MOBILITAS SOSIAL TENAGA KERJA INDONESIA ASAL KOTA PONOROGO

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mobilitas sosial yang telah dilakukan para TKI. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo, dengan jumlah informan penelitian sebanyak 24 informan yang berasal dari beberapa kecamatan yang dianggap sebagai daerah kantong TKI di Ponorogo. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara langsung yang dipandu dengan angket terbuka dan metode observasi. Teknik analisis data berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa untuk mencapai status sosial ekonomi (mobilitas ekonomik) yang lebih baik, para TKI asal Kota Ponorogo telah berani mengambil resiko untuk bekerja di luar negeri (mobilitas horisontal) dalam kurun waktu yang relatif lama. Kesediaan bekerja di luar negeri selain selain adanya daya tarik gaji yang besar, juga adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan keluarga dan ditujukan untuk mencari modal usaha.

Kata Kunci : Mobilitas Sosial, Tenaga Kerja Indonesia

PENDAHULUAN
Krisis moneter pada tahun 1997, yang semula hanya menjangkau bidang ekonomi akhirnya merambah semua aspek kehidupan, seperti politik, pendidikan dan ketenagakerjaan. Ambruknya perusahaan-perusahaan telah mengakibatkan banyak pengangguran. Tragedi ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini telah mendorong sebagian para pencari kerja untuk mengadu nasib dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya kebijakan floating exchange rate di bidang moneter pada situasi ekonomi yang sangat rawan di tahun 1997 ikut merangsang terjadinya perbedaan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing yang sangat besar (Revrisond Baswir; 2003). Perbedaan kurs mata uang rupiah dengan mata uang asing tersebut telah menarik mereka untuk mencari uang di luar negeri, baik di negara-negara Timur Tengah maupun negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Hongkong, Malaysia dan lain-lain.

Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Terkait dengan bidang ketenagakerjaan tersebut di atas, salah satu fenomena sosial yang terjadi di Kota Ponorogo dan sangat menarik untuk diamati adalah adanya mobilitas sosial yang dialami oleh TKI asal Kota Ponorogo. Menurut pendapat Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985) mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mobilitas sosial horisontal dan mobilitas sosial vertikal. Mobilitas sosial horisontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnnya yang sederajat. Dengan adanya mobilitas sosial yang horisontal tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu obyek sosial. Sementara itu yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang derajatnya lebih tinggi.
Konsep tersebut lebih memudahkan dalam memahami perubahan struktur sosial ekonomi para TKI dan keluarganya, mengingat sebagian besar dari mereka mengalami perubahan status sosial ekonomi mereka. Rata-rata mereka mempunyai gaya hidup yang cukup konsumtif. Di satu sisi, gaya hidup konsumtif tersebut menimbulkan dampak positif bagi roda perekonomian di Kota Ponorogo secara luas, tetapi di sisi lain mempunyai dampak negatif bagi para TKI dan keluarganya tersebut. Adanya perubahan struktur sosial ekonomi tersebut, bukan berarti harus mengabaikan konsep mobilitas horisontal. Dalam realita di lapangan banyak dijumpai bahwa seseorang sebelum mengalami perubahan struktur sosial ekonomi sering harus berpindah tempat ke daerah lain, yang jauh dari daerah asalnya, untuk mendapatkan peluang perubahan kondisi ekonomi yang lebih baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berusaha mendapatkan data dari beberapa wilayah kecamatan yang dianggap daerah kantong TKI di Ponorogo, yaitu Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun dan Jetis. Dalam menentukan informan penelitian menggunakan Teknik Bola Salju (Snow Ball) dan jumlah informan yang berhasil diperoleh sebanyak dua puluh empat informan. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara yang dipandu dengan angket secara terbuka. Dengan metode ini diharapkan agar informan mendapatkan keleluasaan untuk menjawab dan menceritakan pengalamannya secara menyeluruh. Seperti yang disampaikan Suharsimi Arikunto (2002: 125) bahwa dengan metode angket terbuka, informan mempunyai kebebasan untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, metode ini sangat membantu peneliti dalam pengumpulan data di lapangan karena bisa dijalankan dengan sangat luwes. Selain menggunakan metode wawancara tersebut pengumpulan data juga dilakukan dengan metode observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan sehingga mempunyai gambaran yang jelas tentang kondisi para informan yang sesungguhnya.
Mengacu pada pendekatan kualitatif, teknik analisis data pada dasarnya berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Induksi merupakan tahap awal dalam pengumpulan dan penyajian data yang diperoleh dari lapangan. Data dikumpulkan dan dianalisis setiap meninggalkan lapangan. Interpretasi Data merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk mengurai informasi atau data yang disampaikan oleh informan termasuk makna yang tersembunyi dibalik informasi atau data tersebut. Konseptualisasi merupakan upaya yang dilakukan peneliti bersama dengan para informan dalam memberikan pernyataan tentang yang sebenarnya dialami oleh para informan termasuk terhadap makna tersembunyi dibalik informasi atau data yang disampaikan oleh para informan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo (2007), jumlah TKI asal Ponorogo yang telah berangkat bekerja di luar negeri dan terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo pada tahun 2005 adalah sebanyak 3.040 orang dan pada tahun 2006 telah terjadi penurunan sebesar 46,94%, yaitu sebanyak 1.613 orang. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri masih didominasi oleh perempuan (TKW), yaitu sebesar 78,98% pada tahun 2005 dan sebesar 59,21% pada tahun 2006. Pada tahun 2005, lima kecamatan sebagai penyumbang tenaga kerja ke luar negeri terbesar adalah Kecamatan Sukorejo (12,34%), Kecamatan Babadan (11,94%), Kecamatan Jenangan (11,12%), Kecamatan Siman (8,39%), dan Kecamatan Ponorogo (6,55%). Sedangkan untuk tahun 2006 adalah Kecamatan Jenangan (8,68%), Kecamatan Balong (8,68%), Kecamatan Babadan (7,87%), Kecamatan Sukorejo (7,38%), dan Kecamatan Jambon (6,94%). Sedangkan untuk negara tujuan TKI yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo adalah Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Arab Saudi, dan Hongkong. Untuk negara Malaysia dan Korea Selatan didominasi oleh TKI berjenis kelamin laki-laki dan untuk negara Singapura, Taiwan, Arab Saudi dan Hongkong didominasi oleh TKI berjenis kelamin perempuan (TKW).
Data primer yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini sebanyak dua puluh empat informan, yaitu berasal dari Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun, dan Jetis. Berdasarkan usia, informan penelitian termasuk dalam usia produktif, yaitu berusia antara dua puluh empat tahun sampai dengan empat puluh empat tahun, dan mayoritas usianya berada di bawah umur empat puluh tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, mayoritas informan penelitian adalah lulusan SMA. Jumlah informan yang tingkat pendidikan terakhirnya lulus SD sebanyak satu informan, lulus SMP sebanyak tiga informan, lulus SMA sebanyak tujuh belas informan, dan Sarjana sebanyak tiga informan. Sedangkan terkait status perkawinan, mayoritas informan penelitian dalam status sudah kawin, yaitu sebanyak tujuh belas informan, dan yang belum kawin sebanyak tujuh informan.
Beberapa negara tujuan tempat informan bekerja antara lain Hongkong, Malaysia, Korea, Arab Saudi, Sri Langka, Brunei, Taiwan, Amerika, dan Abu Dhabi. Keputusan untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri bukan hanya dilakukan sekali saja tetapi beberapa informan menyatakan telah bekerja sebanyak dua sampai empat kali. Sedangkan lama bekerja informan menjadi TKI adalah antara satu tahun sampai dengan delapan tahun, dengan jenis pekerjaan adalah sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik/restoran, nelayan, tukang, perkebunan, sopir, operator, penjaga toko, dan baby sister.
Usaha memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan atau mencari modal untuk membuka usaha merupakan alasan yang banyak disampaikan oleh informan dalam mengambil keputusan menjadi TKI di luar negeri. Selain itu, besarnya tingkat penghasilan (gaji per bulan) menjadi TKI di luar negeri merupakan daya tarik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, beberapa responden yang belum mempunyai rencana usaha setelah tidak menjadi TKI, mereka memilih untuk kembali bekerja menjadi TKI di luar negeri.
Para TKI asal Kota Ponorogo tersebut telah melakukan mobilitas horisontal, seperti yang diteorikan oleh Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985). Mereka memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di beberapa negara, misalnya Arab Saudi, Abu Dhabi, Hongkong, Malaysia, Brunei, Korea Selatan, Amerika, Taiwan, dan lebih dari itu ada yang ke Singapura, Jepang dan Bahrein. Mobilitas horisontal tersebut perlu mereka lakukan untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan tetap bekerja di desa masing-masing. Mobilitas horisontal nampaknya menjadi pilihan rasional bagi para TKI mengingat penghasilan mereka di negara-negara di atas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Ponorogo. Rata-rata TKI wanita (TKW) bekerja di sektor domestik atau sebagai pembantu rumah tangga yang berpenghasilan minimal sebesar Rp. 1.500.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja pada sektor yang sama di pusat Kota Ponorogo dengan gaji sebesar Rp. 250.000 per bulan. Demikian juga bila dilihat penghasilan dari seorang TKI yang bekerja di sebuah pabrik maka penghasilan minimal mereka adalah sebesar Rp. 2.700.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja di bagian penjaga toko di pusat Kota Ponorogo yang bergaji sebesar Rp. 400.000 per bulan. Selisih gaji yang begitu besar menjadikan mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dari pada bekerja di Kota Ponorogo pada bidang yang sama.
Secara umum para TKI asal Ponorogo telah mampu memperbaiki posisi sosial ekonomi mereka. Mereka berhasil meningkatkan kepemilikan barang yang bersifat konsumtif, seperti handphone, televisi, sepeda motor, mobil, tape recorder, maupun meubeller. Demikian juga mereka telah mampu meningkatkan aset yang investatif, seperti tanah, rumah, toko maupun tabungan. Sebagai contoh Srt, seorang TKW yang tinggal di Jalan Menur dan pernah bekerja di Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga selama delapan tahun. Penghasilan sebagai TKW tersebut mampu untuk membeli tanah, sepeda motor, televisi, tape recorder dan untuk membangun pertokoan. Srt saat ini mempunyai lima buah toko yang disewakan dan ia sendiri juga mengelola sebuah toko kecil yang menyediakan keperluan rumah tangga atau disebut mracang, yaitu antara lain sembako, kosmetik, barang-barang dari plastik dan lain-lain.
Srt merupakan salah satu informan yang telah menginvestasikan hasil jerih payahnya selama menjadi TKI di luar negeri. Lebih dari itu, ia tidak berhenti hanya berinvestasi saja tetapi juga melipatgandakan modalnya dengan berwirausaha mracang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka mempunyai semangat N-Ach, seperti yang diteorikan oleh David M Clelland (Arief Budiman; 2003: 23). Mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Pendapatan dari gaji selama menjadi TKI barangkali cukup bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Namun, itu semua belum cukup untuk memberikan kepastian tentang masa depan mereka. Keberanian untuk berwirausaha merupakan contoh riil langkah mereka untuk memperoleh kepastian tentang masa depan. Di antara mereka (infroman) saat ini ada yang menjadi makelar, tukang, pengelola toko dan ada juga yang mengelola biro jasa PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada keterkaitan antara etos kerja dan usaha untuk mandiri (berwirausaha) dengan lamanya kerja menjadi TKI atau besarnya gaji selama menjadi TKI. Sebagai contoh, Swr yang telah menjadi TKI di Korea Selatan selama lima tahun sebagai buruh pabrik dengan gaji sekitar Rp. 8.000.000 per bulan, memutuskan akan kembali lagi sebagai TKI di luar negeri. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Awd, penduduk Desa Ngabar Kecamatan Siman yang bekerja di Arab Saudi selama lima tahun sebagai sopir dengan gaji Rp. 1.600.000 per bulan, memilih berwirausaha, yaitu mengelola bisnis alat pesta berupa terop dan mobil angkutan.
Secara umum para TKI asal Kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang baik untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan mendapatkan aset yang investatif. Mobilitas sosial yang dialami oleh para TKI asal Kota Ponorogo dapat dipolakan pada gambar 1.


KESIMPULAN
Dengan melakukan mobilitas horisontal, yaitu menjadi TKI ke luar negeri, seperti di negara Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Selama kurun waktu antara 1 tahun sampai dengan 8 tahun, para TKI asal Kota Ponorogo mampu mencapai status sosial ekonomi yang lebih baik (mobilitas ekonomik), yaitu ditunjukkan dengan peningkatan kepemilikan asset berupa handphone, televisi, tape recorder, sepeda motor, sampai pada asset yang bersifat investatif, seperti mobil, rumah, tanah, dan modal usaha berupa toko dan persewaan alat-alat terop. Hal ini semua adalah hasil dari perjuangan mereka yang penuh dengan resiko dan adanya etos kerja yang tinggi untuk pencapaian pemenuhan kebutuhan hidup lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Budiman, 1996, Teori Pembangunan Di Negara Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Soerjono Soekamto, 1985, Max Weber, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta,
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Keduabelas, Edisi Revisi V, Jakarta.
Revrisond Baswir, 2003, Di Bawah Ancaman IMF, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_____________ , 2007, Ponorogo dalam Angka Tahun 2006, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Ekuilibrium, Vol. 4, No. 1, September 2008, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)

Read More......

IDEOLOGI PEMBANGUNAN DAN PERAN MEDIA KOMUNITAS

Abstrak : Paradigma pembangunan telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi. Komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.

Kata Kunci : Ideologi Pembangunan, Media Komunitas

PENDAHULUAN
Bagi penganut aliran teori konflik istilah “Pembangunan” atau Development dianggap sebagai sebuah aliran, ideologi dan suatu bentuk perubahan sosial. Sebagai salah satu dari teori perubahan sosial, teori pembangunan dewasa ini telah menjadi teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial, dan merupakan fenomena yang luar biasa, karena gagasan dan teorinya mampu mendominasi dan mempengaruhi pemikiran manusia secara global, khususnya di Negara Dunia Ketiga.

Gagasan dan teori pembangunan tersebut dianggap mampu menjanjikan untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, istilah pembangunan tersebut sampai saat ini telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.
Konsep pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma pembangunan model barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia), penaksiran konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara, khususnya melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Menurut pendapat Dr. Mansour Fakih (2004), selama dua dasawarsa terakhir konsep pembangunan telah menjadi semacam “agama baru” ataupun ideologi baru bagi berjuta-juta rakyat di Negara Dunia Ketiga. Pembangunan menjanjikan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan dalam nasib kehidupan mereka. Masalahnya adalah, meskipun pembangunan telah dilangsungkan, jumlah kemiskinan absolut dan persentase rakyat di Dunia Ketiga terus meningkat. Setiap program pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa pembangunan yang digunakan.

IDEOLOGI PEMBANGUNAN
Pembangunan sebagai proses perubahan sosial menuju tataran kehidupan masyarakat yang lebih baik. Oleh sebab itu, pembangunan sering dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi, atau dengan kata lain pembangunan menyangkut proses perbaikan (Moeljarto T: 1995). Istilah pembangunan sampai saat ini telah digunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh masyarakat di hampir semua negara, khususnya Negara Dunia Ketiga.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini, misalnya, karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya. Lingkungannya semakin rusak. Sumber-sumber alamnya semakin terkuras, sementara percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Karena ini, perlu dipertimbangkan foktor-faktor baru sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan pembangunan, seperti misalnya kerusakan sumber daya alam, polusi yang terjadi akibat limbah industri, dan sebagainya. Bila faktor ini diikutsertakan sebagai tolak ukur, daftar urut keberhasilan pembangunan dari negara-negara yang ada di dunia ini akan mengalami perubahan.
Menurut pendapat Dr. Mansour Fakih (2002), kata “pembangunan” menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya Pemerintahan Orde Baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata “pembangunan” juga menjadi nama bagi Pemerintah Orde Baru, hal itu bias dilihat bahwa nama kabinet Pemerintahan Orde Baru selalu dikaitkan dengan kata “pembangunan”, meskipun kata “pembangunan” sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak Orde Lama. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kata “pembangunan” dalam konteks Orde Baru, sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh Negara-Negara Barat. Sedangkan menurut Dr. Arief Budiman (1996), di Indonesia, kata “pembangunan” sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan “pembangunan”.
Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Mansour Fakih; 2002). Menurutnya, diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu normalisasi mekanisme (Muhadi Sugiono; 1999). Strategi pertama disebut “inkorporasi progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat.
Ketiga strategi tersebut di atas, menunjukkan bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan tersebut.

PERAN MEDIA KOMUNITAS
Membicarakan tentang media komunitas tidak mungkin lepas dari isu-isu atau masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas. Salah satu isu penting yang banyak dibicarakan sampai saat ini adalah perlunya penguatan komunitas setelah sekian lama komunitas kehilangan otonominya akibat pendekatan pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya Hanif Suranto menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua. Serta berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.
Gagasan tentang media komunitas berakar dari kritik-kritik terhadap pendekatan komunikasi model liberal yang mekanistik, vertikal dan linier yang telah diterapkan dalam model pembangunanisme. Model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru, seperti sistem media massa yang dirancang memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif, ternyata banyak menimbulkan masalah. Masalah-masalah dimaksud antara lain adalah : Pertama, sifatnya yang top down/elitis/vertikal/searah telah menciptakan jurang informasi antara elit dan masyarakat kebanyakan. Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya media/informasi karena memliki akses yang besar terhadap media; mampu membaca dan membeli. Sementara masyarakat kebanyakan tetap miskin media/informasi karena tidak memiliki akses yang cukup, baik dari sisi ekonomi maupun budaya. Kedua, struktur komunikasi yang feodalistik pada model tersebut juga cenderung manipulatif/eksploitatif karena adanya monopoli sumber-sumber media dan dominasi elit pemberi pesan terhadap masyarakat sebagai penerima pesan (Hanif Suranto; 2006).
Keberadaan media massa pada rezim Orde Baru tersebut dapat dikatakan cenderung menggunakan pendekatan Marxisme Klasik, yaitu media massa merupakan alat produksi yang keberadaaanya disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor-faktor produksi dan hubungan produksinya. Terkait dengan pendekatan marxisme klasik tersebut, Budhi Suprapto (2006) menyatakan bahwa media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penanganannya bisa dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional, untuk memenuhi kepentingan kelas sosial tersebut. Dalam kenyataan yang demikian media bersifat dan berperilaku eksploitatif, baik secara sosial-budaya maupun secara ekonomi. Dengan bahasa yang lebih gampang, dapat dikatakan bahwa media lebih berfungsi sebagai tangan panjang dari pemilik kekuasaan politik dan ekonomi atau kaum kapitalis daripada sebagai sarana yang menyuarakan kepentingan kelas masyarakat kebanyakan. Hal itu dilakukan oleh pihak kaum kapitalis atau penguasa dengan cara mengeksploitasi para pekerja seni dan budaya serta konsumen media secara materiil, sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat. Sedangkan secara ideologis, mereka menyebarkan ide dan cara pandang mereka atau cara pandang kelas penguasa, dengan tujuan agar tidak timbul kesadaran diri dalam benak setiap anggota masyarakat kebanyakan atau kelas powerless.
Kritik atas kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut di atas telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Peran komunikasi dalam model ini lebih komplek dan bervariasi serta tergantung pada strandar dan tujuan normatif dari komunitas tersebut. Oleh karena itu, komunikasi partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.
Dalam konteks proses komunikasi, partisipasi yang dimaksud dalam model media komunitas terkait dengan tiga hal, yaitu : Pertama, soal akses. Secara singkat akses dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menikmati sistem komunikasi yang ada. Dalam prakteknya hal ini ada dua tingkatan, yaitu kesempatan untuk ikut memilih dan memperoleh umpan balik dari sistem komunikasi yang ada; Kedua, soal partisipasi. Partisipasi mengandung pengertian pelibatan anggota komunitas dalam proses pembuatan dan pengelolaan sistem komunikasi yang ada. Dalam penerapannya pelibatan ini dilaksanakan pada semua tingkatan mulai dari tingkat perencanaan, tingkat pengambilan keputusan serta tingkat produksi; Ketiga, soal swakelola dan swadaya. Ini adalah partisipasi yang paling maju. Dalam konteks ini, anggota komunitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut komunikasi. Kekuasaan ini tidak hanya berkenaan dengan akses untuk memperoleh informasi dan untuk berperan serta dalam mengelola sarana akses produksi, melainkan juga menyangkut pengelolaan komunitas terhadap sistem komunikasi dan pengembangan kebijakan komunikasi (Hanif Suranto; 2006).
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu khususnya munculnya berbagai konflik antara komunitas. Terkait dengan hal tersebut, terdapat beberapa peran yang mampu dilakukan oleh media komunitas dalam resolusi konflik, yaitu Pertama, meningkatkan pemahaman bersama antar pihak berkonflik dengan cara memfasilitasi tersedianya informasi yang cukup yang bisa dijadikan dasar pijakan bersama antar pihak yang berkonflik dalam berkomunikasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkaji dan memaparkan secara jelas tidak hanya efek konflik (baik psikis maupun fisik), masalah inti konflik, hingga ke akar konflik; Kedua, mengembangkan nilai dan sikap toleransi atas keberagaman dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai nilai-nilai dan sikap toleransi atas keberagaman yang dipraktekan dalam masyarakat/komunitas. Hal ini dilakukan dengan cara menggali pengalaman-pengalaman anggota komunitas berkonflik yang menjunjung nilai-nilai toleransi baik dalam kontek sejarah maupun kebudayaan komunitas; Ketiga, melakukan monitoring dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai upaya pihak-pihak yang mempertahankan nilai-nilai perdamaian dan pihak-pihak yang mencegah pelan terhadap nilai-nilai perdamaian, serta upaya-upaya atau tindakan-tindakan pihak-pihak yang melanggar nilai perdamaian; Keempat, melakukan advokasi kepada pihak-pihak yang voiceless dengan cara memfasilitasi penyediaan akses kepada pihak-pihak tersebut sehingga dapat turut berpatisipasi dalam proses komunikasi (Hanif Suranto; 2006).

KESIMPULAN
Gagasan dan teori pembangunan dianggap mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, istilah pembangunan tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori pembangunan dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.
Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kondisi-kondisi tersebut akhirnya berdampak munculnya berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Disamping itu, terkait dengan media komunikasi (termasuk media massa), model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru ternyata banyak menimbulkan masalah, karena sistem media massa yang ada dirancang untuk memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif.
Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.
Media komunitas sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat, baik berbentuk siaran radio, televisi sampai dengan surat kabar. Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur sudah banyak surat kabar lokal (Radar Madiun, Radar Malang, Ponorogo Pos, Krida Rakyat dan lain-lain), telivisi lokal (JTV Jawa Post), apalagi siaran radio (khususnya radio FM) yang sudah tersebar sampai ke daerah-daerah. Semua media massa komunitas tersebut diharapkan akan mampu mengangkat budaya dan permasalahan komunitas tertentu dan mampu menjembatani jika terdapat konflik di daerah dengan jalan memberitakan secara transparan, menjunjung kebenaran dan dapat dipertanggungjwawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Budiman, 1996, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Cetakan Ketiga, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Budhi Suprapto, 2006, “Memahami Keberadaan Komunikasi Massa dalam Masyarakat”, Mata Kuliah Sosiologi Komunikasi, Tanggal 15 Desember 2006, Universitas Muhammadiyah Malang.
Hanif Suranto, 2006, “Media untuk Pemngembangan Komunitas”, www.budpar.go.id.
Mansour Fakih, 2002, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, Cetakan II, Penerbit INSIST Press bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mansour Fakih, 2004, “Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Moeljarto T., 1995, “Politik Pembangunan. Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi”, Cetakan Ketiga, Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Muhadi Sugiono, 1999, “Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Ekuilibrium, Vol. 3, No. 1, September 2007, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)

Read More......

KEMAMPUAN BERTAHAN PEDAGANG WARUNG HIK DI KOTA PONOROGO

Abstract : This research deals with the survival of hik vendors in Ponorogo. This research is aimed at investigating how they can survive in facing the business competition in Ponorogo. The subjects of the research are the vendors and their comsumers. The subject selecting technique snowball. The data collecting technique is in-depth interview and the data analyzing technique is interactive analysis model. The conclusion of this research is as follows : (a) the vendors can develop and survive well in business competition in Ponorogo because they have good survival ability supported by skill and work spirit comprising the good social capital; (b) the consumers that visit these vending stalls are not only for drinking and eating, but also for relaxing, chatting, and other joyful social activisities.

Kata Kunci : Warung Hik (Angkringan), Kemampuan Bertahan

PENDAHULUAN
Perkembangan sektor informal pada saat ini mendapatkan sorotan yang serius oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah. Oleh sebab itu, otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigmatik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ditinjau dari aspek ekonomi, perubahan yang utama terletak pada perspektif bahwa sumber-sumber ekonomi yang tersedia di daerah harus dikelola secara mandiri dan bertanggung jawab, dan hasilnya lebih diorientasikan kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi daerah yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat harus mendapatkan perhatian yang serius, termasuk sektor informal.

Menurut Hidayat (1983), definisi secara umum dari sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. Dari definisi tersebut dapat dibedakan bahwa sektor informal yang berada di daerah pedesaan seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, sedangkan untuk sektor informal yang berada di daerah perkotaan sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit dan berusaha dalam bidang produksi maupun penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu, serta usaha dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat maupun pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas maupun mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut.
Hasil penelitian dari Soeratno (2000), menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang angkringan di kota Yogyakarta adalah dalam usia produktif, hal tersebut memberikan indikasi bahwa sektor pedagang kaki lima adalah pekerjaan yang dapat diakses. Sedangkan menurut Aris Marfai (2005), dengan modal yang tidak terlalu besar, nampaknya kegiatan angkringan menjadi usaha yang dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Dengan harga gerobak berkisar Rp. 750.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- dan ditambah modal peralatan lainnya yang bisa mencapai Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- serta modal awal untuk kulakan makanan sebesar Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 300.000,- seseorang sudah bisa mendirikan warung angkringan. Data-data tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa pedagang angkringan, termasuk golongan pedagang kaki lima, merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik, sehingga masyarakat kelas bawahpun dapat membuka usaha angkringan tersebut.
Selanjutnya Aris Marfai (2005) memaparkan bahwa angkringan sebagai bentuk kegiatan perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya perekonomian Indonesia menandakan berperannya modal sosial (social capital) dalam perekonomian masyarakat. Disebut modal sosial, karena untuk memulai kegiatan angkringan biasanya dimulai dari informasi kerabat, teman, tetangga atau keluarga yang telah berjualan sebelumnya. Mereka saling membantu dalam permodalan, suplai makanan, tempat tinggal dan informasi, seperti informasi tempat berjualan, tempat kulak dan lain sebagainya. Dalam taraf ini angkringan telah mampu memberikan simbol bahwa modal sosial sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Sebagaimana kegiatan dagang pada umumnya, jalinan hubungan antara pedagang angkringan dengan pembeli merupakan jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan penghasilan. Pembeli yang merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang angkringan bukan hanya dapat menjadi pelanggan tetap namun sekaligus dapat membawa dampak yang menguntungkan bagi pedagang angkringan itu sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Aloysius Gunadi Brata (2004), bahwa dari hubungan dengan pelanggan ini tidak jarang pedagang angkringan juga memperoleh informasi-informasi baru. Walaupun informasi-informasi tersebut umumnya tidak berkaitan langsung dengan aktivitas usaha angkringan, namun pedagang angkringan secara bertahap dapat menambah akumulasi informasi yang dalam bidang atau kesempatan lain mungkin akan berguna, dapat bernilai ekonomis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modal sosial yang mereka miliki, memiliki nilai ekonomis karena dengan begitu mereka memperoleh informasi peluang usaha atau pun merintis usaha warung angkringan.
Perilaku seseorang dalam aktifitas ekonomi tidak hanya merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata tetapi terdapat motif lain yang menyebabkan adanya jalinan hubungan yang erat antara penjual dengan pembeli. Menurut Max Weber (dalam Damsar, 1997) perilaku ekonomi seseorang bisa jadi merupakan suatu tindakan sosial, bila tindakan tersebut memperhitungkan perilaku orang lain. Jaringan hubungan ekonomi antar pembeli dengan penjual, dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan non ekonomi. Hal tersebut terjadi pada suatu masyarakat yang mempunyai ikatan emosional yang kuat baik ras, etnik maupun agama. Keadaan tersebut oleh Durkheim (dalam Kinlock, 1997) disebut sebagai solidaritas mekanik dan banyak dijumpai di masyarakat tertentu yang lebih menyukai melakukan transaksi usaha dengan didasari petimbangan-perimbangan non ekonomi, walaupun sebenarnya transaksi tersebut dapat dilakukan dengan suatu kelompok masyarakat tertentu lainnya dengan perimbangan-perimbangan ekonomi semata.
Hasil studi awal yang dilakukan di kota Ponorogo (Slamet Santoso, 2006), menunjukkan bahwa perkembangan pedagang kaki lima mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pedagang kaki lima yang terdapat di kota Ponorogo antara lain pedagang makanan kecil, warung makan, warung kopi, kios-kios kecil dan lain-lain. Salah satu pedagang sektor informal yang menunjukkan perkembangan (dari segi kuantitas) di kota Ponorogo adalah pedagang warung hik. Yang dimaksud dengan pedagang warung hik adalah pedagang kaki lima (penjualnya laki-laki) yang menjual makanan dan minuman, seperti kopi, teh, jahe, beberapa jenis jajanan dan nasi bungkus. Mereka berjualan di trotoar jalan atau di depan pertokoan, khusus untuk malam hari, setelah toko tutup. Mereka kebanyakan berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, seperti kota Sukoharjo, Solo, Klaten, Wonogiri dan Gunung Kidul Yogyakarta. Istilah pedagang warung hik di kota Solo dan Yogyakarta biasa disebut dengan pedagang warung angkringan. Sekitar tahun 1999-an (pasca krisis ekonomi), jumlah pedagang wurung hik yang ada di kota Ponorogo sekitar 5 (lima) pedagang. Sampai dengan tahun 2006, jumlah pedagang warung hik tersebut mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 20 (dua puluh) pedagang yang telah tersebar di kota Ponorogo. Kehadiran pedagang warung hik tersebut juga mendorong beberapa masyarakat Ponorogo untuk membuka usaha sejenis, dan sering disebut warung kopi lesehan. Dengan demikian, pedagang warung hik disamping harus mampu bersaing dengan sesama pedagang warung hik (sesama pedagang pendatang) juga harus mampu bersaingan dengan warung kopi lesehan (pedagang asli Ponorogo).
Berkaitan dengan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) agar mampu bertahan dalam menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Ponorogo (Kecamatan Kota) Kabupaten Ponorogo. Pengambilan lokasi tersebut berdasarkan kondisi bahwa pedagang warung hik banyak berjualan di wilayah Kecamatan Kota. Sedangkan yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah para pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) yang berjualan di kota Ponorogo. Subyek penelitian ini perlu dipertegas karena disamping pedagang warung hik tersebut masih banyak pedagang warung lesehan yang pedagangnya asli dari kota Ponorogo. Disamping itu, penelitian ini juga membutuhkan data yang dikumpulkan dari para pembeli (konsumen) di warung hik, sebagai data pendukung.
Dalam menentukan informan, teknik yang digunakan adalah Teknik Bola Salju (Snow Ball). Pedagang warung hik yang menjadi informan pertama adalah Winarno, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi usaha di Jalan Diponegoro, selatan perempatan Tambakbayan Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang mandiri. Berdasarkan informasi dari Winarno, yang menjadi informan kedua adalah Suroto, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi di Jalan Batoro Katong timur Mini Market Permata Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang non mandiri. Sedangkan informan ketiga adalah Tarto, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi di Jalan Sultan Agung utara Kantor Telkom Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang semi mandiri.
Metode pengumpulan data digunakan Wawancara Mendalam (Indepth Interview). Dalam wawancara dengan informan, beberapa informasi yang dipertanyakan antara lain : a) Alasan membuka usaha di kota Ponorogo; b) Pengadaan jajanan dan minuman yang disajikan; c) Waktu aktifitas usaha; dan d) Upaya untuk mempertahankan pelanggan dan kemampuan menghadapi persaingan.
Berdasarkan pola azas penelitian kualitatif, maka aktifitas analisis data dilakukan di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam wawancara mendalam. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan dianggap selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai maka diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang mantap. Menurut Sutopo (2002), proses analisis data tersebut dinamakan Model Analisis Interaktif .

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagi masyarakat kota Ponorogo yang sering ke warung hik merasa tidak asing dengan keberadaan pedagang warung hik. Tetapi bagi masyarakat yang belum pernah ke warung hik, maka akan sedikit kesulitan untuk membedakan dengan warung kopi lesehan, yang juga sudah menjamur di kota Ponorogo. Dalam menjalankan usahanya, pedagang warung hik mengunakan sebuah gerobak dari kayu dan diterangi dengan lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah (thinthir atau teplok), para pedagang warung hik menjajakan makanannya mulai selepas sore (sekitar jam 5 sore) sampai menjelang dini hari (sekitar jam 1 sampai dengan jam 2 malam). Biasanya pedagang warung hik memarkir gerobaknya kemudian menutupi bagian depan dengan terpal mulai dari atap gerobak sampai ke tanah, mirip sebuah tenda. Kemudian mereka memasang bangku tempat duduk di dalam tenda tersebut pada setiap sisi gerobak dan juga menyediakan tikar plastik bagi pembeli yang suka duduk di bawah sebelah kiri dan kanan gerobak.
Di dalam gerobak pada bagian kanan terdapat kompor arang untuk memanaskan air dan di atasnya terdapat tiga teko besar. Tiga teko besar tersebut satu berisi air putih yang dididihkan, satu berisi wedang jahe dan satunya lagi berisi wedang teh. Dibagian kiri ketiga teko besar tersebut biasanya diisi dengan bungkusan nasi, lauk seperti ceker (kaki ayam), tempe dan tahu bacem serta beberapa jenis sate, seperti sate usus dan sate telur puyuh. Nasi bungkus yang disediakan biasanya disebut sego kucing, karena memang isinya relatif lebih sedikit, seperti makanan kucing, berupa nasi dengan sambal teri atau nasi dengan racikan tempe goreng.
Sisi gerobak sebelah belakang (dekat dengan pedagang) biasanya digunakan untuk tempat sendok, berbagai rokok eceran, tempat gula dan kopi. Cadangan gula dan kopi, cadangan rokok dan bahan minum lainnya biasanya disimpan di dalam laci bagian atas gerobak, sementara laci kecil di bawah tumpukan makanan digunakan untuk menyimpan uang. Sedangkan bagian belakang dari tempat duduk pedagang disediakan dua sampai dengan empat ember berisi air yang digunakan untuk persediaan air bersih yang akan dimasak dan untuk mencuci gelas yang kotor.
Berdasarkan hasil pengamatan awal di lapangan, diketahui bahwa sampai dengan tahun 2006 jumlah pedagang warung hik di kota Ponorogo lebih dari 20 (dua puluh) pedagang. Lokasi usaha mereka cukup menyebar pada trotoar jalan atau emper pertokoan di pusat kota Ponorogo. Pada beberapa jalan, misalnya jalan Gajah Mada, Sultan Agung, Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan Batoro Katong, disamping pedagang warung hik, juga banyak pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen (pedagang asli Ponorogo). Dengan demikian, walaupun lokasi usaha pedagang warung hik mampu menyebar di seluruh jalan protokol di kota Ponorogo, untuk dapat bertahan dalam usahanya mereka harus mampu bersaing dengan pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen.

Keberadaan Pedagang Warung Hik
Pedagang warung hik di kota Ponorogo merupakan salah satu pedagang sektor informal yang mampu bertahan menghadapi dampak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Disamping mampu memberikan pendapatan untuk keluarga yang relatif cukup, mereka juga mampu membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Bagi kota Ponorogo, keberadaan pedagang warung hik mampu menghidupkan kota Ponorogo pada malam hari. Dengan adanya aktifitas ekonomi di malam hari suasana kota Ponorogo menjadi tidak sepi. Disamping itu, dengan adanya warung hik maka tersedia tempat bagi masyarakat Ponorogo yang membutuhkan tempat untuk santai, ngobrol, maupun berdiskusi pada malam hari.
Terkait dengan pembeli atau pelanggan di warung hik, Winarno menyatakan, ”Pelanggan saya kebanyakan anak sekolah, pedagang dan makelar. Mungkin penyebabnya karena lokasi dagang saya dekat dengan perempatan dan tempat pemberhentian bis”. Menurut Suroto, ”Yang beli macam-macam. Ada pegawai, tukang becak dan pedagang. Pelajar atau mahasiswa yang datang juga banyak”. Sedangkan Tarto menyatakan, ”Yang banyak anak muda dan pegawai swasta”. Pernyataan informan tersebut dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat yang datang di warung hik cukup bervariasi, yaitu antara lain pelajar, mahasiswa, pegawai negeri/swasta, pedagang, tukang becak, buruh kasar, makelar sepeda motor/mobil, dan lain-lain. Sedangkan hasil pengamatan di lokasi berjualan pedagang warung hik, para pembeli yang datang ke warung hik dengan berbagai tujuan, ada yang sekedar membeli makanan atau minuman dan langsung pulang, ada yang bersama teman-temannya mencari tempat yang santai untuk ngobrol sambil menikmati minuman atau jajanan, dan ada yang sengaja menjadikan warung hik sebagai tempat untuk diskusi untuk membahas sesuatu. Tema yang menjadi bahan untuk ngobrol atau diskusi sangat beragam, mulai masalah sekolah, pergaulan remaja, permasalahan pekerjaan, kondisi perekonomian, pelayanan publik, olah raga sampai dengan masalah perkembangan politik di daerah atau negara.

Penggolongan Pedagang Warung Hik
Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan maupun penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, maka pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan non mandiri. Seorang pedagang warung hik dikatakan sebagai pedagang yang mandiri adalah jika mereka memiliki gerobak sendiri sekaligus menyiapkan makanan dan jajanan sendiri, kendati tetap dan selalu bersedia menerima makanan titipan. Pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan semi mandiri adalah jika mereka memiliki gerobak sendiri tetapi makanan dan jajanan dipasok oleh orang lain, biasanya oleh ketua kelompok. Sedangkan pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan non mandiri adalah mereka yang menyewa gerobak dan sekaligus mengambil makanan dan minuman dari ketua kelompok, sehingga sifatnya hanya menjualkan saja.
Winarno adalah salah satu pedagang warung hik yang termasuk golongan mandiri. Menurut penuturannya, ”Jajanan dan bahan minuman saya membuat sendiri, yang membuat istri saya. Sekarang ini saya mengontrak rumah di Jalan Astrokoro Ponorogo. Yang tinggal di rumah kontrakan tidak hanya saya dan keluarga saya tetapi juga pedagang warung hik lain, sebanyak empat orang. Mereka tidak saya tarik iuran kontrak rumah tetapi kalau berjualan mereka mengambil jajanan dari istri saya. Saya juga mempunyai gerobak yang dijalankan oleh orang lain dan dia juga mengambil jajanan dari istri saya”. Tarto termasuk golongan pedagang warung hik semi mandiri. Hal tersebut diketahui dari penuturannya, ”Kalau gerobak saya membuat sendiri, kira-kira menghabiskan Rp. 1.000.000,- lebih. Sedangkan jajanannya saya tidak membuat sendiri, tetapi mengambil ke Bapak Sandiyo (Ketua Kelompok). Saya tinggal di rumah Bapak Sandiyo di Jalan Aru (Sukarno Hatta Gang I) Ponorogo. Disana saya tidak ditarik iuran untuk mengontrak rumah. Selain saya, di rumah kontakan tersebut juga tingga empat orang sebagai anggota kelompok Bapak Sandiyo”. Sedangkan Suroto termasuk golongan non mandir. Dia menuturkan, ”Untuk jajanan, saya mengambil ke ketua kelompok saya, Bapak Slamet Widodo, dan yang membuat jajanan adalah istrinya. Modal awal pada waktu mulai usaha warung hik sekitar Rp. 100.000,- untuk kebutuhan bahan minuman dan rokok yang akan saya jual, dan untuk gerobak saya menyewa dari Pak Slamet. Sehari uang sewa gerobak sebesar Rp. 2.000,-”.

Modal Sosial pada Pedagang Warung Hik
Usaha warung hik merupakan salah satu bentuk kegiatan perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya kondisi perekonomian. Kemampuan bertahan (survivalitas) tersebut menandakan bahwa modal sosial (social capital) telah berperan baik pada para pedagang warung hik. Disebut modal sosial, karena para pedagang tersebut saling memberikan informasi dan membantu, baik menyangkut peluang usaha, tempat usaha, tempat tinggal, modal, kelompok usaha dan lain-lain. Dengan adanya modal sosial tersebut, mereka menjadi mampu bertahan (survive) di tengah persaingan usaha di kota Ponorogo.
Baik Winarno, Tarto maupun Suroto mempunyai alasan yang hampir sama untuk membuka usaha warung hik di kota Ponorogo. Mereka menghadapi kesulitan mengembangkan usaha warung hik di kota-kota Jawa Tengah dan setelah mendapat informasi dari teman atau kerabatnya yang sudah membuka warung hik di kota Ponorogo, akhirnya mereka pindah usaha di kota Ponorogo. Menurut penuturan Winarno, ”Saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo pada tahun 2002. Sebelumnya juga usaha yang sama tetapi di kota Solo (Surakarta). Di kota Solo usaha warung hik sudah sangat banyak dan sudah sulit untuk dikembangkan. Saya mendapatkan informasi dari adik ipar saya, yang sudah membuka usaha warung hik di kota Ponorogo di Jalan Urip Sumoharjo depan DKT, bahwa di kota Ponorogo masih belum banyak yang membuka usaha warung hik. Setelah bermusyawarah dengan istri maka mulai tahun 2002 saya pindah usaha di kota Ponorogo”. Tarto juga menuturkan, ”Sebelumnya saya juga membuka usaha warung hik di kota Yogyakarta. Usaha warung hik di kota Yogyakarta sudah banyak saingannya. Ketika pulang ke Bayat Klaten, saya ditawari oleh Bapak Sandiyo untuk ikut usaha warung hik ke kota Ponorogo. Akhirnya sekitar tahun 2001 saya ikut Bapak Sandiyo ke kota Ponorogo. Pertama kali saya masih ikut dan membantu Bapak Sandiyo, yang sudah membuka usaha warung hik di Jalan Gajah Mada Timur, Toko Elektonik Gatotkoco Ponorogo. Setelah beberapa bulan dan sudah mengenal kondisi di kota Ponorogo, saya berkeinginan untuk membuka usaha warung hik sendiri dan keinginan tersebut didukung oleh Bapak Sandiyo, bahkan saya dicarikan tempat dan sekaligus ijin kepada orang yang mempunyai halaman yang akan saya tempati”. Sedangkan penuturan Suroto, ”Sebelumnya saya usaha warung hik di Ungaran Semarang. Di kota tersebut usaha warung hik sulit untuk dikembangkan karena pembelinya kebanyakan dari buruh pabrik, sehingga jika pabrik sudah tutup (biasanya jam 11 malam) maka hampir dipastikan tidak ada pembeli. Pada tahun 2004, saya mendapatkan informasi dari teman saya, yang sudah membuka usaha warung hik di kota Ponorogo di Jalan Hayam Wuruk depan Toko Luwes Ponorogo, bahwa di kota Ponorogo masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha warung hik. Akhirnya pada pertengahan tahun 2004, saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo. Di kota Ponorogo, yang mencarikan tempat usaha warung hik saya adalah Pak Slamet (ketua kelompok). Saya sudah mencoba mencari lokasi sendiri tetapi kesulitan karena selain belum mengenal daerah di Ponorogo juga belum banyak mengenal orang yang halaman tokonya bersedia ditempati untuk usaha”.
Berdasarkan penuturan ketiga informan tersebut, dapat diketahui bahwa modal sosial telah berperan dengan baik diantara para pedagang warung hik tersebut dan hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Informasi peluang usaha. Pedagang warung warung hik yang sudah lama membuka usaha di kota Ponorogo memberikan informasi kepada saudara maupun teman di kota asalnya, bahwa di kota Ponorogo masih terbuka luas dan mempunyai prospek yang bagus untuk membuka usaha warung hik. Kebanyakan yang diberikan informasi adalah mereka sudah mempunyai usaha sejenis di kota lain, tetapi menghadapi kesulitan mengembangkan usahannya dan akhirnya mereka tertarik untuk masuk ke kota Ponorogo; b) Informasi tempat usaha. Kebanyakan pedagang warung hik yang baru masuk ke kota Ponorogo kesulitan memilih tempat yang strategis untuk usahanya. Mereka biasanya meminta bantuan kepada pedagang warung hik yang sudah lama dan sudah mengenal daerah di kota Ponorogo, untuk memilihkan tempat yang strategis dan sekaligus memintakan ijin kepada orang yang mempunyai halaman untuk ditempati usaha warung angkringan; dan c) Tempat tinggal dan modal usaha. Pedagang warung hik yang kesulitan untuk mengkontrak rumah atau kost, biasanya bergabung dalam kelompok pedagang warung hik. Yang menjadi ketua kelompok adalah yang sudah mengontrak rumah dan mempunyai usaha membuat makanan dan jajanan untuk disajikan di warung hik. Anggota kelompok biasanya tinggal di rumah kontrakan tersebut dan tidak dipungut iuran untuk kontrak rumah, tetapi jika mereka berjualan makanan dan jajanannya mengambil dari ketua kelompok. Disamping itu, jika ada teman atau tetangga yang ingin membuka usaha warung hik tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka mereka dapat menyewa gerobak yang dibuatkan oleh ketua kelompoknya dan dapat mengambil makanan dan jajanan yang akan disajikan dari ketua kelompoknya.

Survivalitas Pedagang Warung Hik
Kemampuan para pedagang warung hik untuk dapat berkembang dan bertahan (survive) menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo, disamping faktor ketrampilan dan semangat kerja yang mereka miliki, juga didukung dengan berperannya modal sosial dengan baik di antara mereka. Sebelum masuk ke kota Ponorogo, para pedagang warung hik telah mempunyai pengalaman menjadi pedagang warung hik di kota lain (di Jawa Tengah) dan mereka mempunyai semangat kerja yang cukup tinggi. Menghadapi persaingan usaha yang semakin besar di kota-kota Jawa Tengah, mereka tidak putus asa dan tetap berusaha untuk mencari kota-kota lain untuk mengembangkan usaha warung hiknya. Dalam hal ini, peran modal sosial menjadi sangat penting bagi para pedagang warung hik, karena dengan saling memberikan informasi maupun bantuan, baik informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha dan tempat tinggal, menjadikan para pedagang warung hik mampu berkembang dengan baik dan mampu untuk bertahan menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.
Terkait dengan semangat kerja dan kemampuan mengembangkan usaha warung hik tersebut, penuturan Winarno, ”Saya berjualan tiap hari mulai jam 16.30 sampai dengan jam 01.00 dan kadang-kadang samapi 02.00 WIB. Saya tidak mengenal hari pantangan untuk libur berjualan, kalau kelompok lain ada yang libur berjualan tiap Jum’at Legi. Kalau masalah rezeki saya sudah sangat percaya kepada Allah SWT, yang penting saya terus berusaha dan berdoa. Setiap berjualan saya selalu mencoba ramah dan mengenal pembeli. Sampai sekarang banyak pembeli yang menjadi pelanggan hafal dengan nama saya dan selalu mengajak ngobrol. Mungkin yang membuat warung hik sampai saat ini tetap jalan adalah selain jajanan yang disediakan komplet juga melayani mbakar jajanan. Jajanan yang dibakar banyak disukai pelanggan dan itu tidak ada di warung kopi lesehan”. Demikian juga dengan Suroto, dia menyatakan, ”Saya berjualan tiap hari mulai jam 17.00 sampai dengan jam 01.30 WIB. Tetapi kalau pas hari Jum’at Legi saya libur. Sebenarnya saya tidak ingin libur tetapi karena ketua kelompok dan istrinya yang memuat jajanan libur, akhirnya terpaksa juga ikut libur. Usaha warung hik berbeda dengan warung kopi permanen, selain jajanan yang disediakan banyak, saya juga bersedia membakarkan jajanan dan itu sangat disukai oleh pembeli dan paling laris. Supaya langganan saya banyak, saya berusaha mengajak ngobrol pembeli dan sampai saat ini banyak yang sudah kenal dan akrab dengan saya”. Sedangkan penuturan Tarto adalah, ”Di kelompok Bapak Sandiyo tidak mengenal hari pantangan, jadi tiap hari selalu jualan mulai jam 17.00 sampai dengan 02.00 WIB. Supaya pembelinya banyak, yang penting ramah dan memberi pelayanan yang baik. Di warung hik melayani mbakar jajanan sedangkan di warung kopi lesehan atau warung kopi permanen biasanya hanya mbakar jadah. Jadi saya tidak perlu khawatir untuk kalah saingan, biar masyarakat yang memilih sendiri”.
Dari sisi konsumen atau pembeli, keberadaan warung hik di kota Ponorogo telah mampu memberikan tempat untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi bagi masyarakat Ponorogo pada malam hari. Pembeli yang datang ke warung hik semata-mata tidak hanya untuk membeli makanan dan minuman saja (motif ekonomi), tetapi makanan dan minuman tersebut sebagai pelengkap bagi mereka untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi. Dengan tempat yang sederhana, minuman dan jajanan yang bervariasi, dan tersedia tikar untuk lesehan mampu menarik pembeli untuk berlama-lama bersantai, mengobrol dan berdiskusi di warung hik. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pembeli di warung hik, mayoritas mereka menyatakan bahwa disamping makanan dan minuman yang disajikan mempunyai ciri khas, misalnya tempe dan tahu bacem baker, sego kucing, minuman jahe dan lain-lain, lokasi di trotoar jalan membuat pembeli semakin santai dan nyaman untuk berlama-lama di warung hik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kemampuan para pedagang warung hik di kota Ponorogo untuk mengembangkan usaha dan bertahan dalam menghadapi persaingan usaha (survivalitas), dapat digambarkan sebagai berikut :

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Pedagang warung hik di kota Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan menghadapi persaingan usaha. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah pedagang warung hik yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun; b) Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan usaha tersebut, disamping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang tinggi, juga didorong dengan berperannya modal sosial di antara pedagang warung hik; c) Modal sosial yang telah berperan pada para pedagang warung hik adalah saling memberikan informasi dan bantuan, baik terkait dengan informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha maupun tempat tinggal; d) Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan maupun penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, maka pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan non mandiri; dan e) Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung hik tidak hanya semata-mata didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan minuman), tetapi didorong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli merasa nyaman untuk singgah berlama-lama di warung hik. Hal tersebut disebabkan, disamping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat duduk lesehan di trotoal dengan beralaskan tikar.

DAFTAR PUSTAKA
Aloysius Gunadi Brata, 2004, Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan, dalam http://staf.uajy.ac.id.
Aris Marfai. 2005. Angkringan, Sebuah Simbol Perlawanan. URL artikel: http://www.penulislepas.com 13 Agustus 2005.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo.
Hidayat. 1978. Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional : Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung : Universitas Pedjajaran.
Kinlock, Graham C. 1997. Sociological Theory, It’s Development and Major Pardigma. Florida State University: Mc Graw Hill Book Company.
Slamet Santoso. 2006. Modal Sosial pada Pedagang Warung Angkringan. Artikel di koran Ponorogo Pos, No. 254 Tahun V, 01 – 07 Juni 2006.
Soeratno. 2000. Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta. Dalam Jurnal OPTIMUM. Volume 1 Nomor 1 September 2000, Yogyakarta.
Sutopo. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, Agustus 2006, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta)


Read More......

ETOS KERJA PENGUSAHA MUSLIM PERKOTAAN DI KOTA PONOROGO

Abstract : This research aims to know the spirit of Urban Moslem Enterpreuner in Ponorogo. Based on the research focused, most data and resources in urban area the Moslem business locates in the three village areas, namely Mangkujayan, Banyudono, and Bangunsari. The research subject is the native Moslem whose business is on the three areas. The data collection technique is indepth interview and data analized is used interactive analysis model. The result of the research shown that spirit of the native Moslem is high. Their spirit is not only encouraged by economic motives, to fulfill only the economic necessary, but they encouraged by religious and social motive. The hight spirit of native Moslem businessmen in doing the business is the main capital for developing their business, beside their enough skill and experience.

Kata Kunci : Etos Kerja, Pengusaha Muslim Perkotaan

PENDAHULUAN
Kemampuan pengusaha lokal dalam mengelola usaha perekonomian dan mampu bersaing diantara dominasi etnik Cina tidak banyak dijumpai di Indonesia. Kota Ponorogo merupakan salah satu kota yang menunjukkan gejala tersebut. Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo termasuk salah satu dari golongan yang mampu bertahan menghadapi dominasi etnik Cina dan mereka bahkan berhasil mendominasi beberapa jenis usaha.

Hasil penelitian dari Harsono dan Santoso (2005) menunjukkan bahwa pada kurun waktu antara tahun 1950 sampai dengan akhir tahun 1960, kota Ponorogo dikenal sebagai jalur perdagangan batik (sejajar dengan kota Surakarta, Yogyakarta dan Pekalongan) dan ketika batik menjadi primadona perekonomian lokal maka pengusaha muslim perkotaan sebagai pemegang kendali perekonomian lokal. Tetapi ketika batik mengalami kemerosotan pada awal tahun 1970, maka berdampak pada menurunnya dominasi pengusaha muslim perkotaan dalam perekonomian di kota Ponorogo. Regenerasi perekonomian di kalangan pengusaha muslim perkotaan di Ponorogo berjalan sangat lambat. Setelah mengalami kemerosotan kurang lebih selama 10 tahun, pengusaha muslim perkotaan mulai bangkit lagi pada akhir tahun 1980. Kebangkitan pengusaha muslim tersebut sebagian berasal dari keluarga pengusaha batik, yang pada masa itu termasuk kelas menengah, dan sebagian lagi merupakan pengusaha muslim baru yang memulai usahanya dari bawah. Para pengusaha muslim generasi baru, yang berlatar belakang dari keluarga pengusaha batik, tidak lagi meneruskan usaha batik melainkan mengembangkan jenis usaha lain baik usaha pertokoan maupun usaha jasa. Sedangkan untuk pengusaha muslim baru yang memulai usaha dari bawah adalah mereka yang sebelumnya hanya sebagai karyawan pada usaha tertentu, karena kegigihannya maka mereka mampu membuka usaha secara mandiri dan bahkan usahanya sekarang lebih sukses dibandingkan dengan usaha tempat kerjanya dahulu.
Fenomena tersebut di atas sesuai dengan pendapat Kuntowijoyo (1985: 17), bahwa perkembangan usaha perekonomian di kota Ponorogo ini perlu diikuti dengan cermat karena Ponorogo dengan pengusaha muslimnya pernah mewarnai perekonomian nasional, khususnya pulau Jawa. Ponorogo adalah salah satu dari sedikit kota yang para pengusaha muslim pribuminya bangkit kembali dan mulai berkembang.
Masyarakat ilmiah mempunyai pendapat dan batasan yang berbeda-beda tentang etos kerja. Namun demikian secara substansial mereka mempunyai pengertian yang sama tentang etos kerja. Secara umum mereka membangun pengertian bahwa yang dimaksud dengan etos kerja adalah semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Sukriyanto (2000: 92), melalui tesisnya memberikan pengertian bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka. Karena etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan pula menentukan hasil-hasilnya. Dengan adanya keterkaitan yang erat antara etos kerja dengan survivalitas (daya tahan hidup) manusia di bidang ekonomi, maka dengan semakin progresif etos kerja suatu masyarakat juga akan semakin baik hasil-hasil yang dicapai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Nilai-nilai agama dan kultural dapat memberikan dorongan pada seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu, terutama dalam bidang ekonomi (Weber, 2000: 161). Faktor-faktor yang dipertegas oleh Weber adalah memajukan keberlakuan faktor irrasional dalam tindakan yang tampak dibimbing oleh rasionalitas yang keras, seperti pada tindakan pemenuhan kebutuhan ekonomi atau bahkan juga akhirnya akan mengarah pada bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup manusia atau dengan kata lain digiring ke arah sosio-ekonomi yang ditujukan oleh pengaruh doktrin agama. Motif religi yang mendorong keberhasilan hidup seseorang tersebut dapat dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Yang telah mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha Islam di Indonesia terdapat persamaan yang besar sekali antara etos kerja Protestan dengan etos kerja kaum Santri Pedagang. Terminologi etos kerja kaum Santri Pedagang tersebut menggambarkan keberhasilan para pengusaha muslim dalam mengembangkan usahanya di beberapa kota di Jawa pada tahun 1950-an, seperti Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Ponorogo dan kota lainnya. Hal tersebut didukung oleh Usman (1998: 99), yang menyatakan bahwa sejarah kehidupan masyarakat Indonesia memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat agama dengan lebih bersungguh-sungguh, dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi.
Keterkaitan yang kuat antara agama Islam dengan aktifitas ekonomi umat, menurut Ismail (1997: 22) adalah bahwa kegiatan ekonomi dalam Islam, meskipun konkritnya adalah kegiatan yang bersifat untuk mendapatkan kecukupan materi, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sesudah mati dan akan tetap dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Islam tidak mengajarkan satu sistem ekonomi yang komprehensif, tetapi Islam mengajarkan landasan etika dan moral bagi para pemeluknya yang akan melakukan kegiatan ekonomi. Islam pada prinsipnya mengajarkan kebaikan dan telah mengatur kehidupan umatnya di dunia dan di akherat. Dalam prinsip etika ekonomi pada hakekatnya adalah menjalankan bisnis yang jujur sesuai dengan aqidah agama (Fadhely, 1995: 14). Hal tersebut didukung oleh pendapat Burhan (1997: 17), bahwa doktrin dalam Islam terkait erat dengan tujuan hidup manusia yang hakiki. Oleh karena itu, membicarakan tujuan manusia, dilihat dari kaca mata ekonomi, tidak dapat lepas dari tujuan hidup. Kegiatan ekonomi manusia menyatu dengan status manusia sebagai khalifah dan fungsi manusia untuk ibadah. Sebagai khalifah maka kegiatan ekonomi manusia harus dalam rangka memakmurkan seluruh penghuni bumi seraya menjaga kelestariannya, sedangkan dalam ibadah maka kegiatan tersebut hendaknya ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Terkait dengan semangat kewirausahaan di kalangan muslim, menurut pendapat Jaeroni Setyadhi (2005), bahwa semangat kewirausahaan dalam kalangan muslim juga terlihat dari pepatah bahasa Arab “Inna al-samaa la tumtiru dhahaban wa la fidhatan” di mana diartikan ”Langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, tetapi perlu dengan semangat kerja yang tidak mengenal lelah”. Atau kata bijak yang bisa diimplementasikan ke kehidupan yang nyata “Isy ka annaka ta'isyu abada” atau “I'mal lid dunyyaka kaannaka ta'isyu abada”. Di mana terminalogi “bekerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi” yang menunjukkan kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk diandalkan. Hubungan sosiologi dari semangat etos kerja akan terlihat dari penghasilan, keuntungan dan akumulasi kapital. Di mana manusia merupakan khalifah di muka bumi yang mempergunakan semua sumber daya yang ada di sekitarnya untuk memenuhi keinginan yang relatif tidak terbatas dalam semangat kewirausahaan.
Berdasarkan dengan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana etos kerja pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo sehingga mereka mampu bertahan dalam menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Sebagian besar usaha perdagangan dari pengusaha muslim perkotaan berada di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mangkujayan, Banyudono dan Bangunsari. Dengan demikian lokasi penelitian difokuskan pada tiga kelurahan tersebut. Terkait dengan hal tersebut maka yang menjadi subyek penelitian adalah para pengusaha muslim pribumi yang lokasi usahanya berada di tiga wilayah kelurahan tersebut. Subyek penelitian ini perlu dipertegas mengingat di kota Ponorogo juga terdapat pengusaha muslim dari etnik Cina.
Dalam penelitian ini pengusaha muslim yang menjadi informan kunci sebanyak 6 (enam) orang, yaitu Muhammad Nasrulsyah, Wayan Suyanto, Soedibyo, Handoko, Imam Sukanda dan Nur Jaelani. Alasan yang cukup kuat untuk memilih para informan tersebut adalah Muhammad Nasrulsyah dianggap mewakili pengusaha muslim yang bergerak di bidang peternakan, Wayan Suyanto dianggap mewakili pengusaha muslim yang bergerak di bidang meubel, Soedibyo dianggap mewakili pengusaha muslim yang bergerak di toko pakaian jadi, Handoko dianggap mewakili pengusaha muslim yang bergerak di bidang jasa, Imam Sukanda dianggap mewakili pengusaha muslim bergerak di bidang usaha mini market, dan Nur Jaelani dianggap mewakili pengusaha muslim yang bergerak di bidang industri.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik Indepth Interview atau wawancara mendalam. Teknik wawancara ini tidak dilakukan secara ketat terstruktur, tertutup dan formal, tetapi lebih menekankan pada suasana akrab dengan mengajukan pertanyaan terbuka, lentur dan bersifat jujur dalam menyampaikan informasi sebenarnya. Beberapa materi pertanyaan yang diajukan antara lain : a) Perjalanan dan perkembangan usaha; b) Pandangan terhadap ibadah haji dan zakat; c) Pandangan terhadap modal usaha dari bank; d) Kegiatan organisasi yang dijalani; e) Pandangan terhadap jaringan pengusaha muslim; dan f) Strategi mengembangkan usaha.
Berdasarkan pola azas penelitian kualitatif, maka aktifitas analisis data dilakukan di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam wawancara. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai maka diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang mantap. Proses analisis data tersebut dinamakan Model Interaktif Analisis Data (Sutopo, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengusaha muslim perkotaan pada umumnya dalam menjalankan usahanya terkonsentrasi di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mangkujayan, Banyudono dan Bangunsari, yang semuanya terletak di wilayah Kecamatan Kota Ponorogo dan secara geografis berada di pusat Kota Ponorogo. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko meubel, sebagian besar beroperasi di Kelurahan Mangkujayan, khususnya Jalan Urip Sumoharjo, meskipun di lokasi tersebut juga terdapat beberapa pengusaha toko meubel dari etnik Cina. Pengusaha muslim yang bergerak pada usaha toko pakaian jadi, sebagian besar terkonsentrasi di Kelurahan Banyudono dan Bangunsari, terutama di Jalan Jaksa Agung, Jalan Bayangkara, Jalan Sukarno-Hatta dan Pasar Legi Selatan (Pasar Lanang). Sedangkan untuk jenis usaha yang lain, seperti apotik, hotel, kounter hand phone, rumah makan dan toko swalayan, wilayah penyebarannya lebih merata di banyak kelurahan di pusat kota.
Pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo menjadi pengusaha sukses tidak berangkat dengan modal usaha yang besar tetapi mereka berangkat dengan modal semangat dan ketrampilan. Yang tidak kalah menarik dari etos kerja pengusaha muslim perkotaan adalah bahwa tingginya etos kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi semata tetapi juga didorong oleh motif religi dan sosial.
Disamping menunaikan ibadah haji, para pengusaha muslim perkotaan secara rutin membayar zakat, baik zakat fitrah pada Hari Raya Idul Fitri maupun zakat maal. Namun mereka mempunyai cara yang berbeda-beda dalam membayar zakat, yaitu ada yang menyerahkan zakatnya langsung kepada panitia zakat, ada yang lebih suka membayarkan sendiri zakatnya pada yang berhak dan ada menyerahkan zakatnya pada sebuah panti asuhan anak yatim. Para pengusaha muslim perkotaan sangat percaya bahwa puluhan juta rupiah yang dikeluarkan dalam dua bentuk kegiatan tersebut (ibadah haji dan membayar zakat) akan diganti oleh Allah SWT dengan kemudahan rezeki melalui kemajuan usaha mereka.
Beberapa penuturan informan terkait ibadah haji antara lain : a) Soedibyo : ”Saya sudah dua kali, pertama tahun 1990 dan yang kedua tahun 2000. Karena menunaikan ibadah haji adalah kewajiban bagi yang mampu”, b) Wayan Suyanto : ”Jangankan jutaan rupiah, nyawapun ya harus direlakan kalau memang itu suatu kewajiban”, c) Imam Sukanda : ”Sudah, dua kali tahun 1988 dan 1998. Bagi seorang muslim pergi haji sudah kewajiban. Pada saat keberangkatan saya yang pertama saja saya sudah sangat takut, karena saya sudah mampu tetapi tidak berangkat”, dan d) Nur Jaelani : ”Seratus jutapun tidak ada masalah kalau memang dananya ada. Karena sebenarnya kita itu tidak punya apa-apa. Semua rejeki yang kita miliki ini kan dari Sang Cholik. Kita sudah menerima banyak kemudahan”.
Sedangkan terkait dengan pembayaran zakat, beberapa penuturan informan antara lain : a) Wayan Suyanto : ”Insya Allah sesuai dengan nisab dan kami salurkan sendiri pada yang berhak”, b) Muhammad Nasrulsyah : ”Saya selalu menyalurkan zakat ke salah satu Panti Asuhan. Bagi saya zakat itu sangat penting. Saya selalu menyarankan pada relasi saya untuk menzakati usahanya bila ingin berhasil”, c) Imam Sukanda : ”Membayar zakat adalah wajib hukumnya. Tidak ada ceritanya orang jatuh miskin karena membayar zakat. Sebaliknya Allah akan memberikan kamudahan”, d) Nur Jaelani : ”Wah kalau itu sudah merupakan kewajiban. Kalau tidak dizakati berarti saya ini kufur”, dan e) Handoko: ”Ya, kami selalu membayar zakat yang pengelolaannya kami serahkan pada panitia zakat”.
Menurut pendapat para pengusaha muslim perkotaan, menunaikan ibadah haji adalah dalam rangka memenuhi motivasi religi, sedangkan membayar zakat disamping untuk memenuhi motif religi, juga dimaksudkan untuk memenuhi motif sosial. Zakat yang mereka keluarkan tidak hanya untuk membantu masjid saja tetapi juga untuk kegiatan sosial, yaitu memberikan shodaqoh untuk panti asuhan dan menyalurkan beras untuk kaum miskin. Fenomena tersebut oleh Fadhely (1995) dinamakan sebagai aktifitas ekonomi dalam bentuk kolektif, yang sesungguhnya merupakan proses sosialisasi hasil-hasil ekonomi yang dicapai oleh masing-masing orang tersebut.
Disatu sisi pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo sudah menunjukkan profesionalisme yang memadai baik dalam menyediakan kebutuhan konsumen, pelayanan sampai pada penataan barang, tetapi disisi lain mereka masih lemah dalam hal kerjasama sesama para pengusaha. Hal tersebut terbukti bahwa diantara para pengusaha muslim tersebut belum ada forum yang bisa dijadikan sebagai media komunikasi, meskipun banyak diantara mereka sangat menginginkan terbentuknya forum tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Soedibyo, ”Belum. Tetapi sebetulnya memang perlu di bentuk. Hal ini perlu karena pertama, untuk bidang usaha dan kedua, adalah untuk memelihara akidah kita”. Sedangkan penuturan Handoko, ”Sebenarnya sudah pernah tetapi gagal karena ada sekat-sekat organisasi”.
Terkait dengan promosi usaha melalui dunia periklanan, kebanyakan pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo belum banyak memanfaatkannya, namun demikian bukan berarti mereka menjadi pasif terhadap promosi atas kegiatan usahanya. Kerelasian dengan berbagai pihak selalu mereka kembangkan memalui organisasi-organisasi sosial yang mereka ikuti. Dalam mengembangkan kiat untuk menjaga kerelasian dengan mitra maupun konsumen, mereka selalu berusaha untuk tidak membuat kecewa apalagi marah. Beberapa penuturan informan terkait hal tersebut antara lain : a) Wayan Suyanto : ”Banyak teman-teman di FSUI (Forum Sillaturrohmi Umat Islam) dan KAHMI merupakan pelanggan kami”, b) Soedibyo : ”Banyak konsumen yang membeli busana muslim di tempat kami walaupun di toko Cina ada yang menjual busana muslim, dengan alasan yang sederhana, kalau semua sama lebih baik saya beli disini saja”, c) Muhammad Nasrulsyah : ”Kami juga melayani konsultasi gratis bahkan bila perlu lewat telpon. Selain merupakan pengabdian dari ilmu saya, hal ini saya anggap sebagai ibadah. Selain itu saya juga berusaha untuk tidak memberikan uang pengembalian dalam bentuk logam untuk nominal Rp. 500,- dan Rp. 1.000,- karena gambang hilang dan itu bisa sangat mengecewakan”, dan d) Nur Jaelani : ”Rencana memang akan kita adakan sales ke instansi-instansi, tetapi sekarang belum”.
Sedangkan terhadap dunia perbankan para pengusaha muslim perkotaan tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang sejak awal usahanya sudah berhubungan dengan dunia perbankan, karena dalam mengawali bisnisnya mereka memperoleh pinjaman modal dari sebuah bank. Sementara pengusaha muslim perkotaan yang lain dalam usaha mengembangkan bisnisnya tidak pernah berusaha memperoleh kredit dari perbankan. Mereka beranggapan bahwa bersentuhan dengan dunia perbankan adalah dilarang oleh agama, karena mengandung unsur riba. Sehingga dalam mengembangkan modal usahanya lebih banyak mengandalkan pada keuntungan yang mereka kumpulkan secara perlahan-lahan.
Beberapa penuturan informan terkait hubungan dengan dunia perbankan antara lain : a) Wayan Suyanto : ”Selama ini saya tidak berhubungan dengan dunia perbankan. Modal kami himpun sedikit demi sedikit dari keuntungan yang kami peroleh. Terus terang kami masih sangsi dengan hukum bunga perbankan”, b) Imam Sukanda : ”Alhamdulillah tidak, karena dua alasan. Pertama, saya butuh ketenangan. Kedua, saya tidak ingin memaksakan diri. Dalam hal penyimpanan uang saya memang menggunakan jasa perbankan”, dan c) Handoko : ”Ya, sejak semula kami sudah berhubungan dengan perbankan untuk mengembangkan usaha”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat digambarkan pola umum yang mendorong berkembangnya usaha para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo, yaitu sebagai berikut :

Etos kerja yang tinggi dikalangan pengusaha muslim perkotaan tersebut di atas, telah mampu mendorong perkembangan usaha mereka sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Adapun beberapa perkembangan usaha para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo dapat digambarkan pada tabel di bawah ini :


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa a) Para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat kerja mereka tidak hanya didorong oleh motif-motif ekonomi, yaitu supaya bisa memenuhi kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga didorong oleh motif religi dan motif sosial. Tingginya etos kerja para pengusaha muslim perkotaan dalam menjalankan usahanya adalah modal utama dalam mengembangkan usaha mereka, disamping mereka punya pengalaman dan ketrampilan yang cukup; b) Etos kerja yang tinggi yang dimiliki oleh para pengusaha muslim perkotaan tersebut masih belum didukung sikap profesional layaknya para pelaku bisnis yang berhasil. Hal ini terbukti dengan tidak adanyan jaringan kerja diantara para pengusaha, bahkan mereka sangat mengandalkan pada ikatan emosi masyarakat sesama muslim; dan c) Dari temuan di lapangan diperoleh informasi bahwa para pengusaha muslim perkotaan di kota Ponorogo telah mengalami kemajuan usaha, baik di bidang perdagangan, jasa maupun industri dan hal ini merupakan indikasi penting adanya kemampuan yang baik dari para pengusaha tersebut dalam mengelola dan mengembangkan usaha mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Burhan, Umar. 1997. Memberdayakan Ekonomi Umat : Suatu Kajian Konsepsional dalam Beberapa Bukti Empiris. Jurnal Lintasan Ekonomi, Malang: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Fadhely, Mohamad. 1995. Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam, Peradapan Islam, Kapitalis Budaya Cina di Indonesia. Jakarta: Penerbit Golden Press.
Harsono, Jusuf dan Slamet Santoso. 2005. Solidaritas Mekanik Masyarakat dan Survivalitas Pengusaha Muslim Perkotaan di Ponorogo. Laporan Penelitian Dosen Muda, Nopember 2005, Universitas Muhammaidyah Ponorogo.
Ismail, Munawar. 1997. Islam Kapitalisme dan Sosialisme. Studi Komperatif Sistem Ekonomi. Lintasan Ekonomi, Edisi khusus Januari-April, Malang: Lembaga Penerbit FE Unibraw.
Jaeroni Setyadhi. 2005. Kewirausahaan Islam dan Bayang-bayang Orientalis Barat. IHB Jakarta. Tanggal 20 September 2005. http//www.fajar.co.id.
Kuntowijoyo. 1985. Muslim Kerja Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas. Majalah Prisma, Penerbit LP3ES.
Sukiyanto. 2000. Etos Kerja Salah Satu Faktor Survivalitas Peternak Sapi Perah, Studi Kasus Di Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu Kota Batu Kabupaten Malang, Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Sutopo. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Usman, Sunyoto. 1998. Perkembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Penerbit Pustaka Promethea.

(Artikel ini ditulis oleh Jusuf Harsono dan Slamet Santoso, dan telah dimuat dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus Juni 2006, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta)


Read More......

PERMASALAHAN INDUSTRI KECIL / RUMAH TANGGA DI KABUPATEN PONOROGO

Abstrak : Peranan usaha kecil dalam perekonomian Indonesia dirasakan sangat penting, terutama dalam aspek-aspek seperti kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi di pedesaan dan lain-lain. Usaha untuk mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan merupakan langkah yang tepat sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi Indonesia pada saat ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data yang lebih rinci dari industri kecil/industri rumah tangga di Kabupaten Ponorogo, baik kondisi industri tersebut maupun permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis survei. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling dan pegumpulan data menggunakan teknik angket yang digabungkan dengan teknik wawancara secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh industri kecil/rumah tangga antara lain : 1) Sebagian besar industri kecil/rumah tangga belum mempunyai surat ijin usaha (SIUP); 2) Tingkat pendidikan tenaga kerja pada industri kecil/rumah tangga tergolong rendah, yaitu rata-rata hanya lulus SD atau SLTP; 3) Sebagian besar modal usaha industri kecil/rumah tangga dari modal sendiri dan masih belum banyak yang memanfaatkan modal pinjaman dari lembaga keuangan yang ada; dan 4) Sebagian besar industri kecil/rumah tangga belum pernah mengikuti bimbingan/pelatihan sehingga tingkat keahlian dan pemasaran produk yang dihasilkan masih kurang berkembang.

Kata Kunci : Industri Kecil, Industri Rumah Tangga

PENDAHULUAN
Secara umum usaha kecil yang terdapat di pedesaan adalah industri kecil dan industri rumah tangga. Berdasarkan definisi atau klasifikasi Biro Pusat Statistik (BPS), perbedaan antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah pada jumlah pekerja. Industri rumah tangga adalah unit usaha (establishment) dengan jumlah pekerja 1 hingga 4 orang, yang kebanyakan adalah anggota-anggota keluarga (family workers) yang tidak dibayar dari pemilik usaha atau pengusaha itu sendiri. Kegiatan industri tanpa tenaga kerja, yang disebut self employment, juga termasuk dalam kelompok industri rumah tangga. Sedangkan, indutri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja antara 5 hingga 9 orang yang sebagian besar adalah pekerja yang dibayar (wage labourers). Perbedaan-perbedaan lainnya antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah terutama pada aspek-aspek seperti sistem manajemen, pola organisasi usaha, termasuk pembagian kerja (labour division), jenis teknologi yang digunakan atau metode produksi yang diterapkan dan jenis produksi yang dibuat. Pada umumnya industri rumah tangga sangat tradisional atau primitif dalam aspek-aspek tersebut (Tulus Tambunan: 2000; 1).
Menurut Kwik Kian Gie, dalam “Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen” (1997; 265), secara aspek sosial dan politik, sektor industri kecil adalah sektor yang terdiri atas orang-orang berpenghasilan rendah yang cenderung dilupakan dan diremehkan, tetapi mampu memberi stabilitas untuk ketenangan usaha bagi sektor usaha skala besar, karena antara lain kemampuan menampung tenaga kerja dan pengangguran. Sektor ini juga merupakan sektor paling merana kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya, tetapi bagi bangsa secara keseluruhan, mereka adalah sektor yang mampu berfungsi sebagai peredam, penampung dan penangkal letupan dan ledakan yang secara potensial bisa terjadi dengan meningkatnya pengangguran dari waktu ke waktu.
Mengetahui karakteristik atau sifat utama daripada industri kecil dan indutri rumah tangga di pedesaan, yang sangat padat karya, pemerintah dan kalangan masyarakat beranggapan bahwa pengembangan industri-industri tersebut sangat urgen diupayakan terus agar menjadi suatu kelompok industri yang kuat dan sehat. Usaha untuk mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan merupakan langkah yang tepat sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi Indonesia pada saat ini.
Beberapa kendala yang sering dihadapi oleh pengusaha industri kecil adalah : 1) Keterbatasan Dana dalam Pengembangan Usaha. Pada umumnya pengusaha industri kecil berasal dari golongan ekonomi lemah dengan latar belakang pendidikan terbatas. Banyak diantara mereka yang memilih menjadi wirausahawan kecil karena sulit mencari pekerjaan di sektor formal dan karena memiliki sedikit ketrampilan yang diwarisi dari orang tuanya. Keterbatasan dana membuat usaha mereka sulit berkembang dan tidak mampu melayani permintaan pasar. Bahkan tidak sedikit pengusaha yang modalnya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari; 2) Keterbatasan Kemampuan Teknis. Keterbatasan kemampuan teknis yang meliputi pengadaan bahan baku dan peralatan standar, desain dan mutu produk. Kurangnya pengetahuan tentang bahan baku yang diperlukan, teknologi mutakhir serta pengembangan mode di pasar menyebabkan penampilan produk-produk industri kecil umumnya kurang menarik, kurang rapi dan kualitasnya tidak standar, sehingga kurang mampu bersaing dengan produk pabrik besar yang dihasilkan dengan pelatan otomatis dan bahan baku standar; 3) Keterbatasan Kemampuan Memasarkan. Keterbatasan kemampuan memasarkan menyebabkan banyak produk industri kecil yang meskipun mutunya tinggi tetapi tidak dikenal dan tidak mampu menerobos pasar. Akibat lain yang banyak diderita pengusaha kecil adalah dipermainkan para pedagang yang menguasai mata rantai distribusi, sehingga harga ditekan serendah mungkin dan seringkali pembayaran tertunda (Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen: 1997; 265-266).
Pembangunan ekonomi di pedesaan mempunyai tujuan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui pertumbuhan kesempatan kerja yang produktif dan deversifikasi kegiatan-kegiatan ekonomi atau sumber-sumber pendapatan di pedesaan. Berdasarkan tujuan tersebut, terdapat dua permasalahan penting yang memerlukan pemikiran dan penyusunan/penetapan strategi yang tepat, yaitu mengenai pemakaian sumber daya alam, sumber daya manusia dan faktor-faktor produksi lainnya (modal dan teknologi) yang terdapat di pedesaan dan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah dalam kegiatan ekonomi akan berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan mereka. Demikian juga dengan penggunaan input-input produksi yang tidak efisien mengakibatkan produktivitas yang tidak tinggi, muncul pemborosan dan akhirnya akan membawa dampak yang tidak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Salah satu tujuan pengembangan usaha kecil di pedesaan adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja, khususnya untuk menyerap arus tenaga kerja dari sektor pertanian yang kelebihan tenaga kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat juga dikatakan bahwa usaha kecil di pedesaan merupakan proses produksi secara meluas dengan tujuan utama untuk meningkatkan nilai tambah total dari ekonomi pedesaan. Nilai tambah total yang tinggi hanya dapat dicapai melalui kombinasi antara pertumbuhan jumlah orang yang bekerja di semua sektor ekonomi yang ada di pedesaan dan peningkatan produktivitas pekerja di sektor-sektor tersebut.
Pengembangan usaha kecil di pedesaan dapat dilakukan dengan menggunakan strategi sebagai berikut : 1) Mengadakan penyuluhan untuk perbaikan sistem dan metode kerja, penyempurnaan tata letak mesin dan peralatan, perbaikan sistem pengadaan bahan baku, penerapan gugus kendali mutu dan penerapan komposisi penggunaan bahan baku dan penolong yang lebih baik; 2) Menerapkan kebijakan yang memberi kemudahan dalam perijinan industri, pengaturan tarif, penyediaan kuota ekspor dan fasilitas usaha lainnya; 3) Dalam hal permodalan, persyaratan untuk mendapatkan tambahan modal investasi dan modal kerja akan semakin disederhanakan dan disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan usaha kecil. Selain itu akan dikembangkan pola penyediaan dana bagi pengusaha kecil dan pengrajin melalui Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) seperti leasing atau modal ventura; 4) Melaksanakan kerja sama dengan balai penelitian dan memasyarakatkan hasil-hasil penemuan produk baru kepada usaha kecil; 5) Mengembangkan pola kerja sama antara industri besar, menengah dan kecil dengan sistem “bapak angkat” yang akan menghasilkan bantuan permodalan, informasi tentang teknologi baru dan terobosan pasar baru (terutama pasar ekspor) bagi pengusaha kecil, seperti yang dirintis oleh beberapa BUMN (Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen: 1997; 267-268)
Pengembangan usaha kecil di daerah pedesaan merupakan langkah yang tepat karena sesuai dengan kondisi ekonomi di pedesaan, yaitu terdapat over-supply tenaga kerja, khususnya yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu, usaha pengembangan industri-industri (usaha kecil) di pedesaan tepat untuk dianggap sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk meningkatkan jumlah kesempatan kerja dan memperbaiki distribusi pendapatan di pedesaan pada khususnya dan secara nasional pada umumnya (Tulus Tambunan: 2000; 4).
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai langkah awal untuk lebih mengembangkan usaha kecil di pedesaan, baik industri kecil maupun industri rumah tangga, diperlukan data yang akurat tentang kondisi usaha kecil tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mendapatkan data yang lebih rinci dari industri kecil dan industri rumah tangga di Kabupaten Ponorogo, baik kondisi industri tersebut maupun permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Deskriptif dengan jenis Survei, yaitu untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada, sehingga tidak perlu memperhitungkan hubungan antara variabel-variabel karena hanya menggunakan data yang ada untuk memecahkan masalah daripada menguji hipotesis (Husein Umar: 1999; 23).
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan Teknik Random Sampling, yaitu dengan memberi peluang yang sama untuk setiap anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel. Jumlah sampel yang diambil adalah satu responden untuk satu jenis kegiatan/usaha dalam satu kelurahan/desa lokasi penelitian. Teknik mengumpulkan data menggunakan Teknik Angket (kuesioner), yaitu suatu pengumpulan data dengan memberikan daftar pertanyaan/ pernyataan kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut (Husein Umar: 1999; 49) dan digabungkan dengan Teknik Wawancara Secara Langsung. Jenis pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan menggunakan Model Pertanyaan Terbuka (alternatif jawaban tidak disediakan) dan Model Pertanyaan Tertutup (alternatif jawaban sudah tersedia).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh Tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ponorogo, sebanyak 383 responden (2003; 9), dapat diketahui bahwa di Kabupaten Ponorogo telah terjadi peningkatan jumlah industri kecil/rumah tangga selama pasca krisis ekonomi tahun 1997, yaitu industri kecil/rumah tangga yang telah memulai usahanya sebelum dan pada tahun 1997 sebanyak 289 usaha (75 %) dan yang memulai usaha setelah tahun 1997 sebanyak 94 usaha (25 %). Hal ini mengambarkan bahwa krisis ekonomi tahun 1997 telah membawa dampak bagi masyarakat Ponorogo untuk lebih memacu kreatifitas dalam membuka usaha-usaha produktif di daerah masing-masing.
Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, dari 383 indutri kecil/rumah tangga telah berhasil menyerap sebanyak 1.274 tenaga kerja. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja pada industri kecil/rumah tangga tersebut masih tergolong rendah, yaitu tidak tamat SD sebanyak 180 orang (14%), tamat SD/sederajat sebanyak 566 orang (44%), tamat SLTP/sederajat sebanyak 351 orang (28%), tamat SMU/Sederajat/ Diploma sebanyak 167 orang (13%) dan Sarjana atau ke atas sebanyak 10 orang (1%) .
Selain kondisi masih rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja pada industri kecil/rumah tangga tersebut, sebagian besar industri kecil/rumah tangga yang ada belum pernah mengikuti bimbingan/pelatihan baik dari pemerintah maupun pihak-pihak lain, yaitu dari 383 industri kecil/rumah tangga hanya 62 industri kecil/rumah tangga (16%) yang pernah mengikuti bimbingan/ pelatihan.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh industri kecil/rumah tangga di Kabupaten Ponorogo antara lain masalah modal, masalah pemasaran, kurangnya keahlian, masalah bahan baku dan perubahan harga bahan bakar minyak. Dari sejumlah 383 industri kecil/rumah tangga, yang mengalami masalah modal sebanyak 142 usaha (37%), yang mengalami masalah pemasaran sebanyak 177 usaha (46%), yang mengalami masalah kurangnya keahlian sebanyak 13 usaha (3%), yang mengalami masalah bahan baku atau harga bahan bakar minyak sebanyak 2 usaha (1%), dan yang menyatakan tidak menghadapi permasalahan sebanyak 49 usaha (13%).
Khusus permasalahan modal usaha, industri kecil/rumah tangga yang modal usahanya berasal dari modal sendiri sebanyak 307 usaha (80,5%), yang modal usahanya sebagian berasal dari pinjaman dari bank/koperasi sebanyak 63 usaha (16%), yang keseluruhan modalnya pinjaman dari bank/koperasi sebanyak 12 usaha (3%) dan yang modal usahanya dari hibah keluarga sebanyak 1 usaha (0,5%). Selain permasalahan tersebut, sebagian besar industri kecil/rumah tangga tidak menjadi anggota koperasi yang ada di daerahnya, yaitu dari 383 industri kecil/rumah tangga yang menjadi anggota koperasi hanya 38 usaha (10%).
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, upaya pengembangan industri kecil/rumah tangga dapat lebih diarahkan kepada pembuatan “jaringan usaha” sehingga akan lebih memudahkan kerja sama baik dalam permasalahan pengembangan tingkat keahlian maupun masalah pemasaran terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh industri kecil/rumah tangga. Disamping itu juga diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah, pihak perbankan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan pihak-pihak lain, sehingga pengembangan industri kecil/rumah tangga dapat terarah dan mendapat dukungan dari semua pihak.

KESIMPULAN DAN SARAN
Perkembangan industri kecil/rumah tangga di Kabupaten Ponorogo tahun 2002 sangat mengembirakan, yaitu selama pasca krisis ekonomi tahun 1997 secara kuantitas telah terjadi peningkatan jumlah industri kecil/rumah tangga. Disamping itu, keberadaan industri kecil/rumah tangga mampu menyerap banyak tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dari daerah setempat.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri kecil/rumah tangga antara lain : 1) Sebagian besar industri kecil dan industri rumah tangga belum mempunyai surat ijin usaha (SIUP); 2) Tingkat pendidikan tenaga kerja pada industri kecil/rumah tangga tergolong rendah, yaitu rata-rata hanya lulus SD atau SLTP; 3) Sebagian besar modal usaha industri kecil/rumah tangga dari modal sendiri dan masih belum banyak yang memanfaatkan modal pinjaman dari lembaga keuangan yang ada; dan 4) Sebagian besar industri kecil/rumah tangga belum pernah mengikuti bimbingan/pelatihan sehingga tingkat keahlian dan pemasaran produk yang dihasilkan masih kurang berkembang.
Mengamati perkembangan dan beberapa permasalahan yang dihadapi industri kecil/rumah tangga di Kabupaten Ponorogo, beberapa hal yang dapat disarankan, baik kepada pihak pemerintah (melalui instansi terkait), perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keuangan maupun pihak industri kecil/rumah tangga, adalah : 1) Masih sangat dibutuhkannya bimbingan/pelatihan pada industri kecil/rumah tangga, khususnya menyangkut peningkatan keahlian dan pengembangan strategi pemasaran produk yang dihasilkan; 2) Perlunya peningkatan bantuan pinjaman (kredit lunak) yang dapat mendukung segi permodalan industri kecil/rumah tangga yang membutuhkan; 3) Perlunya dibuat jaringan kerja sama antar industri kecil/rumah tangga, sehingga akan memperkuat baik dari segi permodalan maupun pemasaran produk yang dihasilkan; dan 4) Perlunya peningkatan promosi tentang produk unggulan di Kabupaten Ponorogo, sehingga produk asli daerah dapat dikenal dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Husein Umar, 1999, “Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kwik Kian Gie, 1997, dalam “ Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen”, Penerbit Delta Panangkal, Jakarta.
Tulus Tambunan, 2000, “Langkah-Langkah Startegis untuk Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah”, Makalah dalam Konggres XIV ISEI, tanggal 21-23 April 2000 di Makasar, Sulawesi Selatan.
_______________, 1997, “ Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen”, Penerbit Delta Panangkal, Jakarta.
_______________, 2003, “Laporan Survei Industri Kecil / Rumah Tangga di Kabupaten Ponorogo Tahun 2002”, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah, Ponorogo.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah diterbitkan pada Jurnal Ekuilibrium Vol. 1, No. 1, September 2005, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)


Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO