Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mobilitas sosial yang telah dilakukan para TKI. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ponorogo, dengan jumlah informan penelitian sebanyak 24 informan yang berasal dari beberapa kecamatan yang dianggap sebagai daerah kantong TKI di Ponorogo. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara langsung yang dipandu dengan angket terbuka dan metode observasi. Teknik analisis data berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa untuk mencapai status sosial ekonomi (mobilitas ekonomik) yang lebih baik, para TKI asal Kota Ponorogo telah berani mengambil resiko untuk bekerja di luar negeri (mobilitas horisontal) dalam kurun waktu yang relatif lama. Kesediaan bekerja di luar negeri selain selain adanya daya tarik gaji yang besar, juga adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan keluarga dan ditujukan untuk mencari modal usaha.
Kata Kunci : Mobilitas Sosial, Tenaga Kerja Indonesia
PENDAHULUAN
Krisis moneter pada tahun 1997, yang semula hanya menjangkau bidang ekonomi akhirnya merambah semua aspek kehidupan, seperti politik, pendidikan dan ketenagakerjaan. Ambruknya perusahaan-perusahaan telah mengakibatkan banyak pengangguran. Tragedi ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini telah mendorong sebagian para pencari kerja untuk mengadu nasib dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya kebijakan floating exchange rate di bidang moneter pada situasi ekonomi yang sangat rawan di tahun 1997 ikut merangsang terjadinya perbedaan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing yang sangat besar (Revrisond Baswir; 2003). Perbedaan kurs mata uang rupiah dengan mata uang asing tersebut telah menarik mereka untuk mencari uang di luar negeri, baik di negara-negara Timur Tengah maupun negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Hongkong, Malaysia dan lain-lain.
Para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Terkait dengan bidang ketenagakerjaan tersebut di atas, salah satu fenomena sosial yang terjadi di Kota Ponorogo dan sangat menarik untuk diamati adalah adanya mobilitas sosial yang dialami oleh TKI asal Kota Ponorogo. Menurut pendapat Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985) mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mobilitas sosial horisontal dan mobilitas sosial vertikal. Mobilitas sosial horisontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnnya yang sederajat. Dengan adanya mobilitas sosial yang horisontal tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu obyek sosial. Sementara itu yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau obyek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang derajatnya lebih tinggi.
Konsep tersebut lebih memudahkan dalam memahami perubahan struktur sosial ekonomi para TKI dan keluarganya, mengingat sebagian besar dari mereka mengalami perubahan status sosial ekonomi mereka. Rata-rata mereka mempunyai gaya hidup yang cukup konsumtif. Di satu sisi, gaya hidup konsumtif tersebut menimbulkan dampak positif bagi roda perekonomian di Kota Ponorogo secara luas, tetapi di sisi lain mempunyai dampak negatif bagi para TKI dan keluarganya tersebut. Adanya perubahan struktur sosial ekonomi tersebut, bukan berarti harus mengabaikan konsep mobilitas horisontal. Dalam realita di lapangan banyak dijumpai bahwa seseorang sebelum mengalami perubahan struktur sosial ekonomi sering harus berpindah tempat ke daerah lain, yang jauh dari daerah asalnya, untuk mendapatkan peluang perubahan kondisi ekonomi yang lebih baik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berusaha mendapatkan data dari beberapa wilayah kecamatan yang dianggap daerah kantong TKI di Ponorogo, yaitu Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun dan Jetis. Dalam menentukan informan penelitian menggunakan Teknik Bola Salju (Snow Ball) dan jumlah informan yang berhasil diperoleh sebanyak dua puluh empat informan. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara yang dipandu dengan angket secara terbuka. Dengan metode ini diharapkan agar informan mendapatkan keleluasaan untuk menjawab dan menceritakan pengalamannya secara menyeluruh. Seperti yang disampaikan Suharsimi Arikunto (2002: 125) bahwa dengan metode angket terbuka, informan mempunyai kebebasan untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, metode ini sangat membantu peneliti dalam pengumpulan data di lapangan karena bisa dijalankan dengan sangat luwes. Selain menggunakan metode wawancara tersebut pengumpulan data juga dilakukan dengan metode observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan sehingga mempunyai gambaran yang jelas tentang kondisi para informan yang sesungguhnya.
Mengacu pada pendekatan kualitatif, teknik analisis data pada dasarnya berproses pada bentuk Induksi-Interpretasi-Konseptualisasi. Induksi merupakan tahap awal dalam pengumpulan dan penyajian data yang diperoleh dari lapangan. Data dikumpulkan dan dianalisis setiap meninggalkan lapangan. Interpretasi Data merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk mengurai informasi atau data yang disampaikan oleh informan termasuk makna yang tersembunyi dibalik informasi atau data tersebut. Konseptualisasi merupakan upaya yang dilakukan peneliti bersama dengan para informan dalam memberikan pernyataan tentang yang sebenarnya dialami oleh para informan termasuk terhadap makna tersembunyi dibalik informasi atau data yang disampaikan oleh para informan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo (2007), jumlah TKI asal Ponorogo yang telah berangkat bekerja di luar negeri dan terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo pada tahun 2005 adalah sebanyak 3.040 orang dan pada tahun 2006 telah terjadi penurunan sebesar 46,94%, yaitu sebanyak 1.613 orang. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri masih didominasi oleh perempuan (TKW), yaitu sebesar 78,98% pada tahun 2005 dan sebesar 59,21% pada tahun 2006. Pada tahun 2005, lima kecamatan sebagai penyumbang tenaga kerja ke luar negeri terbesar adalah Kecamatan Sukorejo (12,34%), Kecamatan Babadan (11,94%), Kecamatan Jenangan (11,12%), Kecamatan Siman (8,39%), dan Kecamatan Ponorogo (6,55%). Sedangkan untuk tahun 2006 adalah Kecamatan Jenangan (8,68%), Kecamatan Balong (8,68%), Kecamatan Babadan (7,87%), Kecamatan Sukorejo (7,38%), dan Kecamatan Jambon (6,94%). Sedangkan untuk negara tujuan TKI yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ponorogo adalah Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Arab Saudi, dan Hongkong. Untuk negara Malaysia dan Korea Selatan didominasi oleh TKI berjenis kelamin laki-laki dan untuk negara Singapura, Taiwan, Arab Saudi dan Hongkong didominasi oleh TKI berjenis kelamin perempuan (TKW).
Data primer yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini sebanyak dua puluh empat informan, yaitu berasal dari Kecamatan Ponorogo, Jenangan, Sooko, Siman, Ngebel, Ngrayun, dan Jetis. Berdasarkan usia, informan penelitian termasuk dalam usia produktif, yaitu berusia antara dua puluh empat tahun sampai dengan empat puluh empat tahun, dan mayoritas usianya berada di bawah umur empat puluh tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, mayoritas informan penelitian adalah lulusan SMA. Jumlah informan yang tingkat pendidikan terakhirnya lulus SD sebanyak satu informan, lulus SMP sebanyak tiga informan, lulus SMA sebanyak tujuh belas informan, dan Sarjana sebanyak tiga informan. Sedangkan terkait status perkawinan, mayoritas informan penelitian dalam status sudah kawin, yaitu sebanyak tujuh belas informan, dan yang belum kawin sebanyak tujuh informan.
Beberapa negara tujuan tempat informan bekerja antara lain Hongkong, Malaysia, Korea, Arab Saudi, Sri Langka, Brunei, Taiwan, Amerika, dan Abu Dhabi. Keputusan untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri bukan hanya dilakukan sekali saja tetapi beberapa informan menyatakan telah bekerja sebanyak dua sampai empat kali. Sedangkan lama bekerja informan menjadi TKI adalah antara satu tahun sampai dengan delapan tahun, dengan jenis pekerjaan adalah sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik/restoran, nelayan, tukang, perkebunan, sopir, operator, penjaga toko, dan baby sister.
Usaha memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan atau mencari modal untuk membuka usaha merupakan alasan yang banyak disampaikan oleh informan dalam mengambil keputusan menjadi TKI di luar negeri. Selain itu, besarnya tingkat penghasilan (gaji per bulan) menjadi TKI di luar negeri merupakan daya tarik yang sangat kuat. Oleh sebab itu, beberapa responden yang belum mempunyai rencana usaha setelah tidak menjadi TKI, mereka memilih untuk kembali bekerja menjadi TKI di luar negeri.
Para TKI asal Kota Ponorogo tersebut telah melakukan mobilitas horisontal, seperti yang diteorikan oleh Sorokin (Soerjono Soekamto; 1985). Mereka memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di beberapa negara, misalnya Arab Saudi, Abu Dhabi, Hongkong, Malaysia, Brunei, Korea Selatan, Amerika, Taiwan, dan lebih dari itu ada yang ke Singapura, Jepang dan Bahrein. Mobilitas horisontal tersebut perlu mereka lakukan untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik dibandingkan dengan tetap bekerja di desa masing-masing. Mobilitas horisontal nampaknya menjadi pilihan rasional bagi para TKI mengingat penghasilan mereka di negara-negara di atas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Ponorogo. Rata-rata TKI wanita (TKW) bekerja di sektor domestik atau sebagai pembantu rumah tangga yang berpenghasilan minimal sebesar Rp. 1.500.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja pada sektor yang sama di pusat Kota Ponorogo dengan gaji sebesar Rp. 250.000 per bulan. Demikian juga bila dilihat penghasilan dari seorang TKI yang bekerja di sebuah pabrik maka penghasilan minimal mereka adalah sebesar Rp. 2.700.000 per bulan dibandingkan dengan bekerja di bagian penjaga toko di pusat Kota Ponorogo yang bergaji sebesar Rp. 400.000 per bulan. Selisih gaji yang begitu besar menjadikan mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dari pada bekerja di Kota Ponorogo pada bidang yang sama.
Secara umum para TKI asal Ponorogo telah mampu memperbaiki posisi sosial ekonomi mereka. Mereka berhasil meningkatkan kepemilikan barang yang bersifat konsumtif, seperti handphone, televisi, sepeda motor, mobil, tape recorder, maupun meubeller. Demikian juga mereka telah mampu meningkatkan aset yang investatif, seperti tanah, rumah, toko maupun tabungan. Sebagai contoh Srt, seorang TKW yang tinggal di Jalan Menur dan pernah bekerja di Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga selama delapan tahun. Penghasilan sebagai TKW tersebut mampu untuk membeli tanah, sepeda motor, televisi, tape recorder dan untuk membangun pertokoan. Srt saat ini mempunyai lima buah toko yang disewakan dan ia sendiri juga mengelola sebuah toko kecil yang menyediakan keperluan rumah tangga atau disebut mracang, yaitu antara lain sembako, kosmetik, barang-barang dari plastik dan lain-lain.
Srt merupakan salah satu informan yang telah menginvestasikan hasil jerih payahnya selama menjadi TKI di luar negeri. Lebih dari itu, ia tidak berhenti hanya berinvestasi saja tetapi juga melipatgandakan modalnya dengan berwirausaha mracang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka mempunyai semangat N-Ach, seperti yang diteorikan oleh David M Clelland (Arief Budiman; 2003: 23). Mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kepastian tentang masa depan mereka serta tidak sekedar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Dorongan yang kuat menjadikan mereka berani mengambil resiko walaupun tanpa perlindungan hukum dan politik yang memadai, baik berupa tindak melawan hukum yang dilakukan oknum di Indonesia maupun dari negara tujuan para TKI. Seperti diketahui bahwa telah sering terjadi kecelakaan kerja dialami para TKI yang menyebabkan cacat tetap atau bahkan kematian, tetapi hal tersebut tidak menyebabkan niat mereka surut untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Pendapatan dari gaji selama menjadi TKI barangkali cukup bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Namun, itu semua belum cukup untuk memberikan kepastian tentang masa depan mereka. Keberanian untuk berwirausaha merupakan contoh riil langkah mereka untuk memperoleh kepastian tentang masa depan. Di antara mereka (infroman) saat ini ada yang menjadi makelar, tukang, pengelola toko dan ada juga yang mengelola biro jasa PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada keterkaitan antara etos kerja dan usaha untuk mandiri (berwirausaha) dengan lamanya kerja menjadi TKI atau besarnya gaji selama menjadi TKI. Sebagai contoh, Swr yang telah menjadi TKI di Korea Selatan selama lima tahun sebagai buruh pabrik dengan gaji sekitar Rp. 8.000.000 per bulan, memutuskan akan kembali lagi sebagai TKI di luar negeri. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Awd, penduduk Desa Ngabar Kecamatan Siman yang bekerja di Arab Saudi selama lima tahun sebagai sopir dengan gaji Rp. 1.600.000 per bulan, memilih berwirausaha, yaitu mengelola bisnis alat pesta berupa terop dan mobil angkutan.
Secara umum para TKI asal Kota Ponorogo mempunyai etos kerja yang baik untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan mendapatkan aset yang investatif. Mobilitas sosial yang dialami oleh para TKI asal Kota Ponorogo dapat dipolakan pada gambar 1.
KESIMPULAN
Dengan melakukan mobilitas horisontal, yaitu menjadi TKI ke luar negeri, seperti di negara Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Selama kurun waktu antara 1 tahun sampai dengan 8 tahun, para TKI asal Kota Ponorogo mampu mencapai status sosial ekonomi yang lebih baik (mobilitas ekonomik), yaitu ditunjukkan dengan peningkatan kepemilikan asset berupa handphone, televisi, tape recorder, sepeda motor, sampai pada asset yang bersifat investatif, seperti mobil, rumah, tanah, dan modal usaha berupa toko dan persewaan alat-alat terop. Hal ini semua adalah hasil dari perjuangan mereka yang penuh dengan resiko dan adanya etos kerja yang tinggi untuk pencapaian pemenuhan kebutuhan hidup lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Budiman, 1996, Teori Pembangunan Di Negara Dunia Ketiga, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Soerjono Soekamto, 1985, Max Weber, Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologi, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta,
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Keduabelas, Edisi Revisi V, Jakarta.
Revrisond Baswir, 2003, Di Bawah Ancaman IMF, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_____________ , 2007, Ponorogo dalam Angka Tahun 2006, diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo.
(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Ekuilibrium, Vol. 4, No. 1, September 2008, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo)