MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM TRADISI WAROK PONOROGO

Abstrak : Tradisi warok Ponorogo tak bisa lepas dari tradisi gemblak, dimana hal ini merupakan tuntutan ideologi kanuragan yang mendasari kehidupan warok itu sendiri. Tradisi gemblak ini pada gilirannya menjadi dilema bagi tradisi warok. Satu sisi menjadi tuntutan ideologi kanuragan, sementara pada sisi yang lain memunculkan citra buruk warok; penyimpangan seksual. Penelitian ini bertujuan utama mengkaji kemungkinan terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan (terutama para isteri warok yang memiliki gemblak) dalam hal peran dan fungsi mereka dalam rumah tangga khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada dua tipologi dalam tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo; 1) Warok yang memiliki gemlak, dimana fungsi dan perannya lebih pada aspek pelayanan sang warok saat nglakoni; dan 2) Panggemblak, yakni bukan warok tetapi memiliki gemblak, dimana ia memiliki fungsi dan peran melayani nafsu biologis tuannya. Terlepas dari tradisi gemblak maupun panggemblak, tradisi warok ini telah mengakibatkan terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan. Subordinasi dan marginalisasi itu mengambil bentuk konco wingking (sebatas mengurus rumah tangga) dalam lingkup yang sangat sempit, karena telah tergantikan sebagiannya oleh gemblak pasangan warok dan berikutnya urmat garwa (menghormati apapun yang dilakukan suami), hingga tak tersisa ruang bagi perempuan untuk ikut berperan di dalam mengambil kebijakan dalam bentuk apapun.

Kata kunci : Tradisi Warok, Tradisi Gemblak, Marginalisasi.

PENDAHULUAN
Kesenian Reyog Ponorogo tidak bisa terlepas dari tradisi warok. Secara historis, belum ada data yang bisa menunjukkan secara pasti hubungan antara reyog dengan tradisi warok. Dalam perkembangannya, yang jelas tradisi warok ini menjadi komunitas atau semacam perkumpulan sosial (paguyuban) dengan nama konco reyog, terdiri dari tiga komponen yang saling terkait; warok, warokan, dan jathil. Komunitas atau perkumpulan sosial itu selanjutnya menampilkan cara dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat lain. Paguyuban warok itu akan sangat nampak, terutama ketika ada perayaan-perayaan religius, misalnya dalam acara hajatan; bersih desa, ruwatan, mantu, ritual sesaji, maupun ritual adat tradisi, baik di tingkat desa maupun di tingkat yang lebih luas; daerah dan bahkan nasional.

