Kesimpulan :
Perubahan penari jathil pada seni Reyog Ponorogo dilatarbelakangi oleh permintaan pentas dari pemerintah pusat Jakarta dalam acara Pekan Raya Jakarta yang terjadi pada tahun 1988. Pentas jathil perempuan dalam PRJ tersebut telah melahirkan sejarah baru bagi seni Reyog Ponorogo, meliputi: 1) Perubahan penari jathil perempuan diikuti oleh hampir seluruh group Reyog di Ponorogo; 2) Melahirkan versi pertunjukan reyog baru yang dinamakan versi Reyog Obyog, dimana tarian jathil lebih difokuskan untuk keperluan hiburan, sehingga tidak terikat oleh aturan-aturan tari Reyog Ponorogo yang telah termaktub di dalam pakem Reyog Ponorogo.
Perubahan penari jathil pada seni Reyog Ponorogo dilatarbelakangi oleh permintaan pentas dari pemerintah pusat Jakarta dalam acara Pekan Raya Jakarta yang terjadi pada tahun 1988. Pentas jathil perempuan dalam PRJ tersebut telah melahirkan sejarah baru bagi seni Reyog Ponorogo, meliputi: 1) Perubahan penari jathil perempuan diikuti oleh hampir seluruh group Reyog di Ponorogo; 2) Melahirkan versi pertunjukan reyog baru yang dinamakan versi Reyog Obyog, dimana tarian jathil lebih difokuskan untuk keperluan hiburan, sehingga tidak terikat oleh aturan-aturan tari Reyog Ponorogo yang telah termaktub di dalam pakem Reyog Ponorogo.
Reyog obyog bisa dibilang seni pertunjukan rakyat dan biasanya dipakai untuk acara-acara rakyat seperti; khitanan, pernikahan, dan hajat-hajat lain yang diselenggarakan oleh rakyat (desa). Kehadiran Reyog obyog berarti telah memperkaya versi pertunjukan Reyog Ponorogo yang sebelumnya telah ada, yakni; Reyog Pusaka, Reyog Garapan (festival), dan Reyog Santri; Penari jathil perempuan telah menjadi trend pengembangan seni Reyog Ponorogo, sehingga nampaknya sangat sulit untuk mengembalikan pada asalnya (penari jathil laki-laki). Di tengah-tengah trend jathil perempuan ini, Ki Kasni Gunopati tengah getol mengembalikan jathil seperti asalnya, dengan mempromosikan dan meyakinkan upayanya itu dalam berbagai kesempatan pentas.
Konsep jathil perempuan secara baku belum diatur oleh Yayasan Reyog Ponorogo. Selama ini pengembangan seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan lebih pada persepsi dan kreasi masing-masing group Reyog. Secara umum karakteristik pengembangan tari jathil perempuan bisa dibedakan sebagai berikut: pertama, di kalangan reyog obyog kreasi tarinya mengambil bentuk tari lepas sesuai dengan persepsi dan kreasi masing-masing penari jathil secara individual, sehingga sebuah pentas tari jathil akan terjadi perbedaan yang cukup mencolok, apalagi di dalam reyog obyog ini juga mengambil komposisi improvisasi dari tari gambyong dan joget dangdut; kedua, pada bagian pendahuluan pentas, Pemkab Ponorogo telah mengambil kebijakan (sekalipun tidak tertulis) agar seluruh group reyog mengawali pentas dengan menjadikan tari jathil missal tahun 1995; ketiga, untuk seni reyog garapan (festival) tari jathil lebih terpola secara rapi, disini telah ditentukan misalnya warna dan alat-alat tata busananya, juga telah diatur gerak dan tarinya, sekalipun antar group reyog memiliki kreasi tari sendiri-sendiri.
Seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan disamping satu sisi telah mengantarkan seni Reyog Ponorogo semakin diapresiasi masyarakat luas, juga telah melahirkan perlakuan tidak adil kepada penari jathil nya yang mengarah pada perlakuan diskriminatif dan eksploitatif. Perlakuan tidak adil ini terjadi terutama di seni pertunjukan reyog obyog, dimana disebabkan oleh model pertunjukannya yang terkesan lepas dan bebas. Bentuk-bentuk perlakuan tidak adil itu, meliputi; pelecehan seksual melalui momentum saweran (kesempatan bagi penonton laki-laki untuk menari bersama sambil memberikan uang dalam jumlah tertentu dengan cara menyentuh bagian tubuh penari jathil) ; pemaksaan tunduk kepada laki-laki melalui tari edreg (penari jathil memberikan hadiah berupa sikap menawan kepada penari barongan dan ganongan setiap usai memperagakan aksinya); pelekatan cap perempuan murahan kepada jathil perempuan disebabkan oleh model dandanan (menor atau lebih menekankan dandanan cantik hingga terkesan sebagai perempuan penggoda); dan bahkan cap pelacur baginya disebabkan pola penjemputan dan pengembalian yang berganti-ganti orang dan dengan waktu yang tidak terjadwal, yang terkadang tidak sesuai dengan waktu berkunjung yang dipedomani oleh lingkungan masyarakat tempat tinggal jathil yang bersangkutan, baik saat latihan maupun pentas.
(Hasil Penelitian : Dra. Ekapti Wahjuni Dj., M.Si. dan Drs. Rido Kurnianto, M.Ag., Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Konsep jathil perempuan secara baku belum diatur oleh Yayasan Reyog Ponorogo. Selama ini pengembangan seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan lebih pada persepsi dan kreasi masing-masing group Reyog. Secara umum karakteristik pengembangan tari jathil perempuan bisa dibedakan sebagai berikut: pertama, di kalangan reyog obyog kreasi tarinya mengambil bentuk tari lepas sesuai dengan persepsi dan kreasi masing-masing penari jathil secara individual, sehingga sebuah pentas tari jathil akan terjadi perbedaan yang cukup mencolok, apalagi di dalam reyog obyog ini juga mengambil komposisi improvisasi dari tari gambyong dan joget dangdut; kedua, pada bagian pendahuluan pentas, Pemkab Ponorogo telah mengambil kebijakan (sekalipun tidak tertulis) agar seluruh group reyog mengawali pentas dengan menjadikan tari jathil missal tahun 1995; ketiga, untuk seni reyog garapan (festival) tari jathil lebih terpola secara rapi, disini telah ditentukan misalnya warna dan alat-alat tata busananya, juga telah diatur gerak dan tarinya, sekalipun antar group reyog memiliki kreasi tari sendiri-sendiri.
Seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan disamping satu sisi telah mengantarkan seni Reyog Ponorogo semakin diapresiasi masyarakat luas, juga telah melahirkan perlakuan tidak adil kepada penari jathil nya yang mengarah pada perlakuan diskriminatif dan eksploitatif. Perlakuan tidak adil ini terjadi terutama di seni pertunjukan reyog obyog, dimana disebabkan oleh model pertunjukannya yang terkesan lepas dan bebas. Bentuk-bentuk perlakuan tidak adil itu, meliputi; pelecehan seksual melalui momentum saweran (kesempatan bagi penonton laki-laki untuk menari bersama sambil memberikan uang dalam jumlah tertentu dengan cara menyentuh bagian tubuh penari jathil) ; pemaksaan tunduk kepada laki-laki melalui tari edreg (penari jathil memberikan hadiah berupa sikap menawan kepada penari barongan dan ganongan setiap usai memperagakan aksinya); pelekatan cap perempuan murahan kepada jathil perempuan disebabkan oleh model dandanan (menor atau lebih menekankan dandanan cantik hingga terkesan sebagai perempuan penggoda); dan bahkan cap pelacur baginya disebabkan pola penjemputan dan pengembalian yang berganti-ganti orang dan dengan waktu yang tidak terjadwal, yang terkadang tidak sesuai dengan waktu berkunjung yang dipedomani oleh lingkungan masyarakat tempat tinggal jathil yang bersangkutan, baik saat latihan maupun pentas.
(Hasil Penelitian : Dra. Ekapti Wahjuni Dj., M.Si. dan Drs. Rido Kurnianto, M.Ag., Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar