Abstrak : Pluralitas sikap politik warga Muhammadiyah Ponorogo pada Pilkada tahun 2005 adalah fenomena yang menarik mengingat hal ini tidak terjadi pada Pilpres I tahun 2004 karena hampir seluruh warga dan simpatisan organisasi ini memberikan dukungan penuh kepada pasangan Capres Amien-Siswono. Penelitian ini bertujuan mencari penjelasan tentang pluralitas sikap politik warga Muhammadiyah dalam Pilkada 2005 dan mengetahui orientasi-orientasi yang dijadikan pegangan oleh para kader atau elit Muhammadiyah yang menjadi bagian dari tim sukses. Informan dalam penelitian ini adalah anggota biasa dan elit atau pengurus dari organisasi Muhammadiyah yang tersebar di beberapa kecamatan. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pluralitas sikap politik warga Muhammadiyah terjadi sebagai akibat dari respon mereka atas ketokohan para calon Bupati dan sikap paternelistik warag terhadap elit Muhammadiyah serta terjadi adanya orientasi ganda elit yang menjadi bagian dari tim sukses para Cabup.
Kata Kunci : Pilkada, Pluralitas, Muhammadiyah
PENDAHULUAN
Pilkada tahun 2005 adalah Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung)yang pertama terjadi di Ponorogo, bersamaan dengan Pilkadal di hampir 200 Kota dan Kabupaten serta Propinsi di Indonesia pada tahun yang sama. Pilkadal di Ponorogo terjadi pada tanggal 1 September 2005, tentu masih menyisakan ha-hal yang menarik untuk dikaji menurut konsep politik yang sedang berkembang.
Meskipun jumlah warga Muhammadiyah beserta simpatisannya di Ponorogo tidaklah besar secara kuantitas, namun secara kualitas dan soliditas mereka tidak bisa diragukan. Penilaian yang demikian tidak hanya dari kalangan dalam sendiri tetapi juga dari luar organisasi. Adanya penilaian yang demikian itulah menjadikan “pihak luar” tertarik untuk menggandeng Muhammadiyah secara formal maupun non formal dalam percaturan politik lokal di Ponorogo. Sekalipun Muhammadiyah adalah sebuah Interest Group, menurut pemahaman Gabriel Almond (Mas’oed: 1984; 16) merupakan organisasi yang tidak berkehendak berebut kekuasaan publik secara langsung dalam peristiwa politik, seperti Pemilu, tetapi para elitnya tidak bisa berdiam diri dalam percaturan politik setelah melakukan interpretasi terhadap situasi. Dalam Pilkadal tahun 2005 tersebut setidaknya tedapat dua kader Muhammadiyah telah dinyatakan sebagai Cawabup sementara kader-kader yang lain bersebaran di tempat tim sukses dari lima pasangan Cabup-cawabup.
Kata Kunci : Pilkada, Pluralitas, Muhammadiyah
PENDAHULUAN
Pilkada tahun 2005 adalah Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung)yang pertama terjadi di Ponorogo, bersamaan dengan Pilkadal di hampir 200 Kota dan Kabupaten serta Propinsi di Indonesia pada tahun yang sama. Pilkadal di Ponorogo terjadi pada tanggal 1 September 2005, tentu masih menyisakan ha-hal yang menarik untuk dikaji menurut konsep politik yang sedang berkembang.
Meskipun jumlah warga Muhammadiyah beserta simpatisannya di Ponorogo tidaklah besar secara kuantitas, namun secara kualitas dan soliditas mereka tidak bisa diragukan. Penilaian yang demikian tidak hanya dari kalangan dalam sendiri tetapi juga dari luar organisasi. Adanya penilaian yang demikian itulah menjadikan “pihak luar” tertarik untuk menggandeng Muhammadiyah secara formal maupun non formal dalam percaturan politik lokal di Ponorogo. Sekalipun Muhammadiyah adalah sebuah Interest Group, menurut pemahaman Gabriel Almond (Mas’oed: 1984; 16) merupakan organisasi yang tidak berkehendak berebut kekuasaan publik secara langsung dalam peristiwa politik, seperti Pemilu, tetapi para elitnya tidak bisa berdiam diri dalam percaturan politik setelah melakukan interpretasi terhadap situasi. Dalam Pilkadal tahun 2005 tersebut setidaknya tedapat dua kader Muhammadiyah telah dinyatakan sebagai Cawabup sementara kader-kader yang lain bersebaran di tempat tim sukses dari lima pasangan Cabup-cawabup.
Fenomena ini berbeda dengan fenomena politik saat Pilpres I dimana hampir semua kader, warga dan simpatisan Muhammadiyah solid dengan lebih dari 60.000 suara memberi dukungan kepada Prof. Dr. Amien Rais sebagai calon Presiden RI pada tahun 2004. Sementara itu pada Pilkadal tahun 2005 warga Muhammadiyah menunjukkan adanya perpecahan suara. Perbedaan soliditas warga Muhammadiyah tersebut tentu menarik untuk dicermati dan diteliti mengingat selama ini komunitas ini dikenal sebagai komunitas yang mempunyai sikap politik yang solid. Euphoria politik elit Muhammadiyah ikut mewarnai jalannya Pilkadal tahun 2005 tersebut. Respon terhadap tawaran salah satu parpol untuk menggandeng para kader persyarikatan dan masuknya beberapa elit Muhammadiyah dalam barisan tim sukses beberapa pasangan Cabup-Cawabup membuktikan adanya euphoria tersebut. Keberpihakan massa pada kader tertentu yang sedang menjadi Cawabup atau para kader yang sedang menjadi bagian dari tim sukses menjadikan suara Muhammadiyah tidak solid dalam Pilkadal tahun 2005 tersebut.
“Perpecahan” ini tentu menjadi pertanyaan bagi semua pihak baik dari “dalam” maupun dari “luar”. Mengingat hal seperti ini tidak terjadi dalam Pemilihan Presiden I tahun 2004 yang lalu. Pluralitas diartikan sebagai sebuah sikap yang manifest yang tidak ada hubungannya denga hal-hal tertentu yang bersipat idiologis. Pluralitas sikap politik diartikan oleh peneliti sebagai keragaman tindakan politik yang dilakukan oleh seseorang dalam komunitas tertentu sebagai akibat dari keyakinan politik tertentu diantaranya adalah menghormati adanya perbedaan pandangan dan sikap politik orang lain dalam komunitas itu.
Jurgen Habernas, dalam Piliang (2004), menjelaskan bahwa tindak rasional adalah sebagai tindak bertujuan. Piliang berpendapat bahwa rasionalitas politik berkaitan dengan pilihan-pilihan tindakan dan keputusan yang diambil dalam rangka mencapai sebuah tujuan politik tertentu. Tindakan rasional dalam sikap politik seseorang diambil dengan mempertimbangkan segala resiko yang akan diterima karena sudah bertentangan dengan main stream dan semangat kolektifitas.
Jurgen Habernas, dalam Piliang (2007), membedakan dua jenis rasionalitas. Pertama, rasionalisasi dari bawah, yaitu rasionalisasi yang berkembang secara alamiah di kalangan masyarakat, akar rumput, tanpa ada komando dari atas. Kedua, rasionalisasi dari atas, yaitu rasionalisasi yang dikendalikan atau direkayasa dari atas oleh kelompok-kelompok elit dalam konteks politik massa. Piliang selanjutnya membedakan rasionalisasi politik menjadi dua : Pertama, berdasarkan pada pikiran praktis bahwa tujuan pergantian pimpinan untuk mencapai sebuah kondisi pragmatis kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran umum. Hal ini oleh Piliang dinamakan sebagai praktical rationality. Kedua, untuk yang ini ia menyebut dengan substantice rationality berdasarkan pada pikiran substantif bahwa tujuan pergantian kepemimpinan adalah cara menciptakan perubahan substansial seperti pemerintahan yang bersih, penegakan hukum dan sebagainya. Affan Gafar (2002; 96) menganggap bahwa pendekatan secara cultural masih relevan dalam memahami politik Indonesia secara kotemporer. Selanjutnya ia
menambahkan bahwa pola pembentukan dukungan dan mobilisasi politik pada masa Pemilihan Umum, akan sangat tepat dengan menggunakan pendekatan cultural ketimbang secara struktural.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya warga Muhammadiyah Ponorogo juga menunjukkan budaya politik yang kurang lebih sama, yaitu budaya politik yang paternalistic, yaitu sebuah sikap politik yang menganggap bahwa seseorang tertentu mempunyai informasi yang lebih dibandingkan dengan warga yang lain. Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki para elit itu pulalah yang menjadikan warga mengikuti langkah politik yang diambil para elit Muhammadiyah dalam Pilkada tahun 2005. Pluralitas atau kemajemukan sikap politik elit Muhammadiyah telah menjadi referensi utama warga dalam menentukan pilihan untuk mendukung para Cabup-Cawabup tersebut. Kedekatan seseorang pada elit yang kebetulan menjadi bagian dari tim sukses mempunyai kontribusi yang besar terhadap pluralitas sikap politik warga Muhammadiyah Ponorogo tersebut.
METODE PENELITIAN
Penggalian data dalam penelitian ini banyak dilakukan di Kecamatan Kota, Jenangan, Babadan, dan Siman mengingat di empat kecamatan inilah warga Muhammadiyah banyak berdomisili. Dengan latar belakang profesi yang bervariasi, yaitu : PNS, swasta, pegawai amal usaha, wiraswasta dan petani. Peneliti berharap akan mendapatkan informasi yang beragam karena mereka mempunyai latar belakang lingkungan kerja yang berbeda-beda.
Pada saat pengumpulan data dengan teknik wawancara, peneliti dibantu dua orang yang sebelumnya telah peneliti bekali dengan konsep-konsep penggalian data yang efektif dan akurat. Terhadap beberapa key informan yang rata-rata adalah elit Muhammadiyah peneliti harus menggunakan metode unguided interview dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi mengingat posisi mereka yang tinggi dalam kepengurusan Muhammadiyah maupun dalam tim sukses. Dalam wawancara dengan para key informan seperti ini peneliti biasanya melakukan sendiri tanpa meminta bantuan pada tenaga pembantu. Bahkan peneliti tidak melakukan secara formal. Peneliti lebih sering melakukan secara informal dan tidak terang-terangan dengan gaya bahasa yang berseloroh namun tetap hati-hati. Dalam hal ini lebih banyak dengan metode interpretative understanding.
Disini yang dimaksud dengan unguided interview, menurut Arikunto (1992;127) dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja tetapi juga mengingat data yang telah dikumpulkan. Dalam penggalian data ini peneliti tidak menunjukkan catatan daftar pertanyaan karena khawatir akan mempengaruhi informasi. Penentuan siapa yang bisa menjadikan informan adalah hal yang paling tidk mudah dalam penelitian ini.
Selain dengan metode wawancara peneliti juga menggunakan metode dokumentasi dalam mengumpulkan data-data dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Ponorogo. Dalam hal ini peneliti memanfaatkan dokumen hasil Pemilihan Umum Pilpres I Tahun 2004 dan Pilkada Tahun 2005. Data yang diperoleh dengan wawancara adalah data primer yang dianalisis, sementara data yang diperoleh dengan dokumentasi merupakan data sekunder yang melengkapi analisis.
Sekalipun pada penelitian ini terdapat cukup banyak data dalam bentuk angka namun penelitian ini tidak menjadikan angka sebagai data utama yang dianalisis sebaliknya peneliti lebih mengandalkan pada data berupa statemen dari informan yang merepresentasikan pandangan dan pendapat mereka tentang para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada di Ponorogo tahun 2005 tersebut. Data yang terkumpul direduksi sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pembahasan. Data yang sudah terhimpun dianalisis secara kualitatif. Mengingat topik penelitian ini cukup sensitif maka peneliti harus sangat berhati-hati dalam melakukan analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ponorogo sekalipun kota kabupaten ternyata keberadaannya dalam peta Muhammadiyah secara nasional tidak bisa dianggap remeh. Keberadaan kota ini sangat diperhitungkan tidak hanya di Jawa Timur bagian Barat, bahkan di Propinsi Jawa Timur. Kota ini tidak hanya memiliki begitu banyak anggota simpatisan serta amal usaha tetapi juga tercatat dalam sejarah politik Muhammadiyah secara nasional. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada tanggal 1969 di Ponorogo yang menegaskan bahwa “…Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun…”.
Ponorogo patut di catat dalam sejarah karena Khittah tahun 1969 inilah yang akhirnya menjadikan warga Muhammadiyah “alergi” terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan politik. Sebaliknya warga Muhammadiyah yang masih berminat terhadap politik harus mencari kendaraan politik lain seperti PPP, Golkar, bahkan PDI sekalipun. Peristiwa di atas diangap sebagai titik awal warga Muhammadiyah tidak mampu memainkan peran signifikan dalam percaturan politik nasional (Jurdi: 2005; 152).
Jurdi selanjutnya menegaskan bahwa pilihan sikap semacam ini sebagai akibat dari kuatnya doktrin sosial yang tercermin dengan orientasi perjuangan yang menekankan pada amal usaha sosial dengan keagamaan serta penyadaran umat jauh diutamakan. Ponorogo sebagai kota Muhammadiyah tidak hanya bisa ditunjukkan secara historis-politik tetapi dengan melihat amal usaha yang dimiliki sebagai berikut : Rumah Sakit Umum 2 buah, Balai Kesehatan Ibu dan Anak 2 buah, Panti Asuhan 5 buah, BPR 1 buah dan 5 cabang, Minimarket 1 buah dan 6 cabang, Toko Besi 1 buah, Air Minum Isi Ulang 2 buah, Perguruan Tinggi 1 buah, SMA 3 buah, SMK 4 buah, MA 6 buah, SMP 7 buah, MTS 10 buah dan SD 2 buah. Ini belum termasuk puluhan TK yang dikelola oleh Aisiyah, organisasi perempuan di bawah afiliasi Muhammadiyah.
Pilkadal Ponorogo dilaksanakan pada tahun 2005. KPUD Kabupaten Ponorogo menetapkan 5 (lima) pasangan bakal calon Bupati sebagai peserta Pilkadal sebagaimana : 1) Drs. Supriyanto – H. Handoko (PDIP); 2) H. Muhadi Sujono, SH.M.Si – Amin (PKB); 3) HMZ. Yuli Nursanto – dr. H. Ahmad Sunarno (Partai Demokrat); 4) Drs. Asmuni – Drs. H. Susilo Hadi Suprapto M.Si (Partai Golkar); dan 5) Drs. H. M. Supadjar M.Si – Muryanto SH.MM (Aliansi Partai Kecil) (KPUD Ponorogo).
