KEMAMPUAN BERTAHAN PEDAGANG WARUNG HIK DI KOTA PONOROGO

Abstract : This research deals with the survival of hik vendors in Ponorogo. This research is aimed at investigating how they can survive in facing the business competition in Ponorogo. The subjects of the research are the vendors and their comsumers. The subject selecting technique snowball. The data collecting technique is in-depth interview and the data analyzing technique is interactive analysis model. The conclusion of this research is as follows : (a) the vendors can develop and survive well in business competition in Ponorogo because they have good survival ability supported by skill and work spirit comprising the good social capital; (b) the consumers that visit these vending stalls are not only for drinking and eating, but also for relaxing, chatting, and other joyful social activisities.

Kata Kunci : Warung Hik (Angkringan), Kemampuan Bertahan

PENDAHULUAN
Perkembangan sektor informal pada saat ini mendapatkan sorotan yang serius oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah. Oleh sebab itu, otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigmatik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ditinjau dari aspek ekonomi, perubahan yang utama terletak pada perspektif bahwa sumber-sumber ekonomi yang tersedia di daerah harus dikelola secara mandiri dan bertanggung jawab, dan hasilnya lebih diorientasikan kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi daerah yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat harus mendapatkan perhatian yang serius, termasuk sektor informal.

Menurut Hidayat (1983), definisi secara umum dari sektor informal adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau sudah menerima bantuan tetapi belum sanggup berdikari. Dari definisi tersebut dapat dibedakan bahwa sektor informal yang berada di daerah pedesaan seringkali disebut sektor informal tradisional yang bergerak di bidang pertanian, sedangkan untuk sektor informal yang berada di daerah perkotaan sebagian besar bergerak dalam kegiatan pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit dan berusaha dalam bidang produksi maupun penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu, serta usaha dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat maupun pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas maupun mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut.
Hasil penelitian dari Soeratno (2000), menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang angkringan di kota Yogyakarta adalah dalam usia produktif, hal tersebut memberikan indikasi bahwa sektor pedagang kaki lima adalah pekerjaan yang dapat diakses. Sedangkan menurut Aris Marfai (2005), dengan modal yang tidak terlalu besar, nampaknya kegiatan angkringan menjadi usaha yang dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Dengan harga gerobak berkisar Rp. 750.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- dan ditambah modal peralatan lainnya yang bisa mencapai Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- serta modal awal untuk kulakan makanan sebesar Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 300.000,- seseorang sudah bisa mendirikan warung angkringan. Data-data tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa pedagang angkringan, termasuk golongan pedagang kaki lima, merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi mampu berkembang dengan baik, sehingga masyarakat kelas bawahpun dapat membuka usaha angkringan tersebut.
Selanjutnya Aris Marfai (2005) memaparkan bahwa angkringan sebagai bentuk kegiatan perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya perekonomian Indonesia menandakan berperannya modal sosial (social capital) dalam perekonomian masyarakat. Disebut modal sosial, karena untuk memulai kegiatan angkringan biasanya dimulai dari informasi kerabat, teman, tetangga atau keluarga yang telah berjualan sebelumnya. Mereka saling membantu dalam permodalan, suplai makanan, tempat tinggal dan informasi, seperti informasi tempat berjualan, tempat kulak dan lain sebagainya. Dalam taraf ini angkringan telah mampu memberikan simbol bahwa modal sosial sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Sebagaimana kegiatan dagang pada umumnya, jalinan hubungan antara pedagang angkringan dengan pembeli merupakan jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan penghasilan. Pembeli yang merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang angkringan bukan hanya dapat menjadi pelanggan tetap namun sekaligus dapat membawa dampak yang menguntungkan bagi pedagang angkringan itu sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Aloysius Gunadi Brata (2004), bahwa dari hubungan dengan pelanggan ini tidak jarang pedagang angkringan juga memperoleh informasi-informasi baru. Walaupun informasi-informasi tersebut umumnya tidak berkaitan langsung dengan aktivitas usaha angkringan, namun pedagang angkringan secara bertahap dapat menambah akumulasi informasi yang dalam bidang atau kesempatan lain mungkin akan berguna, dapat bernilai ekonomis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modal sosial yang mereka miliki, memiliki nilai ekonomis karena dengan begitu mereka memperoleh informasi peluang usaha atau pun merintis usaha warung angkringan.
Perilaku seseorang dalam aktifitas ekonomi tidak hanya merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata tetapi terdapat motif lain yang menyebabkan adanya jalinan hubungan yang erat antara penjual dengan pembeli. Menurut Max Weber (dalam Damsar, 1997) perilaku ekonomi seseorang bisa jadi merupakan suatu tindakan sosial, bila tindakan tersebut memperhitungkan perilaku orang lain. Jaringan hubungan ekonomi antar pembeli dengan penjual, dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan non ekonomi. Hal tersebut terjadi pada suatu masyarakat yang mempunyai ikatan emosional yang kuat baik ras, etnik maupun agama. Keadaan tersebut oleh Durkheim (dalam Kinlock, 1997) disebut sebagai solidaritas mekanik dan banyak dijumpai di masyarakat tertentu yang lebih menyukai melakukan transaksi usaha dengan didasari petimbangan-perimbangan non ekonomi, walaupun sebenarnya transaksi tersebut dapat dilakukan dengan suatu kelompok masyarakat tertentu lainnya dengan perimbangan-perimbangan ekonomi semata.
Hasil studi awal yang dilakukan di kota Ponorogo (Slamet Santoso, 2006), menunjukkan bahwa perkembangan pedagang kaki lima mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pedagang kaki lima yang terdapat di kota Ponorogo antara lain pedagang makanan kecil, warung makan, warung kopi, kios-kios kecil dan lain-lain. Salah satu pedagang sektor informal yang menunjukkan perkembangan (dari segi kuantitas) di kota Ponorogo adalah pedagang warung hik. Yang dimaksud dengan pedagang warung hik adalah pedagang kaki lima (penjualnya laki-laki) yang menjual makanan dan minuman, seperti kopi, teh, jahe, beberapa jenis jajanan dan nasi bungkus. Mereka berjualan di trotoar jalan atau di depan pertokoan, khusus untuk malam hari, setelah toko tutup. Mereka kebanyakan berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, seperti kota Sukoharjo, Solo, Klaten, Wonogiri dan Gunung Kidul Yogyakarta. Istilah pedagang warung hik di kota Solo dan Yogyakarta biasa disebut dengan pedagang warung angkringan. Sekitar tahun 1999-an (pasca krisis ekonomi), jumlah pedagang wurung hik yang ada di kota Ponorogo sekitar 5 (lima) pedagang. Sampai dengan tahun 2006, jumlah pedagang warung hik tersebut mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 20 (dua puluh) pedagang yang telah tersebar di kota Ponorogo. Kehadiran pedagang warung hik tersebut juga mendorong beberapa masyarakat Ponorogo untuk membuka usaha sejenis, dan sering disebut warung kopi lesehan. Dengan demikian, pedagang warung hik disamping harus mampu bersaing dengan sesama pedagang warung hik (sesama pedagang pendatang) juga harus mampu bersaingan dengan warung kopi lesehan (pedagang asli Ponorogo).
Berkaitan dengan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) agar mampu bertahan dalam menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Ponorogo (Kecamatan Kota) Kabupaten Ponorogo. Pengambilan lokasi tersebut berdasarkan kondisi bahwa pedagang warung hik banyak berjualan di wilayah Kecamatan Kota. Sedangkan yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah para pedagang warung hik (pedagang pendatang dari luar kota Ponorogo) yang berjualan di kota Ponorogo. Subyek penelitian ini perlu dipertegas karena disamping pedagang warung hik tersebut masih banyak pedagang warung lesehan yang pedagangnya asli dari kota Ponorogo. Disamping itu, penelitian ini juga membutuhkan data yang dikumpulkan dari para pembeli (konsumen) di warung hik, sebagai data pendukung.
Dalam menentukan informan, teknik yang digunakan adalah Teknik Bola Salju (Snow Ball). Pedagang warung hik yang menjadi informan pertama adalah Winarno, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi usaha di Jalan Diponegoro, selatan perempatan Tambakbayan Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang mandiri. Berdasarkan informasi dari Winarno, yang menjadi informan kedua adalah Suroto, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi di Jalan Batoro Katong timur Mini Market Permata Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang non mandiri. Sedangkan informan ketiga adalah Tarto, yaitu pedagang warung hik dengan lokasi di Jalan Sultan Agung utara Kantor Telkom Ponorogo, dan merupakan pedagang warung hik yang semi mandiri.
Metode pengumpulan data digunakan Wawancara Mendalam (Indepth Interview). Dalam wawancara dengan informan, beberapa informasi yang dipertanyakan antara lain : a) Alasan membuka usaha di kota Ponorogo; b) Pengadaan jajanan dan minuman yang disajikan; c) Waktu aktifitas usaha; dan d) Upaya untuk mempertahankan pelanggan dan kemampuan menghadapi persaingan.
Berdasarkan pola azas penelitian kualitatif, maka aktifitas analisis data dilakukan di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam wawancara mendalam. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan dianggap selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai maka diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang mantap. Menurut Sutopo (2002), proses analisis data tersebut dinamakan Model Analisis Interaktif .

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagi masyarakat kota Ponorogo yang sering ke warung hik merasa tidak asing dengan keberadaan pedagang warung hik. Tetapi bagi masyarakat yang belum pernah ke warung hik, maka akan sedikit kesulitan untuk membedakan dengan warung kopi lesehan, yang juga sudah menjamur di kota Ponorogo. Dalam menjalankan usahanya, pedagang warung hik mengunakan sebuah gerobak dari kayu dan diterangi dengan lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah (thinthir atau teplok), para pedagang warung hik menjajakan makanannya mulai selepas sore (sekitar jam 5 sore) sampai menjelang dini hari (sekitar jam 1 sampai dengan jam 2 malam). Biasanya pedagang warung hik memarkir gerobaknya kemudian menutupi bagian depan dengan terpal mulai dari atap gerobak sampai ke tanah, mirip sebuah tenda. Kemudian mereka memasang bangku tempat duduk di dalam tenda tersebut pada setiap sisi gerobak dan juga menyediakan tikar plastik bagi pembeli yang suka duduk di bawah sebelah kiri dan kanan gerobak.
Di dalam gerobak pada bagian kanan terdapat kompor arang untuk memanaskan air dan di atasnya terdapat tiga teko besar. Tiga teko besar tersebut satu berisi air putih yang dididihkan, satu berisi wedang jahe dan satunya lagi berisi wedang teh. Dibagian kiri ketiga teko besar tersebut biasanya diisi dengan bungkusan nasi, lauk seperti ceker (kaki ayam), tempe dan tahu bacem serta beberapa jenis sate, seperti sate usus dan sate telur puyuh. Nasi bungkus yang disediakan biasanya disebut sego kucing, karena memang isinya relatif lebih sedikit, seperti makanan kucing, berupa nasi dengan sambal teri atau nasi dengan racikan tempe goreng.
Sisi gerobak sebelah belakang (dekat dengan pedagang) biasanya digunakan untuk tempat sendok, berbagai rokok eceran, tempat gula dan kopi. Cadangan gula dan kopi, cadangan rokok dan bahan minum lainnya biasanya disimpan di dalam laci bagian atas gerobak, sementara laci kecil di bawah tumpukan makanan digunakan untuk menyimpan uang. Sedangkan bagian belakang dari tempat duduk pedagang disediakan dua sampai dengan empat ember berisi air yang digunakan untuk persediaan air bersih yang akan dimasak dan untuk mencuci gelas yang kotor.
Berdasarkan hasil pengamatan awal di lapangan, diketahui bahwa sampai dengan tahun 2006 jumlah pedagang warung hik di kota Ponorogo lebih dari 20 (dua puluh) pedagang. Lokasi usaha mereka cukup menyebar pada trotoar jalan atau emper pertokoan di pusat kota Ponorogo. Pada beberapa jalan, misalnya jalan Gajah Mada, Sultan Agung, Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan Batoro Katong, disamping pedagang warung hik, juga banyak pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen (pedagang asli Ponorogo). Dengan demikian, walaupun lokasi usaha pedagang warung hik mampu menyebar di seluruh jalan protokol di kota Ponorogo, untuk dapat bertahan dalam usahanya mereka harus mampu bersaing dengan pedagang warung kopi lesehan dan warung kopi permanen.

Keberadaan Pedagang Warung Hik
Pedagang warung hik di kota Ponorogo merupakan salah satu pedagang sektor informal yang mampu bertahan menghadapi dampak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Disamping mampu memberikan pendapatan untuk keluarga yang relatif cukup, mereka juga mampu membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Bagi kota Ponorogo, keberadaan pedagang warung hik mampu menghidupkan kota Ponorogo pada malam hari. Dengan adanya aktifitas ekonomi di malam hari suasana kota Ponorogo menjadi tidak sepi. Disamping itu, dengan adanya warung hik maka tersedia tempat bagi masyarakat Ponorogo yang membutuhkan tempat untuk santai, ngobrol, maupun berdiskusi pada malam hari.
Terkait dengan pembeli atau pelanggan di warung hik, Winarno menyatakan, ”Pelanggan saya kebanyakan anak sekolah, pedagang dan makelar. Mungkin penyebabnya karena lokasi dagang saya dekat dengan perempatan dan tempat pemberhentian bis”. Menurut Suroto, ”Yang beli macam-macam. Ada pegawai, tukang becak dan pedagang. Pelajar atau mahasiswa yang datang juga banyak”. Sedangkan Tarto menyatakan, ”Yang banyak anak muda dan pegawai swasta”. Pernyataan informan tersebut dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat yang datang di warung hik cukup bervariasi, yaitu antara lain pelajar, mahasiswa, pegawai negeri/swasta, pedagang, tukang becak, buruh kasar, makelar sepeda motor/mobil, dan lain-lain. Sedangkan hasil pengamatan di lokasi berjualan pedagang warung hik, para pembeli yang datang ke warung hik dengan berbagai tujuan, ada yang sekedar membeli makanan atau minuman dan langsung pulang, ada yang bersama teman-temannya mencari tempat yang santai untuk ngobrol sambil menikmati minuman atau jajanan, dan ada yang sengaja menjadikan warung hik sebagai tempat untuk diskusi untuk membahas sesuatu. Tema yang menjadi bahan untuk ngobrol atau diskusi sangat beragam, mulai masalah sekolah, pergaulan remaja, permasalahan pekerjaan, kondisi perekonomian, pelayanan publik, olah raga sampai dengan masalah perkembangan politik di daerah atau negara.

Penggolongan Pedagang Warung Hik
Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan maupun penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, maka pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan non mandiri. Seorang pedagang warung hik dikatakan sebagai pedagang yang mandiri adalah jika mereka memiliki gerobak sendiri sekaligus menyiapkan makanan dan jajanan sendiri, kendati tetap dan selalu bersedia menerima makanan titipan. Pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan semi mandiri adalah jika mereka memiliki gerobak sendiri tetapi makanan dan jajanan dipasok oleh orang lain, biasanya oleh ketua kelompok. Sedangkan pedagang warung hik yang termasuk dalam golongan non mandiri adalah mereka yang menyewa gerobak dan sekaligus mengambil makanan dan minuman dari ketua kelompok, sehingga sifatnya hanya menjualkan saja.
Winarno adalah salah satu pedagang warung hik yang termasuk golongan mandiri. Menurut penuturannya, ”Jajanan dan bahan minuman saya membuat sendiri, yang membuat istri saya. Sekarang ini saya mengontrak rumah di Jalan Astrokoro Ponorogo. Yang tinggal di rumah kontrakan tidak hanya saya dan keluarga saya tetapi juga pedagang warung hik lain, sebanyak empat orang. Mereka tidak saya tarik iuran kontrak rumah tetapi kalau berjualan mereka mengambil jajanan dari istri saya. Saya juga mempunyai gerobak yang dijalankan oleh orang lain dan dia juga mengambil jajanan dari istri saya”. Tarto termasuk golongan pedagang warung hik semi mandiri. Hal tersebut diketahui dari penuturannya, ”Kalau gerobak saya membuat sendiri, kira-kira menghabiskan Rp. 1.000.000,- lebih. Sedangkan jajanannya saya tidak membuat sendiri, tetapi mengambil ke Bapak Sandiyo (Ketua Kelompok). Saya tinggal di rumah Bapak Sandiyo di Jalan Aru (Sukarno Hatta Gang I) Ponorogo. Disana saya tidak ditarik iuran untuk mengontrak rumah. Selain saya, di rumah kontakan tersebut juga tingga empat orang sebagai anggota kelompok Bapak Sandiyo”. Sedangkan Suroto termasuk golongan non mandir. Dia menuturkan, ”Untuk jajanan, saya mengambil ke ketua kelompok saya, Bapak Slamet Widodo, dan yang membuat jajanan adalah istrinya. Modal awal pada waktu mulai usaha warung hik sekitar Rp. 100.000,- untuk kebutuhan bahan minuman dan rokok yang akan saya jual, dan untuk gerobak saya menyewa dari Pak Slamet. Sehari uang sewa gerobak sebesar Rp. 2.000,-”.

Modal Sosial pada Pedagang Warung Hik
Usaha warung hik merupakan salah satu bentuk kegiatan perekonomian kecil yang mampu bertahan di tengah sulitnya kondisi perekonomian. Kemampuan bertahan (survivalitas) tersebut menandakan bahwa modal sosial (social capital) telah berperan baik pada para pedagang warung hik. Disebut modal sosial, karena para pedagang tersebut saling memberikan informasi dan membantu, baik menyangkut peluang usaha, tempat usaha, tempat tinggal, modal, kelompok usaha dan lain-lain. Dengan adanya modal sosial tersebut, mereka menjadi mampu bertahan (survive) di tengah persaingan usaha di kota Ponorogo.
Baik Winarno, Tarto maupun Suroto mempunyai alasan yang hampir sama untuk membuka usaha warung hik di kota Ponorogo. Mereka menghadapi kesulitan mengembangkan usaha warung hik di kota-kota Jawa Tengah dan setelah mendapat informasi dari teman atau kerabatnya yang sudah membuka warung hik di kota Ponorogo, akhirnya mereka pindah usaha di kota Ponorogo. Menurut penuturan Winarno, ”Saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo pada tahun 2002. Sebelumnya juga usaha yang sama tetapi di kota Solo (Surakarta). Di kota Solo usaha warung hik sudah sangat banyak dan sudah sulit untuk dikembangkan. Saya mendapatkan informasi dari adik ipar saya, yang sudah membuka usaha warung hik di kota Ponorogo di Jalan Urip Sumoharjo depan DKT, bahwa di kota Ponorogo masih belum banyak yang membuka usaha warung hik. Setelah bermusyawarah dengan istri maka mulai tahun 2002 saya pindah usaha di kota Ponorogo”. Tarto juga menuturkan, ”Sebelumnya saya juga membuka usaha warung hik di kota Yogyakarta. Usaha warung hik di kota Yogyakarta sudah banyak saingannya. Ketika pulang ke Bayat Klaten, saya ditawari oleh Bapak Sandiyo untuk ikut usaha warung hik ke kota Ponorogo. Akhirnya sekitar tahun 2001 saya ikut Bapak Sandiyo ke kota Ponorogo. Pertama kali saya masih ikut dan membantu Bapak Sandiyo, yang sudah membuka usaha warung hik di Jalan Gajah Mada Timur, Toko Elektonik Gatotkoco Ponorogo. Setelah beberapa bulan dan sudah mengenal kondisi di kota Ponorogo, saya berkeinginan untuk membuka usaha warung hik sendiri dan keinginan tersebut didukung oleh Bapak Sandiyo, bahkan saya dicarikan tempat dan sekaligus ijin kepada orang yang mempunyai halaman yang akan saya tempati”. Sedangkan penuturan Suroto, ”Sebelumnya saya usaha warung hik di Ungaran Semarang. Di kota tersebut usaha warung hik sulit untuk dikembangkan karena pembelinya kebanyakan dari buruh pabrik, sehingga jika pabrik sudah tutup (biasanya jam 11 malam) maka hampir dipastikan tidak ada pembeli. Pada tahun 2004, saya mendapatkan informasi dari teman saya, yang sudah membuka usaha warung hik di kota Ponorogo di Jalan Hayam Wuruk depan Toko Luwes Ponorogo, bahwa di kota Ponorogo masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha warung hik. Akhirnya pada pertengahan tahun 2004, saya mulai usaha warung hik di kota Ponorogo. Di kota Ponorogo, yang mencarikan tempat usaha warung hik saya adalah Pak Slamet (ketua kelompok). Saya sudah mencoba mencari lokasi sendiri tetapi kesulitan karena selain belum mengenal daerah di Ponorogo juga belum banyak mengenal orang yang halaman tokonya bersedia ditempati untuk usaha”.
Berdasarkan penuturan ketiga informan tersebut, dapat diketahui bahwa modal sosial telah berperan dengan baik diantara para pedagang warung hik tersebut dan hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Informasi peluang usaha. Pedagang warung warung hik yang sudah lama membuka usaha di kota Ponorogo memberikan informasi kepada saudara maupun teman di kota asalnya, bahwa di kota Ponorogo masih terbuka luas dan mempunyai prospek yang bagus untuk membuka usaha warung hik. Kebanyakan yang diberikan informasi adalah mereka sudah mempunyai usaha sejenis di kota lain, tetapi menghadapi kesulitan mengembangkan usahannya dan akhirnya mereka tertarik untuk masuk ke kota Ponorogo; b) Informasi tempat usaha. Kebanyakan pedagang warung hik yang baru masuk ke kota Ponorogo kesulitan memilih tempat yang strategis untuk usahanya. Mereka biasanya meminta bantuan kepada pedagang warung hik yang sudah lama dan sudah mengenal daerah di kota Ponorogo, untuk memilihkan tempat yang strategis dan sekaligus memintakan ijin kepada orang yang mempunyai halaman untuk ditempati usaha warung angkringan; dan c) Tempat tinggal dan modal usaha. Pedagang warung hik yang kesulitan untuk mengkontrak rumah atau kost, biasanya bergabung dalam kelompok pedagang warung hik. Yang menjadi ketua kelompok adalah yang sudah mengontrak rumah dan mempunyai usaha membuat makanan dan jajanan untuk disajikan di warung hik. Anggota kelompok biasanya tinggal di rumah kontrakan tersebut dan tidak dipungut iuran untuk kontrak rumah, tetapi jika mereka berjualan makanan dan jajanannya mengambil dari ketua kelompok. Disamping itu, jika ada teman atau tetangga yang ingin membuka usaha warung hik tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka mereka dapat menyewa gerobak yang dibuatkan oleh ketua kelompoknya dan dapat mengambil makanan dan jajanan yang akan disajikan dari ketua kelompoknya.

Survivalitas Pedagang Warung Hik
Kemampuan para pedagang warung hik untuk dapat berkembang dan bertahan (survive) menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo, disamping faktor ketrampilan dan semangat kerja yang mereka miliki, juga didukung dengan berperannya modal sosial dengan baik di antara mereka. Sebelum masuk ke kota Ponorogo, para pedagang warung hik telah mempunyai pengalaman menjadi pedagang warung hik di kota lain (di Jawa Tengah) dan mereka mempunyai semangat kerja yang cukup tinggi. Menghadapi persaingan usaha yang semakin besar di kota-kota Jawa Tengah, mereka tidak putus asa dan tetap berusaha untuk mencari kota-kota lain untuk mengembangkan usaha warung hiknya. Dalam hal ini, peran modal sosial menjadi sangat penting bagi para pedagang warung hik, karena dengan saling memberikan informasi maupun bantuan, baik informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha dan tempat tinggal, menjadikan para pedagang warung hik mampu berkembang dengan baik dan mampu untuk bertahan menghadapi persaingan usaha di kota Ponorogo.
Terkait dengan semangat kerja dan kemampuan mengembangkan usaha warung hik tersebut, penuturan Winarno, ”Saya berjualan tiap hari mulai jam 16.30 sampai dengan jam 01.00 dan kadang-kadang samapi 02.00 WIB. Saya tidak mengenal hari pantangan untuk libur berjualan, kalau kelompok lain ada yang libur berjualan tiap Jum’at Legi. Kalau masalah rezeki saya sudah sangat percaya kepada Allah SWT, yang penting saya terus berusaha dan berdoa. Setiap berjualan saya selalu mencoba ramah dan mengenal pembeli. Sampai sekarang banyak pembeli yang menjadi pelanggan hafal dengan nama saya dan selalu mengajak ngobrol. Mungkin yang membuat warung hik sampai saat ini tetap jalan adalah selain jajanan yang disediakan komplet juga melayani mbakar jajanan. Jajanan yang dibakar banyak disukai pelanggan dan itu tidak ada di warung kopi lesehan”. Demikian juga dengan Suroto, dia menyatakan, ”Saya berjualan tiap hari mulai jam 17.00 sampai dengan jam 01.30 WIB. Tetapi kalau pas hari Jum’at Legi saya libur. Sebenarnya saya tidak ingin libur tetapi karena ketua kelompok dan istrinya yang memuat jajanan libur, akhirnya terpaksa juga ikut libur. Usaha warung hik berbeda dengan warung kopi permanen, selain jajanan yang disediakan banyak, saya juga bersedia membakarkan jajanan dan itu sangat disukai oleh pembeli dan paling laris. Supaya langganan saya banyak, saya berusaha mengajak ngobrol pembeli dan sampai saat ini banyak yang sudah kenal dan akrab dengan saya”. Sedangkan penuturan Tarto adalah, ”Di kelompok Bapak Sandiyo tidak mengenal hari pantangan, jadi tiap hari selalu jualan mulai jam 17.00 sampai dengan 02.00 WIB. Supaya pembelinya banyak, yang penting ramah dan memberi pelayanan yang baik. Di warung hik melayani mbakar jajanan sedangkan di warung kopi lesehan atau warung kopi permanen biasanya hanya mbakar jadah. Jadi saya tidak perlu khawatir untuk kalah saingan, biar masyarakat yang memilih sendiri”.
Dari sisi konsumen atau pembeli, keberadaan warung hik di kota Ponorogo telah mampu memberikan tempat untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi bagi masyarakat Ponorogo pada malam hari. Pembeli yang datang ke warung hik semata-mata tidak hanya untuk membeli makanan dan minuman saja (motif ekonomi), tetapi makanan dan minuman tersebut sebagai pelengkap bagi mereka untuk bersantai, mengobrol dan berdiskusi. Dengan tempat yang sederhana, minuman dan jajanan yang bervariasi, dan tersedia tikar untuk lesehan mampu menarik pembeli untuk berlama-lama bersantai, mengobrol dan berdiskusi di warung hik. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pembeli di warung hik, mayoritas mereka menyatakan bahwa disamping makanan dan minuman yang disajikan mempunyai ciri khas, misalnya tempe dan tahu bacem baker, sego kucing, minuman jahe dan lain-lain, lokasi di trotoar jalan membuat pembeli semakin santai dan nyaman untuk berlama-lama di warung hik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kemampuan para pedagang warung hik di kota Ponorogo untuk mengembangkan usaha dan bertahan dalam menghadapi persaingan usaha (survivalitas), dapat digambarkan sebagai berikut :

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Pedagang warung hik di kota Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan menghadapi persaingan usaha. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah pedagang warung hik yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun; b) Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan usaha tersebut, disamping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang tinggi, juga didorong dengan berperannya modal sosial di antara pedagang warung hik; c) Modal sosial yang telah berperan pada para pedagang warung hik adalah saling memberikan informasi dan bantuan, baik terkait dengan informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha maupun tempat tinggal; d) Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung hik terhadap gerobak untuk berjualan maupun penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, maka pedagang warung hik di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu pedagang warung hik yang mandiri, semi mandiri, dan non mandiri; dan e) Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung hik tidak hanya semata-mata didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan minuman), tetapi didorong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli merasa nyaman untuk singgah berlama-lama di warung hik. Hal tersebut disebabkan, disamping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat duduk lesehan di trotoal dengan beralaskan tikar.

DAFTAR PUSTAKA
Aloysius Gunadi Brata, 2004, Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan, dalam http://staf.uajy.ac.id.
Aris Marfai. 2005. Angkringan, Sebuah Simbol Perlawanan. URL artikel: http://www.penulislepas.com 13 Agustus 2005.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo.
Hidayat. 1978. Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional : Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung : Universitas Pedjajaran.
Kinlock, Graham C. 1997. Sociological Theory, It’s Development and Major Pardigma. Florida State University: Mc Graw Hill Book Company.
Slamet Santoso. 2006. Modal Sosial pada Pedagang Warung Angkringan. Artikel di koran Ponorogo Pos, No. 254 Tahun V, 01 – 07 Juni 2006.
Soeratno. 2000. Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta. Dalam Jurnal OPTIMUM. Volume 1 Nomor 1 September 2000, Yogyakarta.
Sutopo. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Santoso dan telah dimuat dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, Agustus 2006, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta)


1 komentar:

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO