Gerakan Sosial dan Teori Hegemoni

Dewasa ini, gerakan sosial (social movement) menjadi pokok bahasan yang popular bagi kalangan sosiolog di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Studi yang telah dilakukan mengenai gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam di Amerika Serikat tahun 1950an dan 1960an, serta kajian mengenai berbagai gerakan, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960an dan 1970an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada tahun 1970an dan 1980an,
kesemuanya membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial (Mansour Fakih: 2004).
Beberapa gerakan sosial yang sering dipilih untuk dijadikan bahan studi atau kajian antara lain Gerakan Perjuangan Etnis atau Nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni Soviet, Gerakan Anti Aparheid di Afrika Selatan dan Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.
Khusus untuk gerakan sosial yang ada di Negara Dunia Ketiga, seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh Negara, melalui apa yang disebut sebagai Pembangunan (Development). Pembangunan seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dan hal tersebut merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario Modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu Negara Dunia Ketiga.Menurut pendapat Bonner (Mansour Fakih: 2004), dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah “Pembangunan”. Studi tersebut bermasud untuk mencari alternatif terhadap gagasan “Pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi suatu “Agama Sekuler Baru” bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagi satu-satunya tujuan bagi pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima oleh kalangan birokrat, akademisi maupun aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat tanpa mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata mengenai soal metodologi, pendekatan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi secara teoristis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan adalah apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan dari pada memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga.
Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.
Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahanlan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.Teori konflik berakar dari paham Marxisme tradisional yang menyatakan bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik. Generasi Marxisme baru (dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci: 1891 – 1937) menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, serta menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme tradisional. Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh.
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner atau bukan lagi titik fokal dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial. Disamping itu Gramsci juga mengemukakan teorinya tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner.

2 komentar:

  1. matinya gerakan sosial bukan disebabkan karean tidak adanya aktor penggerak tetapi sikap apatis yang terlalu mendalam akibat trauma masa lalu

    BalasHapus
  2. namun yang perlu diingat adalah adanya sikap apatis yang mendalam akibat trauma masa lalu juga dapat rekayasa oleh kepentingan besar yang dapat menghegomoni masyarakat secara luas, ingat kasus keluarga yang dicap masuk dalam komunis pada orde baru, tidak bisa berbuat apa apa dan sulit mencari pekerjaan bahkan sampai tujuh turunan, dan pada saat itu kebijakan tersebut diamini oleh masyarakat luas karena adanya trauma peristiwa masa lalu

    BalasHapus

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO