Abstrak : Paradigma pembangunan telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi. Komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.
Kata Kunci : Ideologi Pembangunan, Media Komunitas
PENDAHULUAN
Bagi penganut aliran teori konflik istilah “Pembangunan” atau Development dianggap sebagai sebuah aliran, ideologi dan suatu bentuk perubahan sosial. Sebagai salah satu dari teori perubahan sosial, teori pembangunan dewasa ini telah menjadi teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial, dan merupakan fenomena yang luar biasa, karena gagasan dan teorinya mampu mendominasi dan mempengaruhi pemikiran manusia secara global, khususnya di Negara Dunia Ketiga.
Gagasan dan teori pembangunan tersebut dianggap mampu menjanjikan untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, istilah pembangunan tersebut sampai saat ini telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.
Konsep pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia Ketiga merupakan pencerminan paradigma pembangunan model barat. Dalam konsep tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”, yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia), penaksiran konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup, disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara, khususnya melalui proses industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Menurut pendapat Dr. Mansour Fakih (2004), selama dua dasawarsa terakhir konsep pembangunan telah menjadi semacam “agama baru” ataupun ideologi baru bagi berjuta-juta rakyat di Negara Dunia Ketiga. Pembangunan menjanjikan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan dalam nasib kehidupan mereka. Masalahnya adalah, meskipun pembangunan telah dilangsungkan, jumlah kemiskinan absolut dan persentase rakyat di Dunia Ketiga terus meningkat. Setiap program pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa pembangunan yang digunakan.
IDEOLOGI PEMBANGUNAN
Pembangunan sebagai proses perubahan sosial menuju tataran kehidupan masyarakat yang lebih baik. Oleh sebab itu, pembangunan sering dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi, atau dengan kata lain pembangunan menyangkut proses perbaikan (Moeljarto T: 1995). Istilah pembangunan sampai saat ini telah digunakan sebagai visi, teori dan proses yang diyakini oleh masyarakat di hampir semua negara, khususnya Negara Dunia Ketiga.
Pembangunan seringkali diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman (1996), sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini, misalnya, karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya. Lingkungannya semakin rusak. Sumber-sumber alamnya semakin terkuras, sementara percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut. Karena ini, perlu dipertimbangkan foktor-faktor baru sebagai tolak ukur terhadap keberhasilan pembangunan, seperti misalnya kerusakan sumber daya alam, polusi yang terjadi akibat limbah industri, dan sebagainya. Bila faktor ini diikutsertakan sebagai tolak ukur, daftar urut keberhasilan pembangunan dari negara-negara yang ada di dunia ini akan mengalami perubahan.
Menurut pendapat Dr. Mansour Fakih (2002), kata “pembangunan” menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya Pemerintahan Orde Baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata “pembangunan” juga menjadi nama bagi Pemerintah Orde Baru, hal itu bias dilihat bahwa nama kabinet Pemerintahan Orde Baru selalu dikaitkan dengan kata “pembangunan”, meskipun kata “pembangunan” sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak Orde Lama. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kata “pembangunan” dalam konteks Orde Baru, sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh Negara-Negara Barat. Sedangkan menurut Dr. Arief Budiman (1996), di Indonesia, kata “pembangunan” sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan “pembangunan”.
Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Mansour Fakih; 2002). Menurutnya, diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu normalisasi mekanisme (Muhadi Sugiono; 1999). Strategi pertama disebut “inkorporasi progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat.
Ketiga strategi tersebut di atas, menunjukkan bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan tersebut.
PERAN MEDIA KOMUNITAS
Membicarakan tentang media komunitas tidak mungkin lepas dari isu-isu atau masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas. Salah satu isu penting yang banyak dibicarakan sampai saat ini adalah perlunya penguatan komunitas setelah sekian lama komunitas kehilangan otonominya akibat pendekatan pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru; hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya Hanif Suranto menyatakan bahwa kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua. Serta berbagai konflik lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.
Gagasan tentang media komunitas berakar dari kritik-kritik terhadap pendekatan komunikasi model liberal yang mekanistik, vertikal dan linier yang telah diterapkan dalam model pembangunanisme. Model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru, seperti sistem media massa yang dirancang memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif, ternyata banyak menimbulkan masalah. Masalah-masalah dimaksud antara lain adalah : Pertama, sifatnya yang top down/elitis/vertikal/searah telah menciptakan jurang informasi antara elit dan masyarakat kebanyakan. Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya media/informasi karena memliki akses yang besar terhadap media; mampu membaca dan membeli. Sementara masyarakat kebanyakan tetap miskin media/informasi karena tidak memiliki akses yang cukup, baik dari sisi ekonomi maupun budaya. Kedua, struktur komunikasi yang feodalistik pada model tersebut juga cenderung manipulatif/eksploitatif karena adanya monopoli sumber-sumber media dan dominasi elit pemberi pesan terhadap masyarakat sebagai penerima pesan (Hanif Suranto; 2006).
Keberadaan media massa pada rezim Orde Baru tersebut dapat dikatakan cenderung menggunakan pendekatan Marxisme Klasik, yaitu media massa merupakan alat produksi yang keberadaaanya disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor-faktor produksi dan hubungan produksinya. Terkait dengan pendekatan marxisme klasik tersebut, Budhi Suprapto (2006) menyatakan bahwa media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penanganannya bisa dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional, untuk memenuhi kepentingan kelas sosial tersebut. Dalam kenyataan yang demikian media bersifat dan berperilaku eksploitatif, baik secara sosial-budaya maupun secara ekonomi. Dengan bahasa yang lebih gampang, dapat dikatakan bahwa media lebih berfungsi sebagai tangan panjang dari pemilik kekuasaan politik dan ekonomi atau kaum kapitalis daripada sebagai sarana yang menyuarakan kepentingan kelas masyarakat kebanyakan. Hal itu dilakukan oleh pihak kaum kapitalis atau penguasa dengan cara mengeksploitasi para pekerja seni dan budaya serta konsumen media secara materiil, sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat. Sedangkan secara ideologis, mereka menyebarkan ide dan cara pandang mereka atau cara pandang kelas penguasa, dengan tujuan agar tidak timbul kesadaran diri dalam benak setiap anggota masyarakat kebanyakan atau kelas powerless.
Kritik atas kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut di atas telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Peran komunikasi dalam model ini lebih komplek dan bervariasi serta tergantung pada strandar dan tujuan normatif dari komunitas tersebut. Oleh karena itu, komunikasi partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.
Dalam konteks proses komunikasi, partisipasi yang dimaksud dalam model media komunitas terkait dengan tiga hal, yaitu : Pertama, soal akses. Secara singkat akses dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menikmati sistem komunikasi yang ada. Dalam prakteknya hal ini ada dua tingkatan, yaitu kesempatan untuk ikut memilih dan memperoleh umpan balik dari sistem komunikasi yang ada; Kedua, soal partisipasi. Partisipasi mengandung pengertian pelibatan anggota komunitas dalam proses pembuatan dan pengelolaan sistem komunikasi yang ada. Dalam penerapannya pelibatan ini dilaksanakan pada semua tingkatan mulai dari tingkat perencanaan, tingkat pengambilan keputusan serta tingkat produksi; Ketiga, soal swakelola dan swadaya. Ini adalah partisipasi yang paling maju. Dalam konteks ini, anggota komunitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut komunikasi. Kekuasaan ini tidak hanya berkenaan dengan akses untuk memperoleh informasi dan untuk berperan serta dalam mengelola sarana akses produksi, melainkan juga menyangkut pengelolaan komunitas terhadap sistem komunikasi dan pengembangan kebijakan komunikasi (Hanif Suranto; 2006).
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa paradigma developmentalisme yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan, yaitu khususnya munculnya berbagai konflik antara komunitas. Terkait dengan hal tersebut, terdapat beberapa peran yang mampu dilakukan oleh media komunitas dalam resolusi konflik, yaitu Pertama, meningkatkan pemahaman bersama antar pihak berkonflik dengan cara memfasilitasi tersedianya informasi yang cukup yang bisa dijadikan dasar pijakan bersama antar pihak yang berkonflik dalam berkomunikasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkaji dan memaparkan secara jelas tidak hanya efek konflik (baik psikis maupun fisik), masalah inti konflik, hingga ke akar konflik; Kedua, mengembangkan nilai dan sikap toleransi atas keberagaman dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai nilai-nilai dan sikap toleransi atas keberagaman yang dipraktekan dalam masyarakat/komunitas. Hal ini dilakukan dengan cara menggali pengalaman-pengalaman anggota komunitas berkonflik yang menjunjung nilai-nilai toleransi baik dalam kontek sejarah maupun kebudayaan komunitas; Ketiga, melakukan monitoring dengan cara memfasilitasi penyediaan informasi mengenai upaya pihak-pihak yang mempertahankan nilai-nilai perdamaian dan pihak-pihak yang mencegah pelan terhadap nilai-nilai perdamaian, serta upaya-upaya atau tindakan-tindakan pihak-pihak yang melanggar nilai perdamaian; Keempat, melakukan advokasi kepada pihak-pihak yang voiceless dengan cara memfasilitasi penyediaan akses kepada pihak-pihak tersebut sehingga dapat turut berpatisipasi dalam proses komunikasi (Hanif Suranto; 2006).
KESIMPULAN
Gagasan dan teori pembangunan dianggap mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, istilah pembangunan tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Dengan demikian teori pembangunan dianggap sebagai ideologi yang disebut Pembangunanisme atau Developmentalism.
Di Negara Indonesia, paradigma developmentalisme (ideologi pembangunan) yang menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem yang dihadapi berbagai komunitas, yaitu antara lain hancurnya identitas kultural dan perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru, hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara atas nama pembangunan dan melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Kondisi-kondisi tersebut akhirnya berdampak munculnya berbagai konflik antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi manipulatif oleh negara. Disamping itu, terkait dengan media komunikasi (termasuk media massa), model komunikasi yang telah diterapkan pada masa rezim Orde Baru ternyata banyak menimbulkan masalah, karena sistem media massa yang ada dirancang untuk memberikan pesan secara baku dan bersifat dari atas ke bawah (top down) serta menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bersifat pasif.
Kegagalan model komunikasi pada rezim Orde Baru tersebut telah mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif, yaitu menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi sehingga komunitas diharapkan mampu merancang standart dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat membantu pengembangan identitas kultural, bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas, menyediakan sebagai alat untuk mendiagnosa masalah-masalah komunitas, serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas.
Media komunitas sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat, baik berbentuk siaran radio, televisi sampai dengan surat kabar. Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur sudah banyak surat kabar lokal (Radar Madiun, Radar Malang, Ponorogo Pos, Krida Rakyat dan lain-lain), telivisi lokal (JTV Jawa Post), apalagi siaran radio (khususnya radio FM) yang sudah tersebar sampai ke daerah-daerah. Semua media massa komunitas tersebut diharapkan akan mampu mengangkat budaya dan permasalahan komunitas tertentu dan mampu menjembatani jika terdapat konflik di daerah dengan jalan memberitakan secara transparan, menjunjung kebenaran dan dapat dipertanggungjwawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Budiman, 1996, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Cetakan Ketiga, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Budhi Suprapto, 2006, “Memahami Keberadaan Komunikasi Massa dalam Masyarakat”, Mata Kuliah Sosiologi Komunikasi, Tanggal 15 Desember 2006, Universitas Muhammadiyah Malang.
Hanif Suranto, 2006, “Media untuk Pemngembangan Komunitas”, www.budpar.go.id.
Mansour Fakih, 2002, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”, Cetakan II, Penerbit INSIST Press bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mansour Fakih, 2004, “Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Moeljarto T., 1995, “Politik Pembangunan. Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi”, Cetakan Ketiga, Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Muhadi Sugiono, 1999, “Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Ekuilibrium, Vol. 3, No. 1, September 2007, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
menarik dan inspiratif
BalasHapus