Pada Pilkada ini terdapat 2 (dua) warga Muhammadyah yang masuk bursa pencalonan, yaitu H. Handoko Sudrisman yang mencalonkan diri sebagai calon Wakil Bupati berpasangan dengan Supriyanto berangkat dari PDIP, serta Susilo Hadi Suprapto yang dicalonkan sebagai Wakil Bupati berpasangan dengan Asmuni berangkat dari Partai Golkar. Handoko adalah pengurus di tingkat Pimpinan Daerah, sementara itu Susilo Hadi Suprapto merupakan pengurus Perserikatan di tingkat ranting. Yang menarik dari fenomena politik tersebut adalah bahwa majunya Handoko sebagai calon Wakil Bupati mendapat restu dan dukungan dari Pimpinan Daerah Muhammadyah Ponorogo. Berikut ini gambaran hasil Pilkadal Tahun 2005 sebagai berikut : 1) Drs. Supriyanto – H. Handoko (149.301); 2) H. Muhadi Sujono, SH.M.Si – Amin (222.647); 3) HMZ. Yuli Nursanto – dr. H. Ahmad Sunarno (27.818); 4) Drs. Asmuni – Drs. H. Susilo Hadi Suprapto M.Si (22.127); dan 5) Drs. H. M. Supadjar M.Si – Muryanto SH.MM (64.892) (KPUD Ponorogo).
Sementara itu Supajar adalah mantan Sekda Kabupaten Nganjuk berpasangan dengan Muryanto, mantan Wakil Bupati Ponorogo periode pemerintahan Bupati Markum Singodimedjo. Asmuni adalah ketua DPD Partai Golkar. Yuli Nursanto adalah satu-satunya calon yang berangkat yang tidak ada hubungannya dengan politik, yaitu sebagai pengusaha Pengerah Tenaga Kerja.
Sebagaimana daerah lain maka Ponorogo juga merasakan riak politik yang berskala Nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa Pilpres I yang diadakan pada tahun 2004 juga merangsang kegairahan politik warga Muhammadyah di Ponorogo. Dinamika dan antusiasme warga Muhammadyah Ponorogo nampak memberikan dukungan pada putra Muhammadyah, yaitu Prof. DR. H. Amin Rais MA yang berpasangan dengan DR. H. Siswono Yudo Husodo mencalonkan diri sebagai calon Presiden R I.
Berikut ini gambaran hasil Pemilihan Presiden I di Ponorogo adalah sebagai berikut : 1) Wiranto – Sulahudin Wahid (82.551); 2) Megawati Soekarno Putri – Hasyim Muzadi (113.268); 3) Amin Rais -Siswono Yudo Husodo (66.367); 4) Susilo Bambang Yudo– M. Yusuf Kalla (248.450); dan 5) Hamzah Haz - Agum Gumelar (7.717) (KPUD Ponorogo).
Pemilu Legislatif yang diadakan pada tahun 2004 adalah Pemilihan Umum paling awal dalam rangkaian Pemilu Nasional pada Tahun 2004. Hasil Pemilu pada Tahun 2004 tersebut Muhammadyah berhasil menempatkan 10 (sepuluh) warganya dikursi DPRD Ponorogo.
Muhammadiyah melalui warganya di kursi DPRD tidak mudah untuk memberikan warna mengingat warga persyarikatan yang ada di DPRD Kabupaten Ponorogo berdiri di bawah bendera partai yang berbeda-beda. Suatu saat mereka akan dihadapkan pada garis partai masing-masing yang memungkinkan mereka untuk saling berhadapan satu sama lain apalagi mereka berada pada fraksi yang berbeda pula. Dengan demikian mereka akan sulit mengakomodasi kepentingan persyarikatan secara bersama-sama.
Mengingat jumlah anggota DPRD keseluruhan adalah 45 orang maka 10 orang anggota tidak mudah untuk mendominasi pemikiran dan kebijakan DPRD. Berikut ini ditampilkan formasi anggota DPRD dari masing-masing parpol : Golkar (12), PDIP (12), PAN (4), PKB (8), PKS (1), P. Demokrat (6), dan PPP (2) (Sekretaris DPRD Ponorogo).
Secara umum sikap warga Muhammadyah Ponorogo pada Pilkadal Tahun 2005 terbagi dalam 3 (tiga) kelompok. Hal ini mengingat para elit Muhammadyah juga terbagi dalam 3 (tiga) kelompok yang juga merupakan bagian dari tim sukses dari 3 Bacabub, yaitu pendukung pasangan Supriyanto – Handoko, Asmuni – Susilo, dan Supajar – Muryanto. Setiap elit atau pengurus dan warga Muhammadyah mempunyai alasan tersendiri terhadap pilihannya tersebut. Warga Muhammadyah yang mendukung pasangan Supriyanto – Handoko beralasan bahwa pasangan inilah yang direstui dan didukung oleh Pimpinan Daerah Muhammadyah Ponorogo. Sementara itu yang mendukung pasangan Supajar-Muryanto mempunyai alasan bahwa pasangan ini lebih punya kemampuan dan pengalaman. Adapun yang mendukung pasangan Asmuni-Susilo lebih didasarkan pada garis partai.
Perlu diketahui bahwa seluruh elit dan warga Muhammadiyah ditunjuk sebagai informan dalam penelitian ini mengatakan memilih pasangan Amien Rais-Siswono dalam Pilpres I tahun 2004. Nampaknya pandangan warga Muhammadiyah tentang pasangan Amien-Siswono adalah relatif sama. Mereka melihat pasangan ini sebagai pasangan yang jujur, mampu dan bisa dipercaya. Jawaban dari para informan di atas baik tentang calon pasangan dalam Pilkada tahun 2005 maupun Pilpres I tahun 2004 mewakili varia jawaban seluruh warga Muhammadiyah Ponorogo.
Hasil Pilkada yang menempatkan “Orang NU” sebagai pemenang dan menempatkan “Orang Muhammadiyah” sebagai urutan kedua perolehan suaranya akhirnya seperti mengukuhkan dan merepresentasikan rivalitas NU-Muhammadiyah pada panggung politik lokal.
Dari hasil Pemilihan Presiden I tahun 2004 dan Pilkada tahun 2005 diketahui bahwa tidak mudah untuk membaca peta politik di Ponorogo. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan hasil dari dua agenda Pemilihan Umum tersebut. Bila Pilkada tahun 2005 dipahami sebagai koalisi PDIP dengan Muhammadiyah karena didukung oleh sebagaian besar pengurus dan elit Muhammadiyah, maka hasil suara yang diperoleh adalah jumlah antar hasil Pilpres I, yaitu Megawati memperoleh 113.268 suara dan 66.367 pemilih Amien Rais, dengan total hasil kedua Capres 179.635 suara. Sementara itu hasil Pilkada menunjukkan bahwa pasangan Supriyanto-Handoko memperoleh dukungan 113.268 suara yang berarti tidak bisa mencapai target suara pada saat Pilpres I. Sementara itu suara terbanyak diperoleh pasangan Muhadi-Amin yang berangkat dari Partai PKB dengan mendapatkan dukungan 222.647 suara. Dari suara yang dihimpun menunjukkan bahwa terdapat hampir 60.000 suara hilang dari koalisi PDIP-Muhammadiyah. Hal ini sangat dimungkinkan karena keberhasilan seseorang dalam memperoleh kursi kekuasaan dalam pemilihan sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu figuritas calon, jaringan kerja tim sukses, dan pendanaan.
Menarik untuk diungkapkan bahwa “pemberangkatan“ Handoko menjadi Calon Wakil Bupati Ponorogo dalam Pilkada tahun 2005 tidak “menggandeng“ PAN secara kelembagaan. Hal ini menjadi fenomena politik lokal di Ponorogo yang cukup menarik karena bagaimanapun sebagaian besar elit PAN adalah warga Muhammadiyah. Fenomena politik ini menunjukkan bahwa telah terjadi “perpecahan” pada elit Muhammadiyah Ponorogo. Hal ini nampaknya masih ada hubungannya dengan sejarah lama bahwa Suparno, SH (Ketua DPD PAN) pernah melakukan “kudeta” terhadap Handoko dalam kepengurusan DPD PAN pada tahun 1999. Statement para informan menunjukkan bahwa pandangan mereka tentang Calon Bupati yang mereka pilih berbeda-beda. Sebagaian warga lebih memilih didasarkan pada kemampuan figur, sebagian lagi didasarkan pada pemikiran PDM dan sebagian lagi karena garis partai di mana mereka mempunyai aktifitas. Pandangan para elit atau pengurus Muhammadiyah ini mempunyai konsekuensi pada tingkat grass root. Pada akhirnya pluralitas tidak hanya terjadi pada tingkat elit tetapi juga pada tingkat warga. Sementara itu Tim Sukses dari kedua belah pihak, yaitu PDIP dan Muhammadiyah, tidak bisa memaksimalkan hasil karena masing-masing tim sukses sudah mempunyai beban “pengorganisasian”. Supriyanto tidak bisa memaksimalkan kinerja PDIP karena partai ini sudah mengalami perpecahan. Perlu disampaikan disini bahwa pada tubuh PDIP telah terjadi perpecahan internal antara yang mendukung Supriyanto dengan yang mendukung Muryanto. Situasi ini berlanjut sampai berlangsung Pilkada dimana Muryanto berangkat sendiri berpasangan dengan M.Supajar dari Aliansi partai kecil.
Situasi di atas juga dialami oleh Tim Sukses Handoko karena dari awal tim ini tidak “komunikasi” dengan PAN (Partai Amanat Nasional) dengan demikian tim sukses ini berjalan dengan kaki sebelah. Hal ini berbeda dengan kasus yang dialami oleh Amien Rais ketika akan mencalonkan diri Calon Presiden dalam Pilpres I tahun 2004. PAN yang beraliansi dengan partai-partai kecil memberangkatkan Amien Rais untuk mencalonkan diri sementara PP Muhammadiyah melalui Dien Syamsudin merestui (Jurdi: 2003; 153) walaupun peristiwa ini cukup mengagetkan warga Muhammadiyah karena tradisi dukung-mendukung untuk suatu jabatan politik tidak biasa.
Terhadap pluralitas warga Muhammadiyah sendiri Nasir (2000; 11) menyatakan pendapatnya bahwa dalam kehidupan Muhammadiyah tampaknya tidak mudah untuk digeneralisasikan karena terdapat sejumlah lingkungan lokal yang menunjukkan keragaman konfigurasi elit di tubuh organisasi ini.
Dari data yang berhasil digali dari warga Muhammadiyah maka bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Warga memilih pasangan Bupati dan Wakil Bupati berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kepentingan Muhammadiyah; dan 2) Kelompok ini memilih Bupati-Wakil Bupati karena pertimbangan kemampuan pasangan dan pertimbangan kepentingan yang lebih luas. Kelompok pertama banyak memilih pasangan Supriyanto-Handoko yang didukung PDM (Pimipinan Daerah Muhammadiyah) dan kelompok kedua banyak memilih pasangan Supajar-Muryanto.
Jurgen Habermas (2004) membedakan dua jenis rasionalisasi. Pertama, rasionalisasi dari bawah (from below), yaitu rasionalisasi yang berkembang secara alamiah di kalangan masyarakat akar rumput tanpa ada komando dari atas. Kedua, rasionalisasi dari atas (from above) yaitu rasionalisasi yang dikendalikan atau direkayasa dari atas. Fenomena pluralitas politik warga Muhammadiyah menunjukkan bahwa para pemilih Supriyanto-Handoko mendekati pengertian kedua dari Habermas, yaitu rasionalisasi dari atas (from above) dan mempunyai orientasi politik sebagai pragmatis (panggilan jiwa, berdasarkan nurani) menurut terminologi Pailing (2004). Sementara itu pemilih Supajar-Muryanto lebih dekat dengan kelompok pertama menurut Habermas, yaitu rasionalisasi dari bawah (from below) dan mempunyai orientasi politik substrative (panggilan jiwa, berdasarkan tanggung jawab).
Konsep pluralitas untuk memahami perilaku politik warga Muhammadiyah dalam Pilkada tahun 2005 untuk memilih calon Bupati-Wakil Bupati Ponorogo ternyata tidak bisa digunakan untuk menganalis fenomena perilaku politik warga Muhammadiyah Ponorogo dalam Pilpres I karena hampir semua warga persyarikatan di kota ini mendukung pasangan Capres Amien Rais – Siswono Y. Husodo. Semua warga mempunyai persepsi dan pemakaian yang sama tentang kemampuan, mobilitas pasangan ini disatu sisi. Disisi lain pasangan ini dianggap akan menguatkan eksistensi persyarikatan di Indonesia.
Secara umum elit Muhammadiyah yang menjadi tim sukses mempunyai orientasi yang tidak jauh berbeda dengan orientasi warga atau elit yang tidak menjadi bagian dari tim sukses pasangan calon Bupati dalam Pilkada tahun 2005. Yang sedikit membedakan adalah hampir setiap anggota tim inti (core team) mempunyai rasionalitas politik ganda. Di satu sisi mereka mempunyai rasionalitas substantive, yaitu berpegang pada kepentingan yang bersifat luas dan adiluhung seperti realisasi program pembangunan yang berpihak pada kepentingan rakyat luas. Pada saat yang sama para anggota Tim Sukses juga mempunyai rasionalitas pragmatis seperti berharap mendapatkan “imbalan” ketika pasangan yang didukung bisa memenangkan kompetisi dalam Pilkada tersebut.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas bisa ditarik kesimpulan : Pertama, Pluralitas sikap politik warga Muhammadiyah Ponorogo dalam Pilkadal tahun 2004 tidak bisa dihindari. Pluralitas sikap politik tidak hanya terjadi pada elit atau pengurus Muhammadiyah tetapi juga terjadi pada warga biasa sehingga pasangan Calon Bupati yang direstui atau didukung oleh PDM (Pimpinan Derah Muhammadiyah) Ponorogo tidak bisa mendapatkan suara maksimal sehingga tidak bisa memenangkan kompetisi politik tersebut.
Kedua, Sebagaimana tim sukses-tim sukses lain maka tim sukses warga Muhammadiyah yang menjadi tim sukses pada pasangan calon Bupati yang didukung oleh PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Ponorogo maupun warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dari tim sukses pasangan Calon Bupati lain juga mempunyai orientasi ganda. Disisi lain mereka juga menerapkan rasionalitas pragmatis dengan harapan ingin mendapatkan “kompensasi” tertentu dari para Calon Bupati yang diantarkan ketika memenangkan pertarungan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arihanto, Sukarsim, 1992, ”Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek”, Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta.
Duverger, Maurice, 1993, ”Sosiologi Politik”, Penerbit PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Gaffar, Afan, 2002, ”Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi”, Penerbit Pustaka Belajar, Yogyakarta.
Jurdi, Syarifuddin, 2005, ”Negara Muhammadiyah Mendekap Politik dengan Perhitungan”, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Nasir, Haedar, 2000, ”Perilaku Politik Elit Muhammadiyah”, Penerbit Tarawang, Yogyakarta.
Nottingham, Elizabeth K., 1996, ”Agama Dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama”, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta .
Piliang, Yasref Amir, 2004, ”Dua Rasionalitas Politik”, Kompas, 25 April 2004.
Mas’oed, Mochtar, 1984, ”Perbandingan Sistem Politik”, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Artikel ini ditulis oleh Jusuf Harsono dan telah diterbitkan dalam Jurnal Fenomena Volume 6 Nomor 1 Januari 2009, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammaidyah Ponorogo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar