PEMIKIRAN MICHEL FOUCAULT (1926 – 1984)

Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan bukan merupakan suatu teori perubahan sosial, namun, analisis dan kritik Postmodernisme terhadap proyek modernisme termasuk kritik. Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Mansour Fakih, 2002).
Pada tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory, Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan. Menurutnya diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, 2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu para teoritisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan sosilogi kepada Negara Barat tersebut. Meskipun underdevelopment adalah formasi sejarah yang riil, tetapi hal tersebut telah melahirkan praktek dominasi terhadap Dunia Ketiga. Sejarah dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan “dunia baru” hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan menggunakan diskursus “dunia terbelakang”, dan pada era pasca kolonialisme dengan mendirikan IBRD, tahun 1940an dan 1950an dominan dilakukan dengan diskursus pembangunan. Negara kaya, dengan kekayaan dan teknologinya, merasa mampu untuk menyelamatkan kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan berubah menjadi pembangunan. Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat mereka menjadi yakin akan keberhasilannya. Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat. Dan ketika pembangunan mengalami krisis, diskursus baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktek perubahan sosial adalah membuat teori ini lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam disetiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, dan ini bertentangan dengan umumnya kenyataan ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan, dan asumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Konsep tentang kekuasaan (power) ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaiana berbagai kekuasaan. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta diskursus, birokrat, akademisi, dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab” yang harus disiplinkan, diregulasi dan “dibina” (Mansour Fakih, 2002).Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar (dalam Muhadi Sugiono, 1999) mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu normalisasi mekanisme. Strategi pertama disebut “inkorporasi progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat. Ketiga strategi tersebut menunjukkan bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan tersebut.

Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO