubungan dengan perempuan. “Wong lanang yen wis kasengsem asmoro, kasengsem marang wong wadon iku biso ngempukake kulit, nggetasake balung, wetenge kaya gedebog. Mula lumrahe para warok lan warokan iku padha ngedohi marang wong wadon.” (Purwowijoyo: 1985; 3). Maksudnya “Orang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang perempuan bisa merapuhkan kulit dan tulang, serta membuat perutnya empuk seperti batang pisang. Karena itu biasanya para warok dan warokan menjauhi berhubungan dengan perempuan”.
Kehidupan dalam suasana tradisi warok sebagaimana dipaparkan, mengasumsikan terpinggirkannya kaum perempuan (para isteri warok dan warokan) dan perempuan Ponorogo pada umumnya, baik dalam peran dan fungsi mereka dalam kehidupan rumah tangga maupun terlebih dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, penelitian ini menjadi relatif penting dalam rangka mengungkap kemungkinan terjadinya marginalisasi perempuan dalam tradisi warok Ponorogo. Asumsi bahwa telah terjadi dominasi atas perempuan berdasar pada terutama fenomena gemblakan, dimana komponen kesenian reyog yang disebut terakhir ini, menggantikan peran dan fungsi seorang isteri warok ataupun warokan. Asumsi selanjutnya dapat diduga bahwa peminggiran terhadap peran dan fungsi perempuan itu akan berdampak lebih jauh pada kemungkinan partisipasi aktif kaum perempuan dalam pembangunan masyarakat Ponorogo.
Berdasarkan paparan permasalahan di atas, masalah penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut; 1) Bagaimana dinamika tradisi warok Ponorogo?; 2) Bagaimana status dan peran perempuann (para isteri warok dan warokan) dalam tradisi warok Ponorogo?; dan 3) Bagaimana dinamika hubungan gender dalam tradisi warok Ponorogo?.

METODE PENELITIAN
Data yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah suatu informasi dalam bentuk deskriptif tentang terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan Ponorogo dalam tradisi warok Ponorogo. Ungkapan konsep ini sekaligus lebih menghendaki makna yang berada dibalik deskripsi data tersebut. Karena itu, penelitian ini lebih sesuai jika menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Ponorogo, dengan subyek penelitian para warok, warokan, berikut para isteri warok dan warokan. Mengingat komunitas warok itu sebanyak paguyuban reyog, maka lokasi penelitiannya mengikuti sejumlah paguyuban reyog yang saat ini masih eksis (saat ini paguyuban reyog telah mengalami pengurangan disebabkan oleh matinya aktifitas beberapa paguyuban reyog).
Informan peneltian ini adalah para warok, warokan, dan para isteri mereka. Beberapa informan pendukung adalah para tokoh Yayasan Reyog Ponorogo (sebuah organisasi kesenian reyog Ponorogo yang didirikan sebagai pusat pengelolaan dan pengembangan kesenian tersebut)
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan dokumenter. Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif melalui proses induksi-interpretasi-konseptualisasi. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus, permasalahan, dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif ketika turun ke lapangan. Proses analisis akan berjalan melalui kategorisasi atau konseptualisasi data yang terus digali, sambil membandingkan dan mencari hubungan antar konsep sampai melahirkan hipotesis-hipotesis. Proses ini akan bergerak tidak secara linier lagi, tetapi berputar secara interaktif antara satu konsep dengan konsep yang lain, atau antara kategori satu dengan kategori yang lain. Proses ini juga akan bergerak sejak awal pengumpulan data, bekerja secara simultan, semakin kompleks atau rumit, tetapi sekaligus semakin mengarah pada proses munculnya hipotesis dan sampai pada titik tidak terdapat lagi informasi baru (Hamidi: 2004; 80-81). Tradisi warok sebagai kata kunci penelitian akan difokuskan ke dalam perspektif gender. Pandangan mereka akan dilacak dari data tentang ragam kesadaran, pertimbangan, pikiran informan, sehingga ditemukan pandangan tertentu dalam hal peran dan fungsi perempuan Ponorogo dalam pembangunan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tradisi Warok Ponorogo
Tradisi warok sebenarnya terbangun dari keinginan menggali identitas dan jati diri masyarakat Ponorogo. Nama Ponorogo sendiri mencerminkan keinginan kuat itu; “pono” berarti sempurna, puncak, mumpuni; sedangkan “rogo” berarti raga, badan. Jadi Ponorogo berarti badan atau tubuh yang telah sempurna; pribadi yang telah mencapai kesempurnaan. Warok sendiri nampaknya juga terdapat keterkaitan yang cukup rapat dengan Ponorogo itu sendiri. Warok Ponorogo berarti orang yang selalu tampil sebagai pribadi yang selalu menjaga diri dari segala hal yang menyebabkan diri menjadi hina; raga yang sudah berada dalam “kesempurnaan” inilah yang terus diperbaiki dan ditingkatkan untuk menuju “reh kamuksan sejati”, (Wawancara dengan Mbah Wo Kucing).
Identitas Ponorogo kemudian ditampilkan oleh sosok warok dalam kesenian reyog Ponorogo. Berawal dari sinilah, kemungkinan mulai berhubungan antara dunia warok dengan dunia seni reyog Ponorogo, sekalipun sebenarnya kedua entitas ini memiliki kehidupan yang berbeda.
Tari warok yang dipadukan di dalam paket pentas reyog Ponorogo, nampaknya memang sengaja diformat sebagai media sosialisasi citra baik yang sesungguhnya melekat dan harus dilekatkan pada dunia warok Ponorogo. Inilah sebabnya kenapa para tokoh warok getol memasukkan unsur warok ke dalam seni reyog Ponorogo, yang sebenarnya secara historis keduanya tidak ada hubungan.

Dinamika Tradisi Warok
Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, tradisi warok mengalami dinamika fluktuatif; ada masanya tradisi warok mencerminkan kehidupan penuh pesona kebajikan dan kearifan, dan karena itu warok Ponorogo menjadi figur sentral bagi hidup dan kehidupan masyarakat Ponorogo. Bersamaan dengan itu, ternyata juga ada masanya tradisi warok itu mencerminkan kehidupan gelap; serba negatif. Ilmu kekebalan yang diperoleh para warok tidak dimanfaatkan menebar kemanfaatan, melainkan malah diselewengkan untuk kepentingan adigang-adigung-adiguna, lahirlah kemudian istilah kejahatan di kalangan warok, yakni “Mo-Limo”; main, maling, madat, madon, marok, dimana semua ini adalah perilaku jahat.
Sejak Batharakatong berkuasa dengan membawa misi menyebarkan agama Islam di Kabupaten Ponorogo, citra buruk kehidupan warok mulai diperbaiki. Perbaikan citra buruk warok tidak hanya dilatari oleh para warok yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang menganut aliran kebatinan. Istilah warok kemudian dicarikan makna yang sesuai dengan semangat kebajikan oleh masing-masing agama dan kepercayaan yang diusung dalam tradisinya.
Dalam tradisi Islam yang dibangun oleh Batharakatong dan kemudian dilanjutkan oleh generasi Muslim berikutnya, istilah warok dimaknai dari kosakata Arab wira’i, yaitu “orang yang selalu menjaga kesucian diri melalui iman dan taqwa kepada Allah SWT”. Dan karena itu, tidak ada alasan lagi bagi siapapun yang mengaku warok untuk tidak menjunjung tinggi kearifan dan kebajikan setiap saat, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Sementara dalam tradisi aliran kepercayaan ataupun kebatinan, warok dimaknai dari kosakata Jawa “wewarah”, sebagaimana dijelaskan oleh Mbah Wo Kucing (Ki Kasni Gunopati), “Warok menika mboten sanes inggih tiyang ingkang sugih wewarah”, artinya warok itu tidak lain adalah orang yang kaya petunjuk; seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran bagi orang lain tentang hidup yang baik. “Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa”, lanjutnya; “Warok adalah orang yang sudah sempurna jalan hidupnya, dan sudah mencapai ketenangan batin; sudah tidak memiliki pamrih apapun, kecuali memberikan kemanfaatan hidup bagi hidup dan kehidupan ini”.
Upaya pengembalian dan perbaikan citra warok hingga saat ini terus diupayakan oleh masing-masing pihak. Sekat-sekat agama atau kepercayaan tidak lagi menghalangi upaya perbaikan citra buruk warok ini, justru semua komponen masyarakat sudah mulai terlihat saling bahu-membahu untuk mengembalikan citra warok tersebut. Upaya ini dalam wadah organisasi yang memayungi seni reyog Ponorogo, yakni Yayasan Reyog Ponorogo, juga terlihat getol, dengan masuknya berbagai kalangan; tokoh masyarakat, para ulama-kiai, akademisi, pengusaha, dan seterusnya, dimana kesepahaman tentang semangat pengembalian citra warok selalu menjadi payung setiap agenda kegiatan yang digelar.
Dalam perbaikan citra warok tidaklah perlu mencari kambing hitam perusak citra warok. Inilah yang tengah dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki kewenangan di bidang ini. Seperti yang dilakukan Mbah Wo Kucing dalam usianya yang sudah senja ini. Dengan arif ia katakan, bahwa “Upaya mengembalikan citra warok harus terus dilakukan dengan perlahan-lahan.” Hal ini mengingat tradisi warok dengan segala dinamikanya telah memiliki kehidupan yang cukup “mapan”.
Dalam upaya perbaikan itu, saat ini profil warok mulai diarahkan kepada nilai kepemimpinan yang positif; sebuah kepemimpinan yang mengantarkannya menjadi panutan masyarakat. Tradisi gemblak yang ikut memberikan andil di dalam pencitraan buruk, dengan sendirinya juga mengikuti alur perbaikan citra warok, hingga saat ini tradisi itu sudah benar-benar luntur. Konsekuensinya lebih jauh melebar pada perubahan personel kesenian reyog Ponorogo, terutama unsur penari jathil; yang dulu diperankan oleh gemblak diganti dengan penari dari remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanitapun.

Peran dan Fungsi Perempuan dalam Tradisi Warok
Dalam tradisi warok, kehadiran gemblak di dalam kehidupan rumah tangga warok telah berpengaruh pada peran dan fungsi perempuan (para isteri warok). Dari aspek peran yang bersifat domestik; mengurus kebutuhan rumah tangga bersama suami, telah tergantikan sebagiannya oleh gemblak. Seperti menyiapkan kebutuhan suami saat nglakoni/tirakat, menemani perjalanan suami, pelibatan dalam pengambilan keputusan kerumah-tanggaan, dan sebagainya. Seperti diungkapkan oleh Mbah Yatun; “Nggih sakjegipun wonten gemblakan niku, kulo niku minongko bojo warok mpun mboten patos dipun kanggokaken”, (Ya, mulai ada gemblak itu, saya sebagai isteri sudah tidak begitu dibutuhkan lagi).
Dalam hal peran sosial kemasyarakatan, sebagai konsekuensi dari ideologi kanuragan, perempuan atau isteri warok juga tidak memiliki peran apapun. Lawatan warok ataupun perjalanan warok dalam rangka sambang warok maupun untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, tidak lagi melibatkan isteri, melainkan gemblak yang secara penuh mendampingi sang warok. Dengan demikian, hubungan atau interaksi dengan dunia luar, tidak mungkin diperoleh oleh perempuan warok. Tentu saja hal ini menambah semakin jauhnya subordinasi dan marginalisasi perempuan warok. Paling tidak ada dua hal penting yang tidak sempat diketahui oleh perempuan warok dalam ketidakterlibatannya dalam aktifitas pasangannya di dunia luar; 1) Aktifitas sosial apa yang dilakukan warok pasangannya; dan 2) Kebijakan apa yang diambil dari aktifitas di dunia luar (kehidupan soial kemasyarakatan) itu. Hal penting pertama, berkonsekuensi tidak mungkinnya perempuan berperan serta di dalam aktifitas sosial kemasyarakatan. Sementara hal penting kedua, berkonsekuensi pada hilangnya peran perempuan sebagai pendamping warok. Dengan demikian, pada aspek ini, peminggiran kaum perempuan Ponorogo semakin menemui kesempurnaannya.
Di kalangan perempuan sendiri, peminggiran peran dan fungsi mereka sebagai isteri, tidak begitu merisaukan, atau bahkan tidak dipedulikan. Sebabnya, lagi-lagi, karena telah terbius oleh ajaran kanuragan tersebut. Bahkan penerimaan keadaan yang dialami oleh mereka, disikapi sebagai sebuah kemuliaan. “Kulo niku namung nderek menopo kersanipun tiyang jaler, lan menika pinangka wewaler ingkang kedah kulo lampahi minangka semahipun warok. Yen mboten ngaten saget-saget kula kuwalat”. Ungkap Mbah Sarmi (salah seorang isteri warok); (Saya itu hanya ikut apa yang dimaui oleh suami, dimana hal ini merupakan tuntutan ajaran yang harus saya jalani sebagai isteri seorang warok. Kalau tidak begitu, bisa-bisa saya durhaka).
Ketidaktahuan, ketaatan, penghormatan suami, yang terjadi pada perempuan warok , sebagaimana dipaparkan contohnya tersebut, lebih jauh, semakin memberikan “pengabsahan” bagi terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan Ponorogo. Dan kalau sudah begitu, peminggiran kaum perempuan Ponorogo, seolah menjadi tradisi budaya yang harus dipertahankan. Predikat konco wingking bagi kalangan perempuan Ponorogo, lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi yang sangat kokoh. Tradisi urmat garwa sebagaimana disebut-sebut di atas, akan selalu muncul dan menjadi sebuah sikap hidup perempuan yang harus dijalani. Hal ini sekaligus memberikan penegasan, bahwa kehadiran gemblak di dalam kehidupan warok, bukan satu-satunya penyebab terpinggirkannya kaum perempuan, melainkan hanya menjadi bagian dari serentetan faktor penyebab yang sebelumnya telah melembaga dalam tradisi warok Ponorogo.

Subordinasi dan Marginalisasi Kaum Perempuan
Bentuk-bentuk sub ordinasi dalam kehidupan warok, di antaranya adalah 1) Pengabaikan hak dan kewajiban perempuan, baik dalam menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik maupun peran social kemasyarakatan; dan 2) Pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan kerumahtanggaan.
Pengabaian hak dan kewajiban perempuan dalam hal pekerjaan yang bersifat domestik ini terjadi setelah beberapa pekerjaan itu diambil alih oleh gemblak, misalnya mengurus kebutuhan-kebutuhan keseharian suami; menyiapkan pakaian suami, menyiapkan kebutuhan nglakoni/tirakat, mempersiapkan perbekalan atau peralatan bepergian, dan seterusnya. Sebagaimana yang dialami Mbah Yatun (seorang isteri warok pemelihara gemblak); “Nggih sakjegipun wonten gemblak menika kula minangka bojonipun empun mboten patos dipun betahaken” (Ya, semenjak kehadiran gemblak itu, sebagai isteri saya tidak lagi dibutuhkan seperti biasanya). Sekalipun demikian, para isteri warok telah siap menghadapi semuanya dengan lapang, karena memang semuanya didasari adanya tuntutan ajaran kanuragan yang harus dilalui oleh warok. Lanjut Mbah Yatun, “Namung pancenipun sedaya menika sampun dados paugeran kagem tiyang ingkang kasebat warok; kedah kagungan gemblak kagem nyhingkiri wewaler ngelmu kebalipun, dados senahoso mboten sampurna leladi bojo nggih mboten menopo-menopo.” (Namun, memang semua itu sudah menjadi tuntutan bagi orang yang disebut warok; harus memiliki gemblak agar bisa menghindari larangan beroleh ilmu kekebalan, jadi walaupun tidak sempurna melayani suami ya ndak apa-apa).
Tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo nampaknya menjadi elemen yang tak terpisahkan dari nilai-nilai kultur Jawa, yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking; suargo nunut neroko katut. Ini menguatkan temuan Vina Alvina, tentang Ideologi Patriarki, yang dilakukannya di kalangan keluarga double income di kodya Malang (1998), dimana nilai-nilai kultur Jawa yang sangat melekat adalah bahwa perempuan merupakan konco wingking (sebagai pendamping suami dengan peran penting mengurus rumah tangga). Perbedaannya dengan yang terjadi pada keluarga warok Ponorogo adalah pada substansi peran perempuan sebagai konco wingking; jika temuan Alvina menegaskan bahwa perempuan yang memiliki peran ganda (mengurus rumah tangga dan bekerja di sektor publik) pada akhirnya tetap harus urmat (menghormati) suami dalam pengertian karena status suami sebagai orang yang dominan di dalam keluarga, sehingga posisi perempuan sekalipun memiliki tugas yang hampir sama dengan sang suami, pada akhirnya harus tetap tunduk pada apapun kemauan suami, maka wujud perilaku perempuan sebagai konco wingking dalam keluarga warok mengambil bentuk ketaatan sang perempuan untuk meng-iya-kan (setuju) apapun yang dilakukan suami, dan hal ini lagi-lagi akan menemui pendasaran yang cukup absah, yakni ideology kanuragan. Karena itu, ideology kanuragan menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mengabsahkan segala bentuk tindakan dan perilaku yang menempatkan perempuan menjadi terpinggirkan. Dominasi kelas yang kuat akan selalu muncul untuk menekan kelas yang tereksploitasi, sebagaimana teori Collins (1992), bisa dipakai untuk melihat kasus gender dalam kehidupan warok Ponorogo. Dominasi warok atas perempuan, pada kasus tradisi warok Ponorogo, bahkan melebihi teori Collins, dalam pengertian lebih dahsyat daya tekan dominasi laki-laki disebabkan beroleh dukungan dari ideologi kanuragan, yang seolah menjadi “kitab suci” bagi kehidupan warok Ponorogo.

Posisi Temuan Empirik Terhadap Teori
Ideologi familialisme yang secara umum di anut oleh masyarakat Jawa nampaknya juga terjadi pada masyarakat Ponorogo. Secara kultural ideologi ini telah membentuk kepatuhan kaum perempuan Ponorogo dalam semangat konco wingking, hanya sebatas teman kaum laki-laki yang tidak memiliki kebermaknaan dan kemanfaatan apapun dalam membangun peradaban di dunianya. Pada gilirannya, kondisi ini membentuk perilaku pasrah bagi kaum perempuan atas apapun yang dilakukan oleh kaum laki-laki (para warok), dan karena itu juga semakin memberikan kekuatan dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Teori Gramsci (1971) yang menyatakan, bahwa ideologi yang hegemonis merupakan titik klimaks dari kemampuan serangkaian ide ataupun pendapat dari kelompok yang berkuasa untuk mempengaruhi keseluruhan elemen yang ada dalam masyarakat. Ideologi yang hegemonis tersebut menciptakan suatu kepatuhan massa yang “spontan” terhadap ide dan nilai kelompok yang dominan, nampaknya sangat relevan untuk menyorot persoalan gender yang terjadi dalam tradisi warok Ponorogo.
Dominasi laki-laki atas perempuan dalam tradisi warok Ponorogo yang diambil dan memanfaatkan ideology familialisme dan telah menghasilkan pengesahan peminggiran kaum perempuan melalui filosofi konco wingking dimana produk utamanya adalah urmat garwa, akhirnya berhasil menciptakan ideologi yang hegemonis; laki-laki menguasai perempuan; warok menindas kaum perempuan. Sementara, ideologi kanuragan yang sengaja dihidupkan dan ditradisikan di dalam tradisi warok memberikan energi tambahan yang luar biasa bagi mulusnya subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo

Implikasi Temuan Bagi Pengembangan Teori
Terhadap teori ideologi familialisme, kenyataan subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan di Ponorogo berlangsung dan mengalir secara melembaga lewat kultur masyarakat Jawa pada umumnya. Dunia warok secara internal telah lama tersakralkan, salah satunya, melalui ideologi ini. Kebesaran nama dan posisi warok menjadi alat yang cukup kuat dan mapan, untuk membuat posisi atas dan dominan itu terus-menerus aman. Bahkan penjaga ideologi itu, dalam kepatuhan yang “sakral” justru diamankan oleh para kaum tertindas; sang perempuan itu sendiri, dengan perilaku manisnya; mungkin dalam etika Jawa termasuk “bekti marang garwa”, berbakti kepada suami. Konsep ideologi hegemonis Gramsci, dalam tradisi warok Ponorogo, sudah tidak lagi diperlukan pemaksaan ide untuk membuat jargon-jargon penguat misi subordinasi kaum laki-laki atas perempuan. Dunia warok yang penuh nuansa “sakral” telah cukup membius kaum tertindas untuk tidak mempersoalkan sikap dan perilaku “penindasan” pada dirinya. Pada kondisi tertentu justru bangga dengan kondisi dirinya itu, terutama, ketika banyak orang berbicara tentang status sosial pasangan warok. Penindasan yang “mapan” dan “direstui” ini, akhirnya, memperoleh mesin pengunci dengan kehadiran ideologi kanuragan. Perilaku menyimpang dengan kehadiran gemblak menambah deretan penindasan kaum perempuan Ponorogo. Teori hegemonis, pada akhirnya, dalam tradisi warok Ponorogo, bicara tentang dirinya sendiri, didukung oleh kaum yang mereka tindas, dan menemui pengunci kokohnya lewat ideologi kanuragan.

Implikasi Temuan Bagi Pembangunan Masyarakat
Berdasarkan temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa, subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo dalam tradisi warok Ponorogo, lahir dan besar dari logika kanuragan, yang selama ini dianggap seolah “kitab suci”. Seiring dengan proses redefinisi dan reinterpretasi warok berikut segala tradisi yang ada di dalamnya, ideologi kanuragan sudah saatnya dibincang secara terbuka dan ilmiah, mengingat saluran-saluran dialog saat ini telah begitu terbuka lebar, terutama dengan kehadiran Yayasan Reyog Ponorogo.
Karena itu, dalam rangka pemberdayaan kaum perempuan Ponorogo dalam pembangunan masyarakat, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: 1) Membentuk jaringan dengan elemen masyarakat yang berkompetens di dalam pendukungan gerakan pemberdayaan kaum perempuan, misalnya dengan MUI, akademisi, budayawan, dan seterusnya; 2) Membentuk dan menyediakan layanan informasi lengkap tentang tradisi warok yang lengkap dan transparan bagi kaum perempuan Ponorogo, agar ideologi hegemonis berikut penguncinya itu bisa ditangkap secara rasional dan proporsional; dan 3) Melakukan sosialisasi program pemberdayaan kaum perempuan secara intens dan terjadwal terhadap terutama kalangan perempuan Ponorogo secara luas.

KESIMPULAN
Tradisi warok Ponorogo muncul lebih dipicu oleh keinginan masyarakat Ponorogo menunjukkan jati dirinya. Warok , karena itu diberi makna oleh masing-masing pemilik dunianya dengan makna yang mengarah pada sosok, figur, atau pribadi utama. Di kalangan Muslim muncul makna “wirai”; “seorang yang pandai menjaga diri”, sementara di kalangan kepercayaan dan kebatinan muncul makna “wewarah”, seorang yang menjadi panutan bagi masyarakatnya, karena telah mencapai “reh kamuksan sejati”, tingkat kemanusiaan sejati.
Seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, tradisi warok juga mengalami dinamika kehidupannya sendiri. Sebagai sebuah tradisi yang dibangun dan dimiliki oleh kelompok masyarakat dengan balutan ideologi masing-masing, sangat wajar jika dalam dinamika kehidupannya itu mengalami pasang-surut; positif-negatif, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi kehidupan masyarakat yang lain.
Citra negatif dalam tradisi warok satu sisi dipicu oleh ngelmu kebal yang mereka miliki. Dengan ngelmu itu pernah terlalui suatu masa, dimana warok memanfaatkan ngelmu nya itu untuk merampok, membunuh, dan seterusnya. Dan karena itu, di dunianya sendiri, tardisi warok ini menemui kontroversi yang luar biasa, mengingat masih ada lagi satu komunitas warok yang disebut dengan warok sepuh. Yang disebut terakhir ini menggambarkan sebuah tradisi warok yang dihuni oleh kalangan orang yang sudah memiliki kepribadian yang matang; kanuragan sempurna. Di dunia warok sepuh segala bentuk kearifan sebagai wong Ponorogo lahir. Dan karena itulah pencitraan negatif terhadap tradisi warok Ponorogo perlu dicermati ulang; tidak bisa digebyah uyah (dipukul rata). Jadi bisa jadi citra buruk atau sisi gelap tradisi warok akibat dari ulah oknum warok muda yang belum matang membekali dirinya dengan kearifan dan kebijaksanaan, sebagaimana yang terjadi di dunia warok sepuh.
Disamping itu, ideologi kanuragan dalam tradisi warok Ponorogo menjadi pemicu munculnya sisi gelap tradisi warok yang lain, yakni lahirnya tradisi gemblak yang penuh warna penyimpangan seksual. Tradisi gemblak mewujud sebagai tuntutan dari ajaran ideologi kanuragan itu sendiri, terutama tentang keharusan menghindari berhubungan dengan perempuan, sekalipun isterinya sendiri. Namun demikian, ternyata gemblak dalam tradisi warok tidak selalu mengarah pada terjadinya penyimpangan seksual, sebagaimana yang dituduhkan masyarakat selama ini. Dalam tradisi gemblak ini ternyata masih ada sekelompok orang yang bisa disebut panggemblak. Mereka bukan warok tetapi memiliki gemblak layaknya warok. Tujuan mereka juga mirip sama, yakni agar bisa memiliki ilmu kekebalan sebagaimana yang dimiliki oleh warok. Dalam praktek kehidupan gemblak di dunia panggemblak inilah penyimpangan seksual murni terjadi. Gemblak diperlakukan layaknya isteri, hingga urusan bersebadan. Berbeda dengan tradisi gemblak di dunia warok; misi kompensasi kebutuhan terhadap perempuan, yang disebut “pemuas batin” tidak selamanya bermakna hubungan biologis, tetapi lebih pada suasana hati (psikologis) sang warok, dimana kehadiran gemblak disisinya menjadi obat penenang; penentram hati selama nglakoni/tirakat. Bahkan di tangan beberapa warok gemblak diperlakukan layaknya anak asuh; memperoleh bimbingan dan sekaligus pendidikan yang layak.
Tradisi warok dengan dinamika dan variasi sebagaimana dipaparkan di atas, pada akhirnya berdampak pada terjadinya subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo. Peran dan fungsi perempuan, dengan kehadiran gemblak tersebut, mau tidak mau bergeser, berkurang, dan berpindah ke tangan gemblak, baik fungsi dan peran yang bersifat domestik maupun terlebih sosial kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA
Alvina, Vina, 1998, “Ideologi Patriarki dalam Keluarga” Jurnal Pasca Sarjana Salam, Edisi 2 & 3/Th. II Desember 1997-Juni 1998.
Andersen, Margaret dan Patricia Hills Collins, 1992, “Race, Class and Gender, California Wadswort” Publising Company.
Berninghausen, J. dan Krestan B., 1992, “Forging New Paths; Feminist Social Methodology and Rural Women in Java” Zed Book Ltd, London.
Effendy, Bisri, 1998, “Reyog Ponorogo Kesenian Rakyat dan Sentuhan Kekuasaan” LIPI Jakarta.
Fakih, Mansoer, 1996, “Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gramsci, Antonio, 1971, “Selection from the Prison Notebooks” Laurence and Wishart, London.
Kusujiarti, Siti, 1995, “Hiden Power in Gender Relation among Indonesian; A Case Study in a Javanese Village” Newbury Page: Sage Publications.
Scholten, E. Locher dan Niehof, A., 1992, “Indonesian Women in Focus” Leiden: KITLV.
Sosrodiharjo, Soedjito, 1986, “Transformasi Sosial menuju Masyarakat Industri”, Penerbit Bayu Grafika, Yogyakarta.

(Artikel ini ditulis oleh Rido Kurnianto dan telah diterbitkan dalam Jurnal Fenomena Volume 5 Nomor 1 Januari 2008, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ponorogo)


Read More......

MOBILITAS SOSIAL TENAGA KERJA INDONESIA ASAL KOTA PONOROGO

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mobilitas sosial yang telah dilakukan para TKI. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo, dengan jumlah informan penelitian sebanyak 24 informan yang berasal dari beberapa kecamatan yang dianggap sebagai daerah kantong TKI di Ponorogo. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara langsung yang dipandu dengan angket terbuka dan metode observasi. Teknik analisis data berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa untuk mencapai status sosial ekonomi (mobilitas ekonomik) yang lebih baik, para TKI asal Kota Ponorogo telah berani mengambil resiko untuk bekerja di luar negeri (mobilitas horisontal) dalam kurun waktu yang relatif lama. Kesediaan bekerja di luar negeri selain selain adanya daya tarik gaji yang besar, juga adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan keluarga dan ditujukan untuk mencari modal usaha.

Kata Kunci : Mobilitas Sosial, Tenaga Kerja Indonesia

PENDAHULUAN
Krisis moneter pada tahun 1997, yang semula hanya menjangkau bidang ekonomi akhirnya merambah semua aspek kehidupan, seperti politik, pendidikan dan ketenagakerjaan. Ambruknya perusahaan-perusahaan telah mengakibatkan banyak pengangguran. Tragedi ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini telah mendorong sebagian para pencari kerja untuk mengadu nasib dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya kebijakan floating exchange rate di bidang moneter pada situasi ekonomi yang sangat rawan di tahun 1997 ikut merangsang terjadinya perbedaan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing yang sangat besar (Revrisond Baswir; 2003). Perbedaan kurs mata uang rupiah dengan mata uang asing tersebut telah menarik mereka untuk mencari uang di luar negeri, baik di negara-negara Timur Tengah maupun negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Hongkong, Malaysia dan lain-lain.

Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Terkait dengan bidang ketenagakerjaan tersebut di atas, salah satu fenomena sosial yang terjadi di Kota Ponorogo dan sangat menarik untuk diamati adalah adanya mobilitas sosial yang dialami oleh TKI asal Kota Ponorogo. Menurut pendapat Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985) mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mobilitas sosial horisontal dan mobilitas sosial vertikal. Mobilitas sosial horisontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnnya yang sederajat. Dengan adanya mobilitas sosial yang horisontal tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu obyek sosial. Sementara itu yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang derajatnya lebih tinggi.
Konsep tersebut lebih memudahkan dalam memahami perubahan struktur sosial ekonomi para TKI dan keluarganya, mengingat sebagian besar dari mereka mengalami perubahan status sosial ekonomi mereka. Rata-rata mereka mempunyai gaya hidup yang cukup konsumtif. Di satu sisi, gaya hidup konsumtif tersebut menimbulkan dampak positif bagi roda perekonomian di Kota Ponorogo secara luas, tetapi di sisi lain mempunyai dampak negatif bagi para TKI dan keluarganya tersebut. Adanya perubahan struktur sosial ekonomi tersebut, bukan berarti harus mengabaikan konsep mobilitas horisontal. Dalam realita di lapangan banyak dijumpai bahwa seseorang sebelum mengalami perubahan struktur sosial ekonomi sering harus berpindah tempat ke daerah lain, yang jauh dari daerah asalnya, untuk mendapatkan peluang perubahan kondisi ekonomi yang lebih baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berusaha mendapatkan data dari beberapa wilayah kecamatan yang dianggap daerah kantong TKI di Ponorogo, yaitu Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun dan Jetis. Dalam menentukan informan penelitian menggunakan Teknik Bola Salju (Snow Ball) dan jumlah informan yang berhasil diperoleh sebanyak dua puluh empat informan. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara yang dipandu dengan angket secara terbuka. Dengan metode ini diharapkan agar informan mendapatkan keleluasaan untuk menjawab dan menceritakan pengalamannya secara menyeluruh. Seperti yang disampaikan Suharsimi Arikunto (2002: 125) bahwa dengan metode angket terbuka, informan mempunyai kebebasan untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, metode ini sangat membantu peneliti dalam pengumpulan data di lapangan karena bisa dijalankan dengan sangat luwes. Selain menggunakan metode wawancara tersebut pengumpulan data juga dilakukan dengan metode observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan sehingga mempunyai gambaran yang jelas tentang kondisi para informan yang sesungguhnya.
Mengacu pada pendekatan kualitatif, teknik analisis data pada dasarnya berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Induksi merupakan tahap awal dalam pengumpulan dan penyajian data yang diperoleh dari lapangan. Data dikumpulkan dan dianalisis setiap meninggalkan lapangan. Interpretasi Data merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk mengurai informasi atau data yang disampaikan oleh informan termasuk makna yang tersembunyi dibalik informasi atau data tersebut. Konseptualisasi merupakan upaya yang dilakukan peneliti bersama dengan para informan dalam memberikan pernyataan tentang yang sebenarnya dialami oleh para informan termasuk terhadap makna tersembunyi dibalik informasi atau data yang disampaikan oleh para informan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo (2007), jumlah TKI asal Ponorogo yang telah berangkat bekerja di luar negeri dan terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo pada tahun 2005 adalah sebanyak 3.040 orang dan pada tahun 2006 telah terjadi penurunan sebesar 46,94%, yaitu sebanyak 1.613 orang. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri masih didominasi oleh perempuan (TKW), yaitu sebesar 78,98% pada tahun 2005 dan sebesar 59,21% pada tahun 2006. Pada tahun 2005, lima kecamatan sebagai penyumbang tenaga kerja ke luar negeri terbesar adalah Kecamatan Sukorejo (12,34%), Kecamatan Babadan (11,94%), Kecamatan Jenangan (11,12%), Kecamatan Siman (8,39%), dan Kecamatan Ponorogo (6,55%). Sedangkan untuk tahun 2006 adalah Kecamatan Jenangan (8,68%), Kecamatan Balong (8,68%), Kecamatan Babadan (7,87%), Kecamatan Sukorejo (7,38%), dan Kecamatan Jambon (6,94%). Sedangkan untuk negara tujuan TKI yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo adalah Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Arab Saudi, dan Hongkong. Untuk negara Malaysia dan Korea Selatan didominasi oleh TKI berjenis kelamin laki-laki dan untuk negara Singapura, Taiwan, Arab Saudi dan Hongkong didominasi oleh TKI berjenis kelamin perempuan (TKW).
Data primer yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini sebanyak dua puluh empat informan, yaitu berasal dari Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun, dan Jetis. Berdasarkan usia, informan penelitian termasuk dalam usia produktif, yaitu berusia antara dua puluh empat tahun sampai dengan empat puluh empat tahun, dan mayoritas usianya berada di bawah umur empat puluh tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, mayoritas informan penelitian adalah lulusan SMA. Jumlah informan yang tingkat pendidikan terakhirnya lulus SD sebanyak satu informan, lulus SMP sebanyak tiga informan, lulus SMA sebanyak tujuh belas informan, dan Sarjana sebanyak tiga informan. Sedangkan terkait status perkawinan, mayoritas informan penelitian dalam status sudah kawin, yaitu sebanyak tujuh belas informan, dan yang belum kawin sebanyak tujuh informan.
Beberapa negara tujuan tempat informan bekerja antara lain Hongkong, Malaysia, Korea, Arab Saudi, Sri Langka, Brunei, Taiwan, Amerika, dan Abu Dhabi. Keputusan untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri bukan hanya dilakukan sekali saja tetapi beberapa informan menyatakan telah bekerja sebanyak dua sampai empat kali. Sedangkan lama bekerja informan menjadi TKI adalah antara satu tahun sampai dengan delapan tahun, dengan jenis pekerjaan adalah sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik/restoran, nelayan, tukang, perkebunan, sopir, operator, penjaga toko, dan baby sister.
Usaha memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan atau mencari modal untuk membuka usaha merupakan alasan yang banyak disampaikan oleh informan dalam mengambil keputusan menjadi TKI di luar negeri. Selain itu, besarnya tingkat penghasilan (gaji per bulan) menjadi TKI di luar negeri merupakan daya tarik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, beberapa responden yang belum mempunyai rencana usaha setelah tidak menjadi TKI, mereka memilih untuk kembali bekerja menjadi TKI di luar negeri.
Para TKI asal Kota Ponorogo tersebut telah melakukan mobilitas horisontal, seperti yang diteorikan oleh Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985). Mereka memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di beberapa negara, misalnya Arab Saudi, Abu Dhabi, Hongkong, Malaysia, Brunei, Korea Selatan, Amerika, Taiwan, dan lebih dari itu ada yang ke Singapura, Jepang dan Bahrein. Mobilitas horisontal tersebut perlu mereka lakukan untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan tetap bekerja di desa masing-masing. Mobilitas horisontal nampaknya menjadi pilihan rasional bagi para TKI mengingat penghasilan mereka di negara-negara di atas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Ponorogo. Rata-rata TKI wanita (TKW) bekerja di sektor domestik atau sebagai pembantu rumah tangga yang berpenghasilan minimal sebesar Rp. 1.500.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja pada sektor yang sama di pusat Kota Ponorogo dengan gaji sebesar Rp. 250.000 per bulan. Demikian juga bila dilihat penghasilan dari seorang TKI yang bekerja di sebuah pabrik maka penghasilan minimal mereka adalah sebesar Rp. 2.700.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja di bagian penjaga toko di pusat Kota Ponorogo yang bergaji sebesar Rp. 400.000 per bulan. Selisih gaji yang begitu besar menjadikan mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dari pada bekerja di Kota Ponorogo pada bidang yang sama.
Secara umum para TKI asal Ponorogo telah mampu memperbaiki posisi sosial ekonomi mereka. Mereka berhasil meningkatkan kepemilikan barang yang bersifat konsumtif, seperti handphone, televisi, sepeda motor, mobil, tape recorder, maupun meubeller. Demikian juga mereka telah mampu meningkatkan aset yang investatif, seperti tanah, rumah, toko maupun tabungan. Sebagai contoh Srt, seorang TKW yang tinggal di Jalan Menur dan pernah bekerja di Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga selama delapan tahun. Penghasilan sebagai TKW tersebut mampu untuk membeli tanah, sepeda motor, televisi, tape recorder dan untuk membangun pertokoan. Srt saat ini mempunyai lima buah toko yang disewakan dan ia sendiri juga mengelola sebuah toko kecil yang menyediakan keperluan rumah tangga atau disebut mracang, yaitu antara lain sembako, kosmetik, barang-barang dari plastik dan lain-lain.
Srt merupakan salah satu informan yang telah menginvestasikan hasil jerih payahnya selama menjadi TKI di luar negeri. Lebih dari itu, ia tidak berhenti hanya berinvestasi saja tetapi juga melipatgandakan modalnya dengan berwirausaha mracang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka mempunyai semangat N-Ach, seperti yang diteorikan oleh David M Clelland (Arief Budiman; 2003: 23). Mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Pendapatan dari gaji selama menjadi TKI barangkali cukup bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Namun, itu semua belum cukup untuk memberikan kepastian tentang masa depan mereka. Keberanian untuk berwirausaha merupakan contoh riil langkah mereka untuk memperoleh kepastian tentang masa depan. Di antara mereka (infroman) saat ini ada yang menjadi makelar, tukang, pengelola toko dan ada juga yang mengelola biro jasa PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada keterkaitan antara etos kerja dan usaha untuk mandiri (berwirausaha) dengan lamanya kerja menjadi TKI atau besarnya gaji selama menjadi TKI. Sebagai contoh, Swr yang telah menjadi TKI di Korea Selatan selama lima tahun sebagai buruh pabrik dengan gaji sekitar Rp. 8.000.000 per bulan, memutuskan akan kembali lagi sebagai TKI di luar negeri. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Awd, penduduk Desa Ngabar Kecamatan Siman yang bekerja di Arab Saudi selama lima tahun sebagai sopir dengan gaji Rp. 1.600.000 per bulan, memilih berwirausaha, yaitu mengelola bisnis alat pesta berupa terop dan mobil angkutan.
Secara umum para TKI asal Kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang baik untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan mendapatkan aset yang investatif. Mobilitas sosial yang dialami oleh para TKI asal Kota Ponorogo dapat dipolakan pada gambar 1.


KESIMPULAN
Dengan melakukan mobilitas horisontal, yaitu menjadi TKI ke luar negeri, seperti di negara Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Selama kurun waktu antara 1 tahun sampai dengan 8 tahun, para TKI asal Kota Ponorogo mampu mencapai status sosial ekonomi yang lebih baik (mobilitas ekonomik), yaitu ditunjukkan dengan peningkatan kepemilikan asset berupa handphone, televisi, tape recorder, sepeda motor, sampai pada asset yang bersifat investatif, seperti mobil, rumah, tanah, dan modal usaha berupa toko dan persewaan alat-alat terop. Hal ini semua adalah hasil dari perjuangan mereka yang penuh dengan resiko dan adanya etos kerja yang tinggi untuk pencapaian pemenuhan kebutuhan hidup lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Budiman, 1996, Teori Pembangunan Di Negara Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Soerjono Soekamto, 1985, Max Weber, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta,
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Keduabelas, Edisi Revisi V, Jakarta.
Revrisond Baswir, 2003, Di Bawah Ancaman IMF, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_____________ , 2007, Ponorogo dalam Angka Tahun 2006, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Ekuilibrium, Vol. 4, No. 1, September 2008, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)

Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO