Munculnya aliran filsafat positivisme ini dipelopori oleh seorang filsuf yang bernama August Comte (1798 – 1875). Comte jugalah yang menciptakan istilah ”sosiologi” sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Mulai abad 20-an sampai dengan saat ini, aliran positivisme mampu mendominasi wacana ilmu pengetahuan. Aliran ini menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam untuk dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar, yaitu berdasarkan kriteria-kriteria eksplanatoris dan prediktif. Untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria dimaksud, maka semua ilmu harus mempunyai pandangan dunia positivistik, yaitu : 1) Objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai; 2) Fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan disingkirkan; 3) Reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati; dan 4) Naturalisme. Alam semesta adalah obyek-obyek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam (Burhan Bungis: 2005; 31-32).
Kekuatan pengaruh aliran positivistik ini dikarenakan adalah klaim-klaim terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu imu pengetahuan haruslah nyata dan positivistik. Klaim-klain tersebut adalah : 1) Klaim Kesatuan Ilmu. Ilmu-ilmu manusia dan alam berada di bawah satu payung paradigma yang sama, yaitu paradigma positivistik; 2) Klaim Kesatuan Bahasa. Bahasa perlu dimurnikan dari konsep-konsep metafisis dengan mengajukan parameter verifikasi; dan 3) Klaim Kesatuan Metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik ilmu-ilmu manusia maupun alam. Aliran positivistik ini akhirnya melahirkan pendekatan-pendekatan paradigma kuantitatif dalam penelitian, dimana obyek penelitian dilihat memiliki keberaturan yang naturalistik, empiris, dan behavioristik, dimana semua obyek penelitian harus dapat direduksi menjadi fakta yang dapat diamati, tidak terlalu mementingkan fakta sebagai makna tetapi mementingkan fenomena yang tampak, serta serba bebas nilai (obyektif) dengan menentang secara tajam sikap subyektif. Tradisi positivistik ini membawa paradigma penelitian sebagai aliran yang berlawanan dengan paradigma kualitatif- fenomenologis.
Sebagai gambaran secara singkat, untuk lebih memperjelas perbedaan penelitian kuantitatif (kuantitatif positivistik) dengan kualitatif (kualitatif fenomenologis) dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Kekuatan pengaruh aliran positivistik ini dikarenakan adalah klaim-klaim terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu imu pengetahuan haruslah nyata dan positivistik. Klaim-klain tersebut adalah : 1) Klaim Kesatuan Ilmu. Ilmu-ilmu manusia dan alam berada di bawah satu payung paradigma yang sama, yaitu paradigma positivistik; 2) Klaim Kesatuan Bahasa. Bahasa perlu dimurnikan dari konsep-konsep metafisis dengan mengajukan parameter verifikasi; dan 3) Klaim Kesatuan Metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik ilmu-ilmu manusia maupun alam. Aliran positivistik ini akhirnya melahirkan pendekatan-pendekatan paradigma kuantitatif dalam penelitian, dimana obyek penelitian dilihat memiliki keberaturan yang naturalistik, empiris, dan behavioristik, dimana semua obyek penelitian harus dapat direduksi menjadi fakta yang dapat diamati, tidak terlalu mementingkan fakta sebagai makna tetapi mementingkan fenomena yang tampak, serta serba bebas nilai (obyektif) dengan menentang secara tajam sikap subyektif. Tradisi positivistik ini membawa paradigma penelitian sebagai aliran yang berlawanan dengan paradigma kualitatif- fenomenologis.
Sebagai gambaran secara singkat, untuk lebih memperjelas perbedaan penelitian kuantitatif (kuantitatif positivistik) dengan kualitatif (kualitatif fenomenologis) dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
bagaimana dengan keberadaan "Metafisik" yang sangat bertentangan dengan "potivistik" yang kontra dengan adanya metafisik? apakah keberadaan paham positivistik mampu mengubah pemikiran masyarakat bahwa metafisik hanya sebatas pengetahuan yang bersifat alamiah atau di luar kemampuan manusia itu sendiri??
BalasHapusMarchel, S.sos
mas,mu nanya,,,
BalasHapusbukankah fenomenalisme itu agak bertentangan dengan positivisme?yang saya pelajari bahwa positivisme itu merupakan pendekatan kuantitatif dan statistik sedangkan fenomenalisme merupaka pendekatan yang lebih ke pengamatan langsung dan landasannya bukan positive theory?mohon diluruskan andaikata salah...
Terimakasih.
Sederhananya dalam dunia penelitian, kalau positivisme mengarah pada paradigma kuantitatif, sedang fenomenalisme lebih mengarah ke paradigma kualitatif. Insya Allah tidak salah yang selama ini saudara dipelajari.
BalasHapusTeruskanlah belajar untuk mendapatkan pencerahan, Amin
mengapa terjadi pluralitas ilmu pengetahuan baik secara kualitatif dan kuantitatif ??
BalasHapusmas mengapa penelitian kuantitatif disebut dengan penelitian positivistic??????????????
BalasHapusjawablah beserta alasannya..
soal dikumpulkan sebelum uas...
To Ardiansyah, salah satu jawabannya bahwa segala sesuatu harus dapat diamati dan dapat dinilai dan bekerjanya suatu fenomena dianggap sudah tertata. Dampaknya, dalam penelitian kuantitatif, biasanya muncul hipotesis, jawaban kualitatif di skor atau diangkakan. Baca buku penelitian kuantitatif.
BalasHapusMas, maaf apa benar jika kuantitatif itu sebuah paradigma?
BalasHapussepengetahuan say, kuantitatif adalah sebuah metode pengolahan data. lagipula bukankah teoriteori positivistik juga bisa dikerjakan dengan metode kualitatif?
To Giftalvina, terima kasih sudah berkunjung. Maaf yang saya maksud dengan paradigma dimaksud adalah cara pandang atau berfikir kaum positivistik terhadap proses pencarian keingintahuan mereka atau kebenaran dengan menggunakan pendekatan kuntitatif.
BalasHapusurutan logis paradigma positivistik itu seperti apa?
BalasHapusparadigma dalam penelitian itu memang hanya ada 2 kan ?
BalasHapuspositivistik --> kuantitatif
interpretif --> kualitatif?
atau saya salah dan ada paradigma yang lain?