Di dalam tradisi terdapat tradisi gemblakan atau mairil. Komponen ini memiliki karakteristik berikut; berjenis kelamin laki-laki; berusia 10 sampai 17 tahun; dan berparas tampan. Dalam pertunjukan reyog (sebelum diganti dengan pemeran perempuan) gemblakan berperan sebagai penari jathil. Hubungan warok, warokan, maupun gemblakan bisa dilukiskan seperti hubungan suami-isteri. “Gemblakan iku minongko gantine bojo”- (Gemblakan itu sebagai pengganti isteri). Karena itu gemblakan itu selalu disayang, disanjung, dan dibanggakan jauh melebihi sang isteri warok sendiri.
Dalam pengertian tertentu, sebagaimana ditulis Effendy (1998; 220), tradisi warok adalah kehidupan homo-seksual, dimana gemblakan itu menggantikan peran dan posisi seorang isteri. Dan dalam kondisi tertentu, kehidupan sebagaimana disebutkan ini merupakan tuntutan dari ideologi “olah kanoragan”. Beberapa sumber menyebutkan, bahwa kehidupan homo-seksual di dalam tradisi warok Ponorogo terjadi lebih disebabkan oleh kuatnya pandangan setempat, bahwa ilmu-ilmu kanoragan (baca: kekebalan) yang menjadi andalan utama tradisi itu hanya dimungkinkan bila pemiliknya mampu menahan tidak berhubungan dengan perempuan. “Wong lanang yen wis kasengsem asmoro, kasengsem marang wong wadon iku biso ngempukake kulit, nggetasake balung, wetenge kaya gedebog. Mula lumrahe para warok lan warokan iku padha ngedohi marang wong wadon.” (Purwowijoyo: 1985; 3). Maksudnya “Orang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang perempuan bisa merapuhkan kulit dan tulang, serta membuat perutnya empuk seperti batang pisang. Karena itu biasanya para warok dan warokan menjauhi berhubungan dengan perempuan”.
Kehidupan dalam suasana tradisi warok sebagaimana dipaparkan, mengasumsikan terpinggirkannya kaum perempuan (para isteri warok dan warokan) dan perempuan Ponorogo pada umumnya, baik dalam peran dan fungsi mereka dalam kehidupan rumah tangga maupun terlebih dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, penelitian ini menjadi relatif penting dalam rangka mengungkap kemungkinan terjadinya marginalisasi perempuan dalam tradisi warok Ponorogo. Asumsi bahwa telah terjadi dominasi atas perempuan berdasar pada terutama fenomena gemblakan, dimana komponen kesenian reyog yang disebut terakhir ini, menggantikan peran dan fungsi seorang isteri warok ataupun warokan. Asumsi selanjutnya dapat diduga bahwa peminggiran terhadap peran dan fungsi perempuan itu akan berdampak lebih jauh pada kemungkinan partisipasi aktif kaum perempuan dalam pembangunan masyarakat Ponorogo.
Berdasarkan paparan permasalahan di atas, masalah penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut; 1) Bagaimana dinamika tradisi warok Ponorogo?; 2) Bagaimana status dan peran perempuann (para isteri warok dan warokan) dalam tradisi warok Ponorogo?; dan 3) Bagaimana dinamika hubungan gender dalam tradisi warok Ponorogo?.

METODE PENELITIAN
Data yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah suatu informasi dalam bentuk deskriptif tentang terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan Ponorogo dalam tradisi warok Ponorogo. Ungkapan konsep ini sekaligus lebih menghendaki makna yang berada dibalik deskripsi data tersebut. Karena itu, penelitian ini lebih sesuai jika menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Ponorogo, dengan subyek penelitian para warok, warokan, berikut para isteri warok dan warokan. Mengingat komunitas warok itu sebanyak paguyuban reyog, maka lokasi penelitiannya mengikuti sejumlah paguyuban reyog yang saat ini masih eksis (saat ini paguyuban reyog telah mengalami pengurangan disebabkan oleh matinya aktifitas beberapa paguyuban reyog).
Informan peneltian ini adalah para warok, warokan, dan para isteri mereka. Beberapa informan pendukung adalah para tokoh Yayasan Reyog Ponorogo (sebuah organisasi kesenian reyog Ponorogo yang didirikan sebagai pusat pengelolaan dan pengembangan kesenian tersebut)
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara mendalam, dan dokumenter. Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif melalui proses induksi-interpretasi-konseptualisasi. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus, permasalahan, dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif ketika turun ke lapangan. Proses analisis akan berjalan melalui kategorisasi atau konseptualisasi data yang terus digali, sambil membandingkan dan mencari hubungan antar konsep sampai melahirkan hipotesis-hipotesis. Proses ini akan bergerak tidak secara linier lagi, tetapi berputar secara interaktif antara satu konsep dengan konsep yang lain, atau antara kategori satu dengan kategori yang lain. Proses ini juga akan bergerak sejak awal pengumpulan data, bekerja secara simultan, semakin kompleks atau rumit, tetapi sekaligus semakin mengarah pada proses munculnya hipotesis dan sampai pada titik tidak terdapat lagi informasi baru (Hamidi: 2004; 80-81). Tradisi warok sebagai kata kunci penelitian akan difokuskan ke dalam perspektif gender. Pandangan mereka akan dilacak dari data tentang ragam kesadaran, pertimbangan, pikiran informan, sehingga ditemukan pandangan tertentu dalam hal peran dan fungsi perempuan Ponorogo dalam pembangunan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tradisi Warok Ponorogo
Tradisi warok sebenarnya terbangun dari keinginan menggali identitas dan jati diri masyarakat Ponorogo. Nama Ponorogo sendiri mencerminkan keinginan kuat itu; “pono” berarti sempurna, puncak, mumpuni; sedangkan “rogo” berarti raga, badan. Jadi Ponorogo berarti badan atau tubuh yang telah sempurna; pribadi yang telah mencapai kesempurnaan. Warok sendiri nampaknya juga terdapat keterkaitan yang cukup rapat dengan Ponorogo itu sendiri. Warok Ponorogo berarti orang yang selalu tampil sebagai pribadi yang selalu menjaga diri dari segala hal yang menyebabkan diri menjadi hina; raga yang sudah berada dalam “kesempurnaan” inilah yang terus diperbaiki dan ditingkatkan untuk menuju “reh kamuksan sejati”, (Wawancara dengan Mbah Wo Kucing).
Identitas Ponorogo kemudian ditampilkan oleh sosok warok dalam kesenian reyog Ponorogo. Berawal dari sinilah, kemungkinan mulai berhubungan antara dunia warok dengan dunia seni reyog Ponorogo, sekalipun sebenarnya kedua entitas ini memiliki kehidupan yang berbeda.
Tari warok yang dipadukan di dalam paket pentas reyog Ponorogo, nampaknya memang sengaja diformat sebagai media sosialisasi citra baik yang sesungguhnya melekat dan harus dilekatkan pada dunia warok Ponorogo. Inilah sebabnya kenapa para tokoh warok getol memasukkan unsur warok ke dalam seni reyog Ponorogo, yang sebenarnya secara historis keduanya tidak ada hubungan.

Dinamika Tradisi Warok
Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, tradisi warok mengalami dinamika fluktuatif; ada masanya tradisi warok mencerminkan kehidupan penuh pesona kebajikan dan kearifan, dan karena itu warok Ponorogo menjadi figur sentral bagi hidup dan kehidupan masyarakat Ponorogo. Bersamaan dengan itu, ternyata juga ada masanya tradisi warok itu mencerminkan kehidupan gelap; serba negatif. Ilmu kekebalan yang diperoleh para warok tidak dimanfaatkan menebar kemanfaatan, melainkan malah diselewengkan untuk kepentingan adigang-adigung-adiguna, lahirlah kemudian istilah kejahatan di kalangan warok, yakni “Mo-Limo”; main, maling, madat, madon, marok, dimana semua ini adalah perilaku jahat.
Sejak Batharakatong berkuasa dengan membawa misi menyebarkan agama Islam di Kabupaten Ponorogo, citra buruk kehidupan warok mulai diperbaiki. Perbaikan citra buruk warok tidak hanya dilatari oleh para warok yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang menganut aliran kebatinan. Istilah warok kemudian dicarikan makna yang sesuai dengan semangat kebajikan oleh masing-masing agama dan kepercayaan yang diusung dalam tradisinya.
Dalam tradisi Islam yang dibangun oleh Batharakatong dan kemudian dilanjutkan oleh generasi Muslim berikutnya, istilah warok dimaknai dari kosakata Arab wira’i, yaitu “orang yang selalu menjaga kesucian diri melalui iman dan taqwa kepada Allah SWT”. Dan karena itu, tidak ada alasan lagi bagi siapapun yang mengaku warok untuk tidak menjunjung tinggi kearifan dan kebajikan setiap saat, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Sementara dalam tradisi aliran kepercayaan ataupun kebatinan, warok dimaknai dari kosakata Jawa “wewarah”, sebagaimana dijelaskan oleh Mbah Wo Kucing (Ki Kasni Gunopati), “Warok menika mboten sanes inggih tiyang ingkang sugih wewarah”, artinya warok itu tidak lain adalah orang yang kaya petunjuk; seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran bagi orang lain tentang hidup yang baik. “Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa”, lanjutnya; “Warok adalah orang yang sudah sempurna jalan hidupnya, dan sudah mencapai ketenangan batin; sudah tidak memiliki pamrih apapun, kecuali memberikan kemanfaatan hidup bagi hidup dan kehidupan ini”.
Upaya pengembalian dan perbaikan citra warok hingga saat ini terus diupayakan oleh masing-masing pihak. Sekat-sekat agama atau kepercayaan tidak lagi menghalangi upaya perbaikan citra buruk warok ini, justru semua komponen masyarakat sudah mulai terlihat saling bahu-membahu untuk mengembalikan citra warok tersebut. Upaya ini dalam wadah organisasi yang memayungi seni reyog Ponorogo, yakni Yayasan Reyog Ponorogo, juga terlihat getol, dengan masuknya berbagai kalangan; tokoh masyarakat, para ulama-kiai, akademisi, pengusaha, dan seterusnya, dimana kesepahaman tentang semangat pengembalian citra warok selalu menjadi payung setiap agenda kegiatan yang digelar.
Dalam perbaikan citra warok tidaklah perlu mencari kambing hitam perusak citra warok. Inilah yang tengah dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki kewenangan di bidang ini. Seperti yang dilakukan Mbah Wo Kucing dalam usianya yang sudah senja ini. Dengan arif ia katakan, bahwa “Upaya mengembalikan citra warok harus terus dilakukan dengan perlahan-lahan.” Hal ini mengingat tradisi warok dengan segala dinamikanya telah memiliki kehidupan yang cukup “mapan”.
Dalam upaya perbaikan itu, saat ini profil warok mulai diarahkan kepada nilai kepemimpinan yang positif; sebuah kepemimpinan yang mengantarkannya menjadi panutan masyarakat. Tradisi gemblak yang ikut memberikan andil di dalam pencitraan buruk, dengan sendirinya juga mengikuti alur perbaikan citra warok, hingga saat ini tradisi itu sudah benar-benar luntur. Konsekuensinya lebih jauh melebar pada perubahan personel kesenian reyog Ponorogo, terutama unsur penari jathil; yang dulu diperankan oleh gemblak diganti dengan penari dari remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanitapun.

Peran dan Fungsi Perempuan dalam Tradisi Warok
Dalam tradisi warok, kehadiran gemblak di dalam kehidupan rumah tangga warok telah berpengaruh pada peran dan fungsi perempuan (para isteri warok). Dari aspek peran yang bersifat domestik; mengurus kebutuhan rumah tangga bersama suami, telah tergantikan sebagiannya oleh gemblak. Seperti menyiapkan kebutuhan suami saat nglakoni/tirakat, menemani perjalanan suami, pelibatan dalam pengambilan keputusan kerumah-tanggaan, dan sebagainya. Seperti diungkapkan oleh Mbah Yatun; “Nggih sakjegipun wonten gemblakan niku, kulo niku minongko bojo warok mpun mboten patos dipun kanggokaken”, (Ya, mulai ada gemblak itu, saya sebagai isteri sudah tidak begitu dibutuhkan lagi).
Dalam hal peran sosial kemasyarakatan, sebagai konsekuensi dari ideologi kanuragan, perempuan atau isteri warok juga tidak memiliki peran apapun. Lawatan warok ataupun perjalanan warok dalam rangka sambang warok maupun untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, tidak lagi melibatkan isteri, melainkan gemblak yang secara penuh mendampingi sang warok. Dengan demikian, hubungan atau interaksi dengan dunia luar, tidak mungkin diperoleh oleh perempuan warok. Tentu saja hal ini menambah semakin jauhnya subordinasi dan marginalisasi perempuan warok. Paling tidak ada dua hal penting yang tidak sempat diketahui oleh perempuan warok dalam ketidakterlibatannya dalam aktifitas pasangannya di dunia luar; 1) Aktifitas sosial apa yang dilakukan warok pasangannya; dan 2) Kebijakan apa yang diambil dari aktifitas di dunia luar (kehidupan soial kemasyarakatan) itu. Hal penting pertama, berkonsekuensi tidak mungkinnya perempuan berperan serta di dalam aktifitas sosial kemasyarakatan. Sementara hal penting kedua, berkonsekuensi pada hilangnya peran perempuan sebagai pendamping warok. Dengan demikian, pada aspek ini, peminggiran kaum perempuan Ponorogo semakin menemui kesempurnaannya.
Di kalangan perempuan sendiri, peminggiran peran dan fungsi mereka sebagai isteri, tidak begitu merisaukan, atau bahkan tidak dipedulikan. Sebabnya, lagi-lagi, karena telah terbius oleh ajaran kanuragan tersebut. Bahkan penerimaan keadaan yang dialami oleh mereka, disikapi sebagai sebuah kemuliaan. “Kulo niku namung nderek menopo kersanipun tiyang jaler, lan menika pinangka wewaler ingkang kedah kulo lampahi minangka semahipun warok. Yen mboten ngaten saget-saget kula kuwalat”. Ungkap Mbah Sarmi (salah seorang isteri warok); (Saya itu hanya ikut apa yang dimaui oleh suami, dimana hal ini merupakan tuntutan ajaran yang harus saya jalani sebagai isteri seorang warok. Kalau tidak begitu, bisa-bisa saya durhaka).
Ketidaktahuan, ketaatan, penghormatan suami, yang terjadi pada perempuan warok , sebagaimana dipaparkan contohnya tersebut, lebih jauh, semakin memberikan “pengabsahan” bagi terjadinya subordinasi dan marginalisasi perempuan Ponorogo. Dan kalau sudah begitu, peminggiran kaum perempuan Ponorogo, seolah menjadi tradisi budaya yang harus dipertahankan. Predikat konco wingking bagi kalangan perempuan Ponorogo, lebih jauh, semakin memperoleh legitimasi yang sangat kokoh. Tradisi urmat garwa sebagaimana disebut-sebut di atas, akan selalu muncul dan menjadi sebuah sikap hidup perempuan yang harus dijalani. Hal ini sekaligus memberikan penegasan, bahwa kehadiran gemblak di dalam kehidupan warok, bukan satu-satunya penyebab terpinggirkannya kaum perempuan, melainkan hanya menjadi bagian dari serentetan faktor penyebab yang sebelumnya telah melembaga dalam tradisi warok Ponorogo.

Subordinasi dan Marginalisasi Kaum Perempuan
Bentuk-bentuk sub ordinasi dalam kehidupan warok, di antaranya adalah 1) Pengabaikan hak dan kewajiban perempuan, baik dalam menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik maupun peran social kemasyarakatan; dan 2) Pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan kerumahtanggaan.
Pengabaian hak dan kewajiban perempuan dalam hal pekerjaan yang bersifat domestik ini terjadi setelah beberapa pekerjaan itu diambil alih oleh gemblak, misalnya mengurus kebutuhan-kebutuhan keseharian suami; menyiapkan pakaian suami, menyiapkan kebutuhan nglakoni/tirakat, mempersiapkan perbekalan atau peralatan bepergian, dan seterusnya. Sebagaimana yang dialami Mbah Yatun (seorang isteri warok pemelihara gemblak); “Nggih sakjegipun wonten gemblak menika kula minangka bojonipun empun mboten patos dipun betahaken” (Ya, semenjak kehadiran gemblak itu, sebagai isteri saya tidak lagi dibutuhkan seperti biasanya). Sekalipun demikian, para isteri warok telah siap menghadapi semuanya dengan lapang, karena memang semuanya didasari adanya tuntutan ajaran kanuragan yang harus dilalui oleh warok. Lanjut Mbah Yatun, “Namung pancenipun sedaya menika sampun dados paugeran kagem tiyang ingkang kasebat warok; kedah kagungan gemblak kagem nyhingkiri wewaler ngelmu kebalipun, dados senahoso mboten sampurna leladi bojo nggih mboten menopo-menopo.” (Namun, memang semua itu sudah menjadi tuntutan bagi orang yang disebut warok; harus memiliki gemblak agar bisa menghindari larangan beroleh ilmu kekebalan, jadi walaupun tidak sempurna melayani suami ya ndak apa-apa).
Tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo nampaknya menjadi elemen yang tak terpisahkan dari nilai-nilai kultur Jawa, yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking; suargo nunut neroko katut. Ini menguatkan temuan Vina Alvina, tentang Ideologi Patriarki, yang dilakukannya di kalangan keluarga double income di kodya Malang (1998), dimana nilai-nilai kultur Jawa yang sangat melekat adalah bahwa perempuan merupakan konco wingking (sebagai pendamping suami dengan peran penting mengurus rumah tangga). Perbedaannya dengan yang terjadi pada keluarga warok Ponorogo adalah pada substansi peran perempuan sebagai konco wingking; jika temuan Alvina menegaskan bahwa perempuan yang memiliki peran ganda (mengurus rumah tangga dan bekerja di sektor publik) pada akhirnya tetap harus urmat (menghormati) suami dalam pengertian karena status suami sebagai orang yang dominan di dalam keluarga, sehingga posisi perempuan sekalipun memiliki tugas yang hampir sama dengan sang suami, pada akhirnya harus tetap tunduk pada apapun kemauan suami, maka wujud perilaku perempuan sebagai konco wingking dalam keluarga warok mengambil bentuk ketaatan sang perempuan untuk meng-iya-kan (setuju) apapun yang dilakukan suami, dan hal ini lagi-lagi akan menemui pendasaran yang cukup absah, yakni ideology kanuragan. Karena itu, ideology kanuragan menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mengabsahkan segala bentuk tindakan dan perilaku yang menempatkan perempuan menjadi terpinggirkan. Dominasi kelas yang kuat akan selalu muncul untuk menekan kelas yang tereksploitasi, sebagaimana teori Collins (1992), bisa dipakai untuk melihat kasus gender dalam kehidupan warok Ponorogo. Dominasi warok atas perempuan, pada kasus tradisi warok Ponorogo, bahkan melebihi teori Collins, dalam pengertian lebih dahsyat daya tekan dominasi laki-laki disebabkan beroleh dukungan dari ideologi kanuragan, yang seolah menjadi “kitab suci” bagi kehidupan warok Ponorogo.

Posisi Temuan Empirik Terhadap Teori
Ideologi familialisme yang secara umum di anut oleh masyarakat Jawa nampaknya juga terjadi pada masyarakat Ponorogo. Secara kultural ideologi ini telah membentuk kepatuhan kaum perempuan Ponorogo dalam semangat konco wingking, hanya sebatas teman kaum laki-laki yang tidak memiliki kebermaknaan dan kemanfaatan apapun dalam membangun peradaban di dunianya. Pada gilirannya, kondisi ini membentuk perilaku pasrah bagi kaum perempuan atas apapun yang dilakukan oleh kaum laki-laki (para warok), dan karena itu juga semakin memberikan kekuatan dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Teori Gramsci (1971) yang menyatakan, bahwa ideologi yang hegemonis merupakan titik klimaks dari kemampuan serangkaian ide ataupun pendapat dari kelompok yang berkuasa untuk mempengaruhi keseluruhan elemen yang ada dalam masyarakat. Ideologi yang hegemonis tersebut menciptakan suatu kepatuhan massa yang “spontan” terhadap ide dan nilai kelompok yang dominan, nampaknya sangat relevan untuk menyorot persoalan gender yang terjadi dalam tradisi warok Ponorogo.
Dominasi laki-laki atas perempuan dalam tradisi warok Ponorogo yang diambil dan memanfaatkan ideology familialisme dan telah menghasilkan pengesahan peminggiran kaum perempuan melalui filosofi konco wingking dimana produk utamanya adalah urmat garwa, akhirnya berhasil menciptakan ideologi yang hegemonis; laki-laki menguasai perempuan; warok menindas kaum perempuan. Sementara, ideologi kanuragan yang sengaja dihidupkan dan ditradisikan di dalam tradisi warok memberikan energi tambahan yang luar biasa bagi mulusnya subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo

Implikasi Temuan Bagi Pengembangan Teori
Terhadap teori ideologi familialisme, kenyataan subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan di Ponorogo berlangsung dan mengalir secara melembaga lewat kultur masyarakat Jawa pada umumnya. Dunia warok secara internal telah lama tersakralkan, salah satunya, melalui ideologi ini. Kebesaran nama dan posisi warok menjadi alat yang cukup kuat dan mapan, untuk membuat posisi atas dan dominan itu terus-menerus aman. Bahkan penjaga ideologi itu, dalam kepatuhan yang “sakral” justru diamankan oleh para kaum tertindas; sang perempuan itu sendiri, dengan perilaku manisnya; mungkin dalam etika Jawa termasuk “bekti marang garwa”, berbakti kepada suami. Konsep ideologi hegemonis Gramsci, dalam tradisi warok Ponorogo, sudah tidak lagi diperlukan pemaksaan ide untuk membuat jargon-jargon penguat misi subordinasi kaum laki-laki atas perempuan. Dunia warok yang penuh nuansa “sakral” telah cukup membius kaum tertindas untuk tidak mempersoalkan sikap dan perilaku “penindasan” pada dirinya. Pada kondisi tertentu justru bangga dengan kondisi dirinya itu, terutama, ketika banyak orang berbicara tentang status sosial pasangan warok. Penindasan yang “mapan” dan “direstui” ini, akhirnya, memperoleh mesin pengunci dengan kehadiran ideologi kanuragan. Perilaku menyimpang dengan kehadiran gemblak menambah deretan penindasan kaum perempuan Ponorogo. Teori hegemonis, pada akhirnya, dalam tradisi warok Ponorogo, bicara tentang dirinya sendiri, didukung oleh kaum yang mereka tindas, dan menemui pengunci kokohnya lewat ideologi kanuragan.

Implikasi Temuan Bagi Pembangunan Masyarakat
Berdasarkan temuan penelitian di atas, menunjukkan bahwa, subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo dalam tradisi warok Ponorogo, lahir dan besar dari logika kanuragan, yang selama ini dianggap seolah “kitab suci”. Seiring dengan proses redefinisi dan reinterpretasi warok berikut segala tradisi yang ada di dalamnya, ideologi kanuragan sudah saatnya dibincang secara terbuka dan ilmiah, mengingat saluran-saluran dialog saat ini telah begitu terbuka lebar, terutama dengan kehadiran Yayasan Reyog Ponorogo.
Karena itu, dalam rangka pemberdayaan kaum perempuan Ponorogo dalam pembangunan masyarakat, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: 1) Membentuk jaringan dengan elemen masyarakat yang berkompetens di dalam pendukungan gerakan pemberdayaan kaum perempuan, misalnya dengan MUI, akademisi, budayawan, dan seterusnya; 2) Membentuk dan menyediakan layanan informasi lengkap tentang tradisi warok yang lengkap dan transparan bagi kaum perempuan Ponorogo, agar ideologi hegemonis berikut penguncinya itu bisa ditangkap secara rasional dan proporsional; dan 3) Melakukan sosialisasi program pemberdayaan kaum perempuan secara intens dan terjadwal terhadap terutama kalangan perempuan Ponorogo secara luas.

KESIMPULAN
Tradisi warok Ponorogo muncul lebih dipicu oleh keinginan masyarakat Ponorogo menunjukkan jati dirinya. Warok , karena itu diberi makna oleh masing-masing pemilik dunianya dengan makna yang mengarah pada sosok, figur, atau pribadi utama. Di kalangan Muslim muncul makna “wirai”; “seorang yang pandai menjaga diri”, sementara di kalangan kepercayaan dan kebatinan muncul makna “wewarah”, seorang yang menjadi panutan bagi masyarakatnya, karena telah mencapai “reh kamuksan sejati”, tingkat kemanusiaan sejati.
Seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, tradisi warok juga mengalami dinamika kehidupannya sendiri. Sebagai sebuah tradisi yang dibangun dan dimiliki oleh kelompok masyarakat dengan balutan ideologi masing-masing, sangat wajar jika dalam dinamika kehidupannya itu mengalami pasang-surut; positif-negatif, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi kehidupan masyarakat yang lain.
Citra negatif dalam tradisi warok satu sisi dipicu oleh ngelmu kebal yang mereka miliki. Dengan ngelmu itu pernah terlalui suatu masa, dimana warok memanfaatkan ngelmu nya itu untuk merampok, membunuh, dan seterusnya. Dan karena itu, di dunianya sendiri, tardisi warok ini menemui kontroversi yang luar biasa, mengingat masih ada lagi satu komunitas warok yang disebut dengan warok sepuh. Yang disebut terakhir ini menggambarkan sebuah tradisi warok yang dihuni oleh kalangan orang yang sudah memiliki kepribadian yang matang; kanuragan sempurna. Di dunia warok sepuh segala bentuk kearifan sebagai wong Ponorogo lahir. Dan karena itulah pencitraan negatif terhadap tradisi warok Ponorogo perlu dicermati ulang; tidak bisa digebyah uyah (dipukul rata). Jadi bisa jadi citra buruk atau sisi gelap tradisi warok akibat dari ulah oknum warok muda yang belum matang membekali dirinya dengan kearifan dan kebijaksanaan, sebagaimana yang terjadi di dunia warok sepuh.
Disamping itu, ideologi kanuragan dalam tradisi warok Ponorogo menjadi pemicu munculnya sisi gelap tradisi warok yang lain, yakni lahirnya tradisi gemblak yang penuh warna penyimpangan seksual. Tradisi gemblak mewujud sebagai tuntutan dari ajaran ideologi kanuragan itu sendiri, terutama tentang keharusan menghindari berhubungan dengan perempuan, sekalipun isterinya sendiri. Namun demikian, ternyata gemblak dalam tradisi warok tidak selalu mengarah pada terjadinya penyimpangan seksual, sebagaimana yang dituduhkan masyarakat selama ini. Dalam tradisi gemblak ini ternyata masih ada sekelompok orang yang bisa disebut panggemblak. Mereka bukan warok tetapi memiliki gemblak layaknya warok. Tujuan mereka juga mirip sama, yakni agar bisa memiliki ilmu kekebalan sebagaimana yang dimiliki oleh warok. Dalam praktek kehidupan gemblak di dunia panggemblak inilah penyimpangan seksual murni terjadi. Gemblak diperlakukan layaknya isteri, hingga urusan bersebadan. Berbeda dengan tradisi gemblak di dunia warok; misi kompensasi kebutuhan terhadap perempuan, yang disebut “pemuas batin” tidak selamanya bermakna hubungan biologis, tetapi lebih pada suasana hati (psikologis) sang warok, dimana kehadiran gemblak disisinya menjadi obat penenang; penentram hati selama nglakoni/tirakat. Bahkan di tangan beberapa warok gemblak diperlakukan layaknya anak asuh; memperoleh bimbingan dan sekaligus pendidikan yang layak.
Tradisi warok dengan dinamika dan variasi sebagaimana dipaparkan di atas, pada akhirnya berdampak pada terjadinya subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Ponorogo. Peran dan fungsi perempuan, dengan kehadiran gemblak tersebut, mau tidak mau bergeser, berkurang, dan berpindah ke tangan gemblak, baik fungsi dan peran yang bersifat domestik maupun terlebih sosial kemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA
Alvina, Vina, 1998, “Ideologi Patriarki dalam Keluarga” Jurnal Pasca Sarjana Salam, Edisi 2 & 3/Th. II Desember 1997-Juni 1998.
Andersen, Margaret dan Patricia Hills Collins, 1992, “Race, Class and Gender, California Wadswort” Publising Company.
Berninghausen, J. dan Krestan B., 1992, “Forging New Paths; Feminist Social Methodology and Rural Women in Java” Zed Book Ltd, London.
Effendy, Bisri, 1998, “Reyog Ponorogo Kesenian Rakyat dan Sentuhan Kekuasaan” LIPI Jakarta.
Fakih, Mansoer, 1996, “Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gramsci, Antonio, 1971, “Selection from the Prison Notebooks” Laurence and Wishart, London.
Kusujiarti, Siti, 1995, “Hiden Power in Gender Relation among Indonesian; A Case Study in a Javanese Village” Newbury Page: Sage Publications.
Scholten, E. Locher dan Niehof, A., 1992, “Indonesian Women in Focus” Leiden: KITLV.
Sosrodiharjo, Soedjito, 1986, “Transformasi Sosial menuju Masyarakat Industri”, Penerbit Bayu Grafika, Yogyakarta.

(Artikel ini ditulis oleh Rido Kurnianto dan telah diterbitkan dalam Jurnal Fenomena Volume 5 Nomor 1 Januari 2008, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ponorogo)


1 komentar:

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO