GERAKAN SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL

Dalam Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur.
Unsur dasar (base) adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi (kelas kapitalis). Dengan kata lain, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh, dengan determinisme ekonomi sebagai landasan gerakan sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis, termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian pula sebaliknya. Disamping itu, mereka tidak mempercayai bahwa esensial terjadinya apapun disebabkan oleh suatu penyebab yang esensial. Mereka menggunakan istilah Overdeterminisme sebagai alternatif bagi esensialisme dan pengganti dialektika-nya Marx. Overdeterminisme merujuk kepada keberadaan esensial, dalam pengertian bahasa, politik, pengetahuan, eksploitasi, masyarakat, yang saling mempengaruhi dan menentukan. Dengan kata lain, tidak ada satu entitaspun yang dianggal lebih menentukan dari pada entital yang lainnya. Dengan pendekatan ini berarti bahwa perubahan sosial adalah hasil interaksi seluruh aspek masyarakat dan bukan akibat dari suatu sebab ensensial tertentu.
Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial. Pendidikan, budaya dan kesadaran merupakan sesuatu permasalahan yang sangat penting dan perlu diperjuangkan dalam perubahan sosial. Hegemoni merupakan bentuk kekuasaan kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran subordinat. Walaupun dalam hal bekerjanya hegemoni dan memasukkan ideology hegemonik merupakan hal yang rumit, tetapi Gramsci percaya bahwa kuatnya kesadaran kritis individu tersebut dapat menolak gagasan determinisme histories ekonomi-nya Marx. Gramsci tetap menggunakan kelas buruh sebagai gerakan revolusioner, tetapi tidak menutup kemungkinan akan hadirnya kelompok baru dalam kategori kelas buruh dan terciptanya aliansi antara unsur kelas buruh dengan kelompok lain tersebut, serta menekankan transformasi kesadaran (tidak selalu terkait ekonomi) sebagai bagian proses revolusioner.
Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideology dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Mansour Fakih, 2004).
Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal (misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa yang disebut dengan “perang maneuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan cultural dan idiologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah meyakinkan kelas buruh bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupan sosial global”. Dengan demikian, peran kependidikan organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan sosial atau transformasi sosial.

Read More......

Penyusunan Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil temuan di lapangan dan kajian-kajian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Jumlah Pasar Desa adalah sebanyak 53 (lima puluh tiga) Pasar Desa yang tersebar di 19 (sembilan belas) kecamatan. Berdasarkan hari pasaran, jumlah Pasar Desa yang beroperasi pada pasaran Pon sebanyak 24 Pasar Desa, pada pasaran Wage sebanyak 22 Pasar Desa, pada pasaran Kliwon sebanyak 20 Pasar Desa, pada pasaran Legi sebanyak 25 Pasar Desa, dan pada pasaran Pahing sebanyak 21 Pasar Desa; 2).
Hasil temuan di lapangan diketahui bahwa masih terdapat 2 (dua) Pasar Desa yang belum masuk dalam data base, yaitu Pasar Tatung, Desa Tatung Kecamatan Balong, yang beroperasi pada pasaran Pahing dan Kliwon, dan Pasar Jalen, Desa Jalen Kecamatan Balong, yang beroperasi pada pasaran Pahing. Dengan demikian jumlah Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo menjadi sebanyak 55 (lima puluh lima) yang tersebar di 20 (dua puluh) kecamatan. Sedangkan jumlah Pasar Desa yang beroperasi pada pasaran Kliwon menjadi sebanyak 21 Pasar Desa dan yang beroperasi pada pasaran Pahing menjadi sebanyak 23 Pasar Desa; 3) Kondisi Fisik Pasar Desa, mayoritas dalam kondisi yang rusak, yaitu kondisi atap los sudah banyak yang bocor dan pada musim penghujan hampir tidak dapat untuk berjualan. Disamping itu, karena jalan di dalam pasar terbuat dari tanah yang dipadatkan, maka pada musim penghujan menjadi becek dan terkesan kotor; 4) Untuk menjaga kenyamanan dalam melakukan transaksi di Pasar Desa, disamping perlu adanya renovasi untuk saran dan prasarana Pasar Desa, juga diperlukan tersedianya tempat parkir kendaraan, tempat MCK, dan tempat pembuangan sampah; 5) Tersedianya Kantor Pasar Desa, Musholla dan perbaikan jalan menuju ke Pasar Desa, memerlukan hal yang penting dalam rangka mengembangkan keberadaan Pasar Desa; dan 6) Baik Pedagang, Pembeli, Pemerintah Desa maupun Pemerintah Daerah masing-masing mempunyai peran yang besar untuk mengembangkan Pasar Desa. Oleh sebab itu, masing-masing mempunyai kewajiban untuk menjaga kelangsungan keberadaan Pasar Desa.
Berdasarkan hasil penggalian data di lapangan, rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut : 1) Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Terkait dengan Pasar Desa, walaupun tugasnya melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian, tetapi mengingat kondisi fisik Pasar Desa yang mayoritas dalam kondisi rusak, maka perlu mengalokasikan dana untuk renovasi dan atau pembangunan sarana dan prasarana di Pasar Desa. Hal ini penting artinya, mengingat dengan berjalannya Pasar Desa maka akan mampu menggerakkan roda perkonomian di masing-masing desa dan hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat desa; 2) Pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui instansi terkait perlu melakukan pembenahan tentang mekanisme pembayaran retribusi Pasar Desa sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu, data base tentang Pasar Desa sangat penting untuk dimiliki, sehingga dalam penetapan target retribusi Pasar Desa per tahun dapat sesuai dengan potensi yang ada di lapangan; 3) Dana retribusi Pasar Desa yang masuk ke Kas Daerah Kabupaten Ponorogo sebesar 30% sudah selayaknya dialokasikan kembali untuk pembangunan Pasar Desa di Kabupaten Ponorogo; 4) Program pembangunan Pasar Desa tidak hanya diarahkan ke pembangunan fisik Pasar Desa saja tetapi juga diarahkan ke bantuan permodalan kepada para pedagang di Pasar Desa; 5) Pemerintah Kabupaten Ponorogo (melalui instansi terkait) dan Pemerintah Desa dalam melakukan Program Pembangunan Pasar Desa diharapkan mampu melibatkan para pedagang di Pasar Desa, baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pelestarian program, sehingga para pedagang di Pasar Desa akan merasa memiliki dan berpartisipasi secara aktif untuk menjaga kelangsungan dan perkembangan Pasar Desa itu sendiri; dan 6) Pemerintah Desa. Dana pembagian hasil retribusi Pasar Desa, disamping dialokasikan untuk pembenahan balai desa dan membantu biaya operasional Pemerintahan Desa, juga penting untuk dialokasikan ke usaha menjaga kelangsungan keberadaan Pasar Desa, misalnya biaya untuk kebersihan dan MCK di Pasar Desa. Hal ini penting artinya, karena dana tersebut bersumber dari Pasar Desa dan tentu saja alokasi dananya juga ada yang mengarah ke Pasar Desa.
(Kerja sama antara Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Ponorogo dengan CV. Era Muda Consult, Jombang)

Read More......

Pembangunan Pedesaan untuk menekan Laju Kuantitas TKI dari Ponorogo

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Ponorogo merupakan salah satu kota penyumbang terbesar dari Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dari sisi penerimaan, keberadaan TKI tersebut diakui mampu menambah penghasilan keluarga mereka dan mampu menambah perputaran uang di Ponorogo. Tetapi di sisi lain, sering tidak disadari bahwa uang yang dibawa TKI atau kiriman TKI sangat sebentar berputar di Ponorogo.
Mereka banyak membelanjakannya untuk kebutuhan konsumtif saja, misalnya beli sepeda motor baru, HP, perhiasan dan lain-lain. Barang-barang tersebut nota bene merupakan produk dari luar negeri, sehingga uangnya pun akhirnya banyak kembali ke luar negeri.
Permasalahan besarnya TKI dari Ponorogo tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja. Walaupun dari mereka banyak mendatangkan keuntungan financial tetapi permasalahan tersebut akan membawa dampak negative yang cukup besar terhadap proses pembangunan di Ponorogo. Salah satu dampak negative yang saat ini sangat terasa adalah perilaku konsumtif yang cukup besar diantara mereka dan berdampak pada masyarakat luas. Oleh sebab itu, pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo perlu segera turun tangan untuk membendung percepatan laju kuantitas TKI dari Ponorogo. Konsekuensinya, pihak Pemerintah Daerah Ponorogo perlu menyedikan fasilitas dan peluang usaha bagi masyarakat secara luas. Disamping itu, pembangunan yang dilakukan tidak hanya terfokus pada daerah perkotaan, tetapi harus mampu menjangkau sampai ke daerah pedesaan. Hal ini penting dilakukan mengingat, mayoritas TKI berasal dari daerah pedesaan.
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini desa kurang mempunyai daya tarik bagi masyarakatnya untuk mengembangkan usaha dan mereka memilih kerja ke luar desa atau ke luar kota, termasuk menjadi TKI ke luar negeri. Berangkat dari fenomena tersebut, sudah waktunya pembangunan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo harus mampu menjangkau daerah pedesaan. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo secara mandiri, baik tenaga maupun financialnya. Oleh sebab itu, dalam peningkatan pembangunan di Ponorogo, pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, mulai Lembaga Swadaya Masyarakat, Pihak Swasta, sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pengembangan Desa Binaan merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan pembangunan daerah pedesaan. Pengembangan Desa Binaan tersebut, perlu pendampingan secara terus menerus dan berkesinamungan. Dan, hal tersebut perlu adanya kerja sama yang baik antara pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat atau Pihak Swasta atau Perguruan Tinggi, selaku pendamping desa binaan tersebut. Pendampingan Desa Binaan tersebut tidak dapat dilakukan hanya sesaat tetapi harus berkelanjutan sehingga desa tersebut akan mendapatkan pengembangan secara berkelanjutan baik dari segi sumber daya manusianya maupun pengembangan teknologi tepat guna yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa.Disamping itu, pembangunan fasilitas sarana dan prasarana Pasar Desa juga sangat dibutuhkan, mengingat berkembangnya suatu Pasar Desa akan mampu mempunyai daya tarik bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha mereka. Oleh sebab itu, kajian potensi pengembangan daerah pedesaan sangat mendesak untuk dilakukan, sehingga pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo memliki data yang valid sebagai bahan pembuatan kebijakan.

Read More......

Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa melalui Pemeranan Pasar Desa

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, merupakan awal dimulainya otonomi daerah dengan diberikannya peran yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan daerah memerlukan perhatian yang cukup mendalam.
Oleh sebab itu, dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah seharusnya memperhatikan kemampuan dan potensi pembiayaan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan.
Salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan diskusi dan kajian adalah keseimbangan pembangunan antara kota dan desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan daerah sering kali mengutamakan pembangunan daerah perkotaan terlebih dahulu. Hal tersebut tidak dapat disalahkan karena kota harus mampu menjadi pusat segala informasi dan harus mempunyai daya tarik sehingga mampu mendatangkan para investor ke daerah.
Perlu disadari dengan pemusatan pembangunan yang lebih mengutamakan pembangunan di perkotaan membawa dampak yang cukup besar. Salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan yang lebih serius adalah keberadaan pasar di kota. Dengan semakin berkembang kondisi perekonomian di suatu daerah secara signifikan akan diikuti dengan perkembangan pasar sebagai tempat untuk melakukan transaksi ekonomi. Perkembangan pasar di kota yang semakin meningkat pesat akan lebih banyak mendorong masyarakat desa untuk melakukan transaksi ekonomi di pasar kota. Hal tersebut mempunyai dampak yang cukup serius, yaitu secara tata ruang kota maka akan terjadi kesemrawutan dan terjadinya kemacetan di sekitar lokasi pasar kota, masyarakat desa cenderung melakukan transaksi ekonomi di kota sehingga kegiatan ekonomi di desa tidak dapat berkembang, dan secara ekonomi dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang karena adanya tambahan biaya transportasi dari desa ke kota.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah diperlukan pemerataan pembangunan, termasuk di dalamnya pengembangan potensi pasar desa. Keberadaan pasar desa mempunyai arti yang cukup penting, karena disamping mampu mendorong kegiatan ekonomi masyarakat desa yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat desa juga mampu meredam pemusatan kegiatan ekonomi di kota. Disamping itu, keberadaan pasar desa diharapkan akan mampu menghambat percepatan aliran uang ke luar daerah, khususnya terkait dengan kiriman uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang mayoritas berasal dari desa.
Pengembangan potensi pasar desa tidak selalu terfokus pada pembangunan sarana dan prasarana pasar desa, tetapi diperlukan kajian lebih mendalam tentang kebutuhan pengembangan potensi secara keseluruhan yang sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Untuk menjawab hal tersebut tentu saja tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan adanya penelitian atau pemetaan potensi tentang keberadaan pasar desa. Berdasar hasil penelitian atau pemetaan potensi tersebut maka akan menjadi masukan yang berguna bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan khususnya tentang pengembangan potensi pasar desa dan umumnya pengembangan potensi desa/kelurahaan.

Read More......

Gerakan Sosial dan Teori Hegemoni

Dewasa ini, gerakan sosial (social movement) menjadi pokok bahasan yang popular bagi kalangan sosiolog di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Studi yang telah dilakukan mengenai gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam di Amerika Serikat tahun 1950an dan 1960an, serta kajian mengenai berbagai gerakan, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960an dan 1970an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada tahun 1970an dan 1980an,
kesemuanya membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Mansour Fakih: 2004).
Beberapa gerakan sosial yang sering dipilih untuk dijadikan bahan studi atau kajian antara lain Gerakan Perjuangan Etnis atau Nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni Soviet, Gerakan Anti Aparheid di Afrika Selatan dan Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.
Khusus untuk gerakan sosial yang ada di Negara Dunia Ketiga, seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh Negara, melalui apa yang disebut sebagai Pembangunan (Development). Pembangunan seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dan hal tersebut merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario Modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu Negara Dunia Ketiga.Menurut pendapat Bonner (Mansour Fakih: 2004), dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah “Pembangunan”. Studi tersebut bermasud untuk mencari alternatif terhadap gagasan “Pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi suatu “Agama Sekuler Baru” bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagi satu-satunya tujuan bagi pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima oleh kalangan birokrat, akademisi maupun aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat tanpa mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata mengenai soal metodologi, pendekatan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi secara teoristis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan adalah apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan dari pada memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga.
Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.
Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahanlan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.Teori konflik berakar dari paham Marxisme tradisional yang menyatakan bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik. Generasi Marxisme baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci: 1891 – 1937) menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, serta menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme tradisional. Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh.
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner atau bukan lagi titik fokal dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial. Disamping itu Gramsci juga mengemukakan teorinya tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner.

Read More......

Kritik terhadap Pembangunan sebagai sebuah Ideologi

Pembangunan, bagi mayoritas masyarakat, dianggap sebagai suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga istilah “pembangunan” sering kali disejajarkan dengan istilah “perubahan sosial”. Bagi penganut pandangan ini, konsep pembangunan adalah berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan lain, seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, pembangunan model Indonesia, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, teori pembangunan merupakan sebuah teori sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.
Di lain pihak, terdapat suatu pandangan yang lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata “pembangunan” itu sendiri adalah sebuah “discourse” atau suatu pendirian, suatu paham, atau bahkan disebut suatu ideologi tertentu terhadap perubahan sosial. Dalam pandangan ini, konsep pembangunan itu sendiri bukanlah merupakan kata yang bersifat netral, melainkan suatu “aliran” dan keyakinan ideologi dan teoretik serta praktek mengenai perubahan sosial, sebagaimana teori-teori sosialisme, dependensia atau teori-teori lainnya. Dengan demikian, teori pembangunan dapat diangap sebagai “pembangunanisme” atau “developmentalism”.
Gagasan dan teori pembangunan sampai saat ini telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih : 2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik.

Read More......

Ideologi Pembangunan dan Peran Media Komunitas

Gagasan dan teori Pembangunan dianggap mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, istilah Pembangunan tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori Pembangunan dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.

Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kondisi-kondisi tersebut akhirnya berdampak munculnya berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Disamping itu, terkait dengan media komunikasi (termasuk media massa), model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru ternyata banyak menimbulkan masalah, karena sistem media massa yang ada dirancang untuk memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif.
Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.Media komunitas sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat, baik berbentuk siaran radio, televisi sampai dengan surat kabar. Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur sudah banyak surat kabar lokal (Radar Madiun, Radar Malang, Ponorogo Pos, Krida Rakyat dan lain-lain), telivisi lokal (JTV Jawa Post), apalagi siaran radio (khususnya radio FM) yang sudah tersebar sampai ke daerah-daerah. Semua media massa komunitas tersebut diharapkan akan mampu mengangkat budaya dan permasalahan komunitas tertentu dan mampu menjembatani jika terdapat konflik di daerah dengan jalan memberitakan secara transparan, menjunjung kebenaran dan dapat dipertanggungjwawabkan.

Read More......

Dampak Program Gerdu-Taskin terhadap Perkembangan Pokmas Industri Roti di Desa Kalimalang Kabupaten Ponorogo

Ringkasan : Pada tahun 2005, Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, disamping mendapatkan bantuan pendanaan Program Gerdu-Taskin Reguler, pada tahun tersebut juga terpilih sebagai Desa Model untuk Program Pengembangan Desa Model Binaan Gerdu-Taskin kerja sama dengan Perguruan Tinggi/Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam Program Desa Binaan Gerdu-Taskin tersebut yang menjadi “unggulan” Desa Kalimalang dan akan dikembangkan adalah Kelompok Masyarakat (Pokmas) Industri Roti.
Oleh sebab itu, alokasi dana untuk bantuan modal usaha, dalam bentuk simpan pinjam, lebih banyak diarahkan kepada 14 (empat belas) pokmas industri roti, disamping pokmas mrancangan dan pokmas usaha tikar mendong. Terkait dengan hal tersebut di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini difokuskan pada : 1) Bagaimana pemanfaatan bantuan modal usaha tersebut dalam kaitannya dengan upaya pengembangan industri roti di Desa Kalimalang ?; dan 2) Bagaimana perkembangan Pokmas Industri Roti di Desa Kalimalang setelah mendapatkan bantuan modal usaha ?.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bantuan modal usaha Program Desa Binaan Gerdu-Taskin oleh Pokmas Industri Roti dan sekaligus mengetahui perkembangan Pokmas Industri Roti setelah mendapatkan bantuan modal usaha. Lokasi Penelitian ini adalah Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, dengan obyek penelitian difokuskan pada Kelompok Masyarakat (Pokmas) Industri Roti sebanyak 14 (empat belas) industri roti yang telah mendapatkan pinjaman modal dari program tersebut. Metode pengambilan data dengan menggunakan metode “Angket atau Kuesioner” dan didukung dengan wawancara secara langsung, sedangkan metode analisis data dengan menggunakan metode “Analisis Deskriptif Kuantitatif”.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa : 1) Dengan digulirkannya Program Pengembangan Desa Model Binaan Gerdu-Taskin kerjasama dengan Perguruan Tinggi/Lembaga Swadaya Masyarakat Tahun 2005 di Desa Kalimalang Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, mempunyai dampak yang positif terhadap perkembangan Pokmas industri roti, sebagai ”Produk Unggulan” desa tersebut; 2) Dalam kurun waktu sekitar dua tahun, Pokmas industri roti telah mampu mengembangkan wilayah pemasaran produknya tidak hanya di Pasar Induk (Pasar Songgolangit), tetapi sudah hampir diseluruh Pasar Desa yang ada di Kabupaten Ponorogo, bahkan sampai ke luar kota, misalnya Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Madiun. Perkembangan usaha yang bagus tersebut juga berdampak pada masyarakat sekitar, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan, sehingga dapat membantu mengurangi angka penganguran di Kabupaten Ponorogo; 3) Meskipun dalam perjalanan usaha Pokmas industri roti di Desa Kalimalang telah menunjukkan perkembangan yang baik, tetapi tidak lepas dari permasalahan dan kendala usaha. Beberapa permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Pokmas industri roti tersebut antara lain adalah : a) Belum dimilikinya Ijin Usaha dan atau Ijin Kesehatan; b) Persaingan usaha dan peningkatan biaya bahan baku; c) Belum dimilikinya Jenset sebagai pengganti jika terjadi pemadaman listrik; dan d) Masih membutuhkan modal untuk mengganti peralatan produksi yang kurang layak.
(Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 008/SP2H/DP2M/III/2007)

Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO