Konsep Sektor Informal : Pedagang Kaki Lima

Konsep sektor informal pertama kali muncul di dunia ketiga, yaitu ketika dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith Hart (Damsar, 1997: 158), orang yang memperkenalkan pertama kali konsep tersebut pada tahun 1971, mengemukakan bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang selama ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi. Dalam laporannya kepada organisasi buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan model dualisme terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada angkatan kerja perkotaan.
Konsep informalitas diterapkan kepada bekerja sendiri (self employed).

Menurut pendapat Damsar (1997: 158-159), ciri-ciri dinamis dari konsep sektor informal yang diajukan Hart menjadi hilang ketika telah dilembagakan dalam birokrasi ILO. Informalitas didefinisikan ulang sebagai sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal menunjukkan kepada cara perkotaan melakukan sesuatu dengan dicirikan dengan : a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil; d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif.
Karakteristik negatif yang dilekatkan pada sektor informal oleh ILO, banyak mendapatkan kritikan tajam dari berbagai ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang Sosiologi, khususnya Sosiologi Ekonomi. Mereka menganggap bahwa aktivitas sektor informal merupakan suatu tanda berkembangnya dinamika kewiraswastaan masyarakat. Menurut Hernando de Soto dalam The Other Parh (Damsar, 1997: 159-160) informalitas merupakan respon masyarakat terhadap negara merkantalis yang kaku. Oleh karena itu, tidak seperti gambaran ILO yang melihatnya sebagai mekanisme kelangsungan hidup dalam merespon ketidakcukupan lapangan pekerjaan modern, melainkan sebagai serbuan kekuatan pasar nyata dalam suatu ekonomi yang dikekang oleh regulasi (pengaturan) negara.
Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1997: 292-293) dijelaskan bahwa belum ada kebulatan pendapat tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk menerima definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai berikut : a) Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah; b) Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses) bantuan, meskipun pemerintah telah menyediakannya; c) Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor itu mandiri.
Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula serangkaian ciri sektor informal di Indonesia, yang meliputi : a) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedian secara formal; b) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha; c) Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja; d) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; e) Unit usaha berganti-ganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain; f) Teknologi yang digunakan masih tradisional; g) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil; h) Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja; i) Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri; j) Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak resmi; dan k) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah.
Menurut pendapat Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007), pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pandangan Bromley, pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.
Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by experience” (belajar dari pengalaman). Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya.


Read More......

Modal Sosial, Keterlekatan dan Solidaritas

Modal sosial (social capital) merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman tentang masyarakat dan komunitas. Modal sosial menjadi khasanah perdebatan yang menarik bagi ahli-ahli sosial dan pembangunan khususnya awal tahun 1990-an. Diskusi tentang modal sosial ini berawal dari realitas bahwa proses-proses pembangunan yang selama ini dilakukan di negara-negara berkembang diangga terlalu materialistik dan mengkesampingkan aspek-aspek sosial dan kultur (Bobi B. Setiawan: 2004).
Modal sosial merupakan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Terminologi ini merujuk pada organisasi-organisasi, struktur, dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun sendiri oleh komunitas, terlepas dari intervensi pemerintah atau pihak lain.

Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Menurut pendapat Lesser (dalam Bobi B. Setiawan: 2004), modal sosial sangat penting bagi komunitas karena : 1) Mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas; 2) Menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; 3) Mengembangkan solidaritas; 4) Memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; 5) Memungkinkan pencapaian bersama; dan 6) Membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Menurut pendapat Aloysius Gunadi Brata (2004), modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan dikaji belakangan ini. Perhatian besar terhadap peran modal sosial pun makin diarahkan pada persoalan-persoalan pembangunan ekonomi yang sifatnya lokal termasuk dalam hal pengurangan kemiskinan, karena hal-hal ini akan lebih mudah untuk dicapai dan biayanya kecil jika terdapat modal sosial yang besar. Namun, diingatkan oleh Tonkiss (dalam Aloysius Gunadi Brata: 2004) bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok, misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi.
Bagaimana suatu perilaku dan institusi dipengaruhi oleh hubungan sosial merupakan pertanyaan klasik dari teori sosial. Dalam menjawab pertanyaan tersebut Granovetter (1985), dalam Damsar (1997), mengajukan konsep Keterlekatan. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial, yaitu tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Tindakan tersebut tidak terbatas terhadap tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, dan kesemuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah terlekat karena ia diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain.
Selanjutnya Granovetter (dalam Damsar: 1997) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jaringan hubungan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok. Sedangkan menurut pendapat Mitchell (1969), dalam Damsar (1997), bahwa pada tingkatan antar individu, jaringan hubungan sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu terlibat. Pada tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkat dan atau menghambat perilaku orang untuk terlibat dalam macam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Granovetter (1974), dalam Damsar (1997), memperlihatkan bahwa kuatnya suatu ikatan jaringan memudahkan seseorang untuk mengetahui ketersediaan pekerjaan. Dalam hal ini, jaringan sosial juga memainkan peranan penting dalam berimigrasi dan kewiraswastaan imigran. Jaringan tersebut merupakan ikatan antar pribadi yang mengikat para migran melalui kekerabatan, persahabatan, komunitas asal yang sama. Selain itu, kebanyakan kewiraswastaan yang terjadi pada komunitas migran dimudahkan oleh jaringan dari ikatan dalam saling tolong menolong, sirkulasi modal, bantuan dalam hubungan dengan birokrasi.
Terkait dengan konsep Keterlekatan yang disampaikan oleh Granovetter pada tahun 1985 tersebut di atas, Emile Durkheim (tahun 1964) telah mengenalkan Teori Solidaritas, melalui karyanya yang berjudul The Devision of Labour in Society, yang menjelaskan bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik (Doyle Paul Johnson: 1994). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness/conscience), yang menunjukkan pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Solidaritas ini tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama, menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula.
Menurut pendapat Emile Durkheim (Doyle Paul Johnson: 1994), indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Disamping itu, ciri khas yang penting adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkatan homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas tersebut hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. Berlawan dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan ini bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu. Munculnya perbedaan-perbedaan di tingkat individu ini merombak kesadaran kolektif, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi bagi dasar keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang mengambil spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya.
Dalam solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) dari pada yang bersifat represif. Menurut Emile Durkheim, kedua tipe hukum tersebut sangat berbeda, yaitu hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, sedangkan hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang komplek antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pola restitutif ini jelas terlihat dalam hukum kepemilikan, hukum kontrak, hukum perdagangan, dan peraturan administrasi dan prosedur.
Lebih lanjut Emile Durkheim menjelaskan bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas organik sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif; dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang didasarkan pada konsensus moral. Dengan demikian, ketika jumlah penduduk, kepadatan sosial dan pembagian kerja dalam suatu sistem terjadi peningkatan, maka masyarakat akan berubah dari solidaritas mekanik menuju solidaritas organik.


Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO