Pembangunan, bagi mayoritas masyarakat, dianggap sebagai suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga istilah “pembangunan” sering kali disejajarkan dengan istilah “perubahan sosial”. Bagi penganut pandangan ini, konsep pembangunan adalah berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan lain, seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, pembangunan model Indonesia, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, teori pembangunan merupakan sebuah teori sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.
Dengan demikian, teori pembangunan merupakan sebuah teori sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.
Di lain pihak, terdapat suatu pandangan yang lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata “pembangunan” itu sendiri adalah sebuah “discourse” atau suatu pendirian, suatu paham, atau bahkan disebut suatu ideologi tertentu terhadap perubahan sosial. Dalam pandangan ini, konsep pembangunan itu sendiri bukanlah merupakan kata yang bersifat netral, melainkan suatu “aliran” dan keyakinan ideologi dan teoretik serta praktek mengenai perubahan sosial, sebagaimana teori-teori sosialisme, dependensia atau teori-teori lainnya. Dengan demikian, teori pembangunan dapat diangap sebagai “pembangunanisme” atau “developmentalism”.
Gagasan dan teori pembangunan sampai saat ini telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih : 2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik.
Gagasan dan teori pembangunan sampai saat ini telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih : 2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis ekonomi dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar