Kemampuan pengusaha lokal dalam mengelola usaha perekonomian dan mampu bersaing diantara dominasi etnik Cina tidak banyak dijumpai di Indonesia. Kota Ponorogo merupakan salah satu kota yang menunjukkan gejala tersebut. Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo termasuk salah satu dari golongan yang mampu bertahan menghadapi dominasi etnik Cina dan mereka bahkan berhasil mendominasi beberapa jenis usaha. Pada kurun waktu antara tahun 1950 sampai dengan akhir tahun 1960, kota Ponorogo dikenal sebagai jalur perdagangan batik (sejajar dengan kota Surakarta, Yogyakarta dan Pekalongan) dan ketika batik menjadi “primadona” perekonomian lokal maka pengusaha muslim perkotaan sebagai pemegang kendali.
Tetapi ketika batik mengalami kemerosotan pada awal tahun 1970, maka berdampak pada menurunnya dominasi pengusaha muslim perkotaan dalam perekonomian di kota Ponorogo. Regenerasi perekonomian di kalangan pengusaha muslim perkotaan di Ponorogo berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan kurang ditanamkannya nilai-nilai kewirausahaan pada anak-anak mereka. Setelah mengalami kemerosotan kurang lebih selama 10 tahun, pengusaha muslim perkotaan mulai bangkit lagi pada akhir tahun 1980. Kebangkitan pengusaha muslim tersebut sebagian berasal dari keluarga pengusaha batik, yang pada masa itu termasuk kelas menengah, dan sebagian lagi merupakan pengusaha muslim baru yang berangkat dari bawah. Para pengusaha muslim generasi baru, yang berlatar belakang dari keluarga pengusaha batik, tidak lagi meneruskan usaha batik melainkan mengembangkan jenis usaha lain baik usaha pertokoan maupun usaha jasa. Sedangkan untuk pengusaha muslim baru yang memulai usaha dari bawah adalah mereka yang sebelumnya hanya sebagai karyawan pada usaha tertentu, karena kegigihannya maka mereka mampu membuka usaha secara mandiri dan bahkan usahanya sekarang lebih sukses dibandingkan dengan usaha tempat kerjanya dahulu (Harsono dan Santoso, 2005).
Sampai sekarang ini para pengusaha muslim perkotaan pada umumnya dalam menjalankan usahanya terkonsentrasi di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mangkujayan, Banyudono dan Bangunsari, yang semuanya terletak di wilayah Kecamatan Kota Ponorogo dan secara geografis berada di pusat Kota Ponorogo. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko meubel, sebagian besar beroperasi di Kelurahan Mangkujayan, khususnya Jalan Urip Sumoharjo, meskipun di lokasi tersebut juga terdapat beberapa pengusaha toko meubel dari etnik Cina. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko pakaian jadi, sebagian besar terkonsentrasi di Kelurahan Banyudono dan Bangunsari, terutama di Jalan Jaksa Agung, Jalan Bayangkara, Jalan Sukarno-Hatta dan Pasar Legi Selatan (Pasar Lanang). Sedangkan untuk jenis usaha yang lain, seperti apotik, hotel, kounter hand phone, rumah makan dan toko swalayan, wilayah penyebarannya lebih merata di banyak kelurahan di pusat kota.
Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo menjadi pengusaha sukses tidak berangkat dengan modal usaha yang besar tetapi mereka berangkat dengan modal semangat dan ketrampilan. Yang tidak kalah menarik dari etos kerja pengusaha muslim perkotaan adalah bahwa tingginya etos kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi semata tetapi juga didorong oleh motif religi dan sosial.
Motif Religi dan Sosial
Nilai-nilai agama dan kultural dapat memberikan dorongan pada seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu, terutama dalam bidang ekonomi. Motif religi yang mendorong keberhasilan hidup seseorang tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Terminologi etos kerja kaum Santri Pedagang menggambarkan keberhasilan para pengusaha muslim dalam mengembangkan usahanya di beberapa kota di Jawa pada tahun 1950-an, seperti Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Ponorogo dan kota lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat agama dengan lebih bersungguh-sungguh, dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi.
Disamping menunaikan ibadah haji, para pengusaha muslim perkotaan secara rutin membayar zakat, baik zakat fitrah pada Hari Raya Idul Fitri maupun zakat maal. Namun mereka mempunyai cara yang berbeda-beda dalam membayar zakat, yaitu ada yang menyerahkan zakatnya langsung kepada panitia zakat, ada yang lebih suka membayarkan sendiri zakatnya pada yang berhak dan ada menyerahkan zakatnya pada sebuah panti asuhan anak yatim. Menunaikan ibadah haji adalah dalam rangka memenuhi motivasi religi, sedangkan membayar zakat disamping untuk memenuhi motif religi, juga dimaksudkan untuk memenuhi motif sosial. Zakat yang mereka keluarkan tidak hanya untuk membantu masjid saja tetapi juga untuk kegiatan sosial, yaitu memberikan shodaqoh untuk panti asuhan dan menyalurkan beras untuk kaum miskin. Para pengusaha muslim perkotaan sangat percaya bahwa puluhan juta rupiah yang dikeluarkan dalam dua bentuk kegiatan tersebut (ibadah haji dan membayar zakat) akan diganti oleh Allah SWT dengan kemudahan rezeki melalui kemajuan usaha mereka.
Terkait dengan promosi usaha melalui dunia periklanan, kebanyakan pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo belum banyak memanfaatkannya, namun demikian bukan berarti mereka menjadi pasif terhadap promosi atas kegiatan usahanya. Kerelasian dengan berbagai pihak selalu mereka kembangkan memalui organisasi-organisasi sosial yang mereka ikuti. Dalam mengembangkan kiat untuk menjaga kerelasian dengan mitra maupun konsumen, mereka selalu berusaha untuk tidak membuat kecewa apalagi marah. Sedangkan terhadap dunia perbankan para pengusaha muslim perkotaan tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sejak awal usahanya sudah berhubungan dengan dunia perbankan, karena dalam mengawali bisnisnya mereka memperoleh pinjaman modal dari sebuah bank. Sementara pengusaha muslim perkotaan yang lain dalam usaha mengembangkan bisnisnya tidak pernah berusaha memperoleh kredit dari perbankan. Mereka beranggapan bahwa bersentuhan dengan dunia perbankan adalah dilarang oleh agama, karena mengandung unsur riba. Sehingga dalam mengembangkan modal usahanya lebih banyak mengandalkan pada keuntungan yang mereka kumpulkan secara perlahan-lahan.
Simpulan
Tetapi ketika batik mengalami kemerosotan pada awal tahun 1970, maka berdampak pada menurunnya dominasi pengusaha muslim perkotaan dalam perekonomian di kota Ponorogo. Regenerasi perekonomian di kalangan pengusaha muslim perkotaan di Ponorogo berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan kurang ditanamkannya nilai-nilai kewirausahaan pada anak-anak mereka. Setelah mengalami kemerosotan kurang lebih selama 10 tahun, pengusaha muslim perkotaan mulai bangkit lagi pada akhir tahun 1980. Kebangkitan pengusaha muslim tersebut sebagian berasal dari keluarga pengusaha batik, yang pada masa itu termasuk kelas menengah, dan sebagian lagi merupakan pengusaha muslim baru yang berangkat dari bawah. Para pengusaha muslim generasi baru, yang berlatar belakang dari keluarga pengusaha batik, tidak lagi meneruskan usaha batik melainkan mengembangkan jenis usaha lain baik usaha pertokoan maupun usaha jasa. Sedangkan untuk pengusaha muslim baru yang memulai usaha dari bawah adalah mereka yang sebelumnya hanya sebagai karyawan pada usaha tertentu, karena kegigihannya maka mereka mampu membuka usaha secara mandiri dan bahkan usahanya sekarang lebih sukses dibandingkan dengan usaha tempat kerjanya dahulu (Harsono dan Santoso, 2005).
Sampai sekarang ini para pengusaha muslim perkotaan pada umumnya dalam menjalankan usahanya terkonsentrasi di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mangkujayan, Banyudono dan Bangunsari, yang semuanya terletak di wilayah Kecamatan Kota Ponorogo dan secara geografis berada di pusat Kota Ponorogo. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko meubel, sebagian besar beroperasi di Kelurahan Mangkujayan, khususnya Jalan Urip Sumoharjo, meskipun di lokasi tersebut juga terdapat beberapa pengusaha toko meubel dari etnik Cina. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko pakaian jadi, sebagian besar terkonsentrasi di Kelurahan Banyudono dan Bangunsari, terutama di Jalan Jaksa Agung, Jalan Bayangkara, Jalan Sukarno-Hatta dan Pasar Legi Selatan (Pasar Lanang). Sedangkan untuk jenis usaha yang lain, seperti apotik, hotel, kounter hand phone, rumah makan dan toko swalayan, wilayah penyebarannya lebih merata di banyak kelurahan di pusat kota.
Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo menjadi pengusaha sukses tidak berangkat dengan modal usaha yang besar tetapi mereka berangkat dengan modal semangat dan ketrampilan. Yang tidak kalah menarik dari etos kerja pengusaha muslim perkotaan adalah bahwa tingginya etos kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi semata tetapi juga didorong oleh motif religi dan sosial.
Motif Religi dan Sosial
Nilai-nilai agama dan kultural dapat memberikan dorongan pada seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu, terutama dalam bidang ekonomi. Motif religi yang mendorong keberhasilan hidup seseorang tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Terminologi etos kerja kaum Santri Pedagang menggambarkan keberhasilan para pengusaha muslim dalam mengembangkan usahanya di beberapa kota di Jawa pada tahun 1950-an, seperti Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Ponorogo dan kota lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat agama dengan lebih bersungguh-sungguh, dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi.
Disamping menunaikan ibadah haji, para pengusaha muslim perkotaan secara rutin membayar zakat, baik zakat fitrah pada Hari Raya Idul Fitri maupun zakat maal. Namun mereka mempunyai cara yang berbeda-beda dalam membayar zakat, yaitu ada yang menyerahkan zakatnya langsung kepada panitia zakat, ada yang lebih suka membayarkan sendiri zakatnya pada yang berhak dan ada menyerahkan zakatnya pada sebuah panti asuhan anak yatim. Menunaikan ibadah haji adalah dalam rangka memenuhi motivasi religi, sedangkan membayar zakat disamping untuk memenuhi motif religi, juga dimaksudkan untuk memenuhi motif sosial. Zakat yang mereka keluarkan tidak hanya untuk membantu masjid saja tetapi juga untuk kegiatan sosial, yaitu memberikan shodaqoh untuk panti asuhan dan menyalurkan beras untuk kaum miskin. Para pengusaha muslim perkotaan sangat percaya bahwa puluhan juta rupiah yang dikeluarkan dalam dua bentuk kegiatan tersebut (ibadah haji dan membayar zakat) akan diganti oleh Allah SWT dengan kemudahan rezeki melalui kemajuan usaha mereka.
Terkait dengan promosi usaha melalui dunia periklanan, kebanyakan pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo belum banyak memanfaatkannya, namun demikian bukan berarti mereka menjadi pasif terhadap promosi atas kegiatan usahanya. Kerelasian dengan berbagai pihak selalu mereka kembangkan memalui organisasi-organisasi sosial yang mereka ikuti. Dalam mengembangkan kiat untuk menjaga kerelasian dengan mitra maupun konsumen, mereka selalu berusaha untuk tidak membuat kecewa apalagi marah. Sedangkan terhadap dunia perbankan para pengusaha muslim perkotaan tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sejak awal usahanya sudah berhubungan dengan dunia perbankan, karena dalam mengawali bisnisnya mereka memperoleh pinjaman modal dari sebuah bank. Sementara pengusaha muslim perkotaan yang lain dalam usaha mengembangkan bisnisnya tidak pernah berusaha memperoleh kredit dari perbankan. Mereka beranggapan bahwa bersentuhan dengan dunia perbankan adalah dilarang oleh agama, karena mengandung unsur riba. Sehingga dalam mengembangkan modal usahanya lebih banyak mengandalkan pada keuntungan yang mereka kumpulkan secara perlahan-lahan.
Simpulan
- Para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi, yaitu supaya bisa memenuhi kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga didorong oleh motif religi dan motif sosial. Tingginya etos kerja para pengusaha muslim perkotaan dalam menjalankan usahanya adalah modal utama dalam mengembangkan usaha mereka, disamping mereka punya pengalaman dan ketrampilan yang cukup.
- Temuan di lapangan telah menunjukkan bahwa para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo telah mengalami kemajuan usaha, baik di bidang perdagangan, jasa maupun industri, dan hal ini merupakan indikasi penting adanya etos kerja dan kemampuan yang baik dari para pengusaha tersebut dalam mengelola dan mengembangkan usaha mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar