Kelompok Filsuf dalam Analisis Kebijakan

Machiavelli (1469-1527) dan Bacon (1561-1626). Machiavelli berusaha mengkaitkan antara teori-teori pemerintahan dengan politik aktual. Pemerintahan adalah sebuah ketrampilan dan studi pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan. Menurutnya pihak penguasa perlu memahami bagaimana kekuasaan tersebut bekerja. Dengan pemahaman atas realitas politik dan kekuasaan, pembuat keputusan dapat menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki kemampuan lebih besar untuk mengatasi persoalan. Politisi (pangeran, the prince) yang efektif adalah orang yang paling baik dalam memanfaatkan waktu dan situasi.

Kesuksesan, kinerja, dan meraih hasil yang diharapkan adalah kriteria untuk menilai oarang-rang yang bekerja di pemerintahan. Kebijakan adalah strategi untuk mencapai tujuan dan dalam upaya tersebut kebijakan benar atau salah tidak menjadi soal yang terpenting karena yang terpenting kebijakan mana yang dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut. Francis Bacon mengemukakan bahwa kebijakan yang baik pada dasarnya mengandung semacam kesadaran bahwa pelaksanaan kekuasaan memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan legimitasi dengan membangun dukungan dan persetujuan (keseimbangan) ketimbang menciptakan permusuhan. Kebijakan adalah penggunaan pengetahuan untuk mencapai tujuan pemerintahan.
Jeremy Bentham (1748-1823) dan James Mill (1773-1836). Dasar tindakan individu dan kebijakan pemerintah adalah prinsip utilitas, yakni the greatest happiness for the greatest number. Keputusan yang baik seharusnya menghasilkan konsekuensi yang baik pula dan dimungkinkan untuk membuat kalkulasi (secara kuantitatif) dan membandingkan tindakan berdasarkan konsekuensinya. Dengan melakukan kalkulasi terhadap kesejahteraan manusia maka para ekonom dapat menyusun metode perbandingan biaya dan keuntungan dan definisi tingkat-tingkat efisiensinya.
William James (1842-1819) dan John Dewey (1859-1952). James berpendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide, dimana kebenaran tersebut karena adanya kejadian-kejadian. Ide adalah aktivitas yang memampukan manusia untuk memodifikasi lingkungan mereka dalam rangka bertahan dan melanjutkan kehidupan. Pemikiran yang bersandarkan pengetahuan empiris akan mengilhami banyak pembaru sosial, ilmuwan sosial dan politik untuk memperbaikin dan menyesuaikan kebijakan dan prosesnya dalam upaya memajukan umat manusia. Dewey menggunakan metode eksperimen sosial dalam bentuk pembelajaran uji coba (trial and error). Demokrasi dipahami sebagai aktivitas penelitian dimana ide-ide dipertukarkan, dan merupakan tempat dimana masyarakat memecahkan masalah melalui pembelajaran dan pengujian (menggunakan pengetahuan ilmiah).
Rawls dan Nozick : Teori Keadilan. Karya Rawls (1971). Theory of Justice, banyak membahas pandangan utilitarian mengenai kesejahteraan dan mengajukan sebuah model keadilan yang mengandung kejujuran (fairness). Menurutnya perbedaan dapat diterima jika kesenjangan ekonomi dan sosial dapat memaksimalkan keuntungan bagi pihak yang kurang beruntung. Keadilan merupakan kesetaraan kesempatan dimana orang-orang yang mempunyai kemampuan sama harus mempunyai kesempatan hidup yang sama dan hal ini merupakan landasan filosofis dalam menciptakan kebijakan publik. Nozick (1974), Anarchy, State, and Utopia, menentang gagasan Rawls tentang keadilan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan distribusi hasil secara fair. Pendapatnya bahwa konsep keadilan distribusi tidak terlalu tepat secara teori maupun di dunia nyata, tetapi yang terpenting adalah pemberian hak-hak individual secara baik. Keadilan harus berhubungan dengan apa yang menjadi hak-hak individu dan bukan atas dasar sesuatu yang dianggap fair. Distribusi dapat adil jika setiap orang mendapatkan hak atas apa yang mereka miliki. Individu dan pasar merupakan satu-satunya cara di dunia bebas agar masyarakat dapat diatur dengan baik dan mendapatkan keadilan.
Karl Popper : Model Rekayasa Sedikit Demi Sedikit. Popper (1959) menyatakan bahwa metode kebijakan publik yang bertujuan untuk pengambilan keputusan politik menggunakan pendekatan ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Metode ilmiah tidak terdiri dari proses pembuktian logis berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, tetapi lebih berada dalam setting dimana teori dapat difalsifikasi. Pengetahuan tidak pernah final dan semua teori bersifat tentatif. Hakekat pengetahuan bersifat perkiraan dan berkembang melalui proses yang memunculkan teori tentatif. Sedangkan teori bisa jadi tidak benar atau keliru dan karenanya muncul problem baru. Oleh sebab itu, kemajuan sosial bukanlah akibat dari perubahan besar atau total tetapi sebagai akibat dari siklus eksperimentasi trial and error, atau dengan istilah ”rekayasa sosial sedikit demi sedikit”.
Hayek : Tentang Pasar dan Pilihan Individual. Dalam karyanya Road to Serfdom (1944) dan The Constitutional of Liberty (1960), Hayek mengaplikasikan filsafat dan teori ekonomi untuk politik dan pemerintahan. Kebijakan merupakan apresiasi terhadap politik ide-ide dan menekankan pentingnya promosi ide-ide melalui organisasi. Hayek menolak positivistik logis dan mengkritik gagasan bahwa pengetahuan obyektif eksis atau dapat berfungsi sebagai basis untuk mendekdusikan hukum atau merencanakan masyarakat secara ilmiah. Menurutnya, pengetahuan manusia sangat terbatas dan terfragmentasi, maka negara, pemerintah atau birokrasi tidak dapat menyatukan atau mengoodinasikan semua informasi yang terbatas tersebut dalam rangka mengambil keputusan sosial dan mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu. Masyarakat bukan hasil desain manusia tetapi merupakan tatanan yang spontan. Oleh sebab itu, peran kebijakan publik hanya terbatas untuk memastikan agar tatanan spontan dalam masyarakat dan perekonomian dapat berjalan tanpa campur tangan pemerintah atau pengurangan terhadap persaingan bebas. Tugas negara adalah mempromosikan kebebasan individu dan pasar bebas, dan menegakkan aturan undang-undang demi kemaslahatan semua individu. Pembuatan kebijakan bukan untuk memecahkan masalah tetapi sebagai aktifitas memfasilitasi kebebasan personal dalam kerangka atauran dan hukum yang berlaku.
Etzioni : Komunitarianisme. Komunitarianisme menganggap bahwa individualisme pasar mengakibatkan masyarakat menjadi terpecah-pecah dan kehilangan sense of community dan solidaritas sosial, sehingga hubungan yang penting antara negara dengan masyarakat menjadi hilang. Oleh sebab itu, hubungan antar negara dengan masyarakat harus dibangun kembali dan dilindungi dalam rangka membangun kepercayaan etis. Menurut Etzioni (1994) pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan (walfare state) adalah tugas yang semula dilaksanakan negara harus mulai diserahkan kepada individu, keluarga dan komunitas sebagai upaya untuk mengembangkan rasa tanggung jawab personal sekaligus tanggung jawab bersama. Tetapi jika individu atau keluarga yang dekat dengan persoalan tidak dapat mengatasi persoalan maka komunitas lokal diperbolehkan terlibat dan jika komunitas lokal tidak mampu mengatasi persoalan baru negara diperbolehkan terlibat. Terkait dengan kebijakan publik harus ada kejelasan dan dibutuhkan kebangkitan tanggung jawab perorangan, keluarag, komunitas, masyarakat keseluruhan, dan negara.
Hebermas : Rasionalitas Komunikatif. Analisis kebijakan merupakan bidang interdispliner sebagai ide-ide tentang peran akal dalam persoalan manusia. Dalam analisis kebijakan didominasi oleh keyakinan pada rasionalitas dalam memecahkan problem. Namun menurut Habermas, nalar (reason) bukanlah sebuah proses logis untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan secara obyektif, tetapi proses untuk mendapatkan pemahaman dalam suatu konteks sosial. Oleh sebab itu, ia menyarankan perlunya perhatian yang besar kepada bahasa, diskursus, dan argumentasi dalam melakukan analisis kebijakan publik serta dibutuhkan metode analisis baru dan proses institusional baru yang mampu mempromosikan pendekatan interkomunikatif untuk merumuskan dan menyampaikan kebijakan publik.

Read More......

Pergeseran Fokus dan Kerangka Analisis Kebijakan

Fokus orientasi kebijakan terus menerus mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Saat ini metodologi dan filosofi subyek kebijakan menjadi lebih beragam. Tiga aspek kunci dari terjadinya perubahan teori dan praktek analisis kebijakan adalah:
Kekecewaan terhadap pendekatan positivisme. Analisis kebijakan positivisme berasal dari argumen yang mengkritisi sifat investigasi ilmiah dan perubahan teoritis.

Menurut Karl Popper pembuatan kebijakan adalah kegiatan yang mendekati ”rekayasa sosial sedikit demi sedikit”. Menurut Thomas Kuhn, positivisme tidak memahami fakta sebagai bentuk nilai. Sains bukan merupakan aktivitas dimana ilmuwan berusaha membuktikan kesalahan teorinya. Pada dasarnya para ilmuwan menunjukkan keengganan untuk meninggalkan teorinya sampai terjadinya krisis yang memaksa untuk mengubah atau menggeser paradigma. Sedangkan menurut Berger dan Luckman (1966) realitas dikontruksi secara sosial dan bukan realitas obyektif. Oleh sebab itu, kebijakan publik menekankan perlunya menganalisis politik dan kebijakan sebgaai model diskursus yang menuyusun realitas;
Ketertarikan besar pada pasar dan manajemen. Fokus analisis kebijakan dan studi proses kebijakan adalah pada pembuat kebijakan, yaitu bagaimana keputusan dibuat (oleh elit secara pluralistik, rasional, atau inkremental) dan bagaimana kemampuan pembuatan keputusan dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik atau metode baru. Fokus pada pembuat kebijakan atau penguasa (tahun 1960-an) tersebut mulai bergeser setelah munculnya persoalan bahwa pemerintah atau penguasa kelebihan beban dan gagal dalam mengimplementasikan kebijakan (tahun 1970-an), sehingga salah satunya muncul proses pembuatan kebijakan secara bottom up. Tetapi pada tahun 1980-an paradigma atau konsep tersebut juga mengalami pergeseran, yaitu lebih difokuskan pada pemberian kebebasan pada pasar dan menyatakan bahwa intervensi pemerintah atau penguasa (birokrasi) ke dalam pasar semakin memperburuk kondisi pasar. Sampai dengan tahun 1990-an, fokus kebijakan yang lebih mengarah pada kebebasan pasar (kaitan negara, masyarakat, dan ekonomi) dan memandang bahwa administrasi publik sebagai manajemen publik, masih tetap dipertahankan.
Model Baru Proses Kebijakan. Kekecewaan terhadap model yang menjelaskan proses kerja pembuatan kebijakan modern dengan konsep ”segi tiga besi”, yaitu relasi antara pemerintah (administrasi), literatur, dan kelompok kepentingan, mengakibatkan munculnya model baru proses kebijakan. Dalam model baru tersebut menggunakan metafora jaringan (network) dan komunitas (community). Disamping itu, model baru juga memperhatikan peran intitusi dalam ilmu politik, sosiologi, ekonomi yang sering diabaikan oleh para pembuat kebijakan. Model baru tersebut menjadi penting karena dalam proses pembuatan kebijakan publik mencakup bidang yang semakin beragam dan menggunakan lebih banyak kerangka pemikiran.


Read More......

Meta Analisis : Konseb Publik dan Kebijakan

Meta Analisis merupakan metode atau pendekatan yang digunakan dalam studi kebijakan publik, yang mempunyai tujuan untuk memahami dan mengkritisi gagasan, ide, bahasa, asal usul, asumsi, model, dan signifikansi yang digunakan dalam melakukan sebuah analisis kebijakan publik. Dalam melakukan meta analisis kebijakan publik diawali dengan memahami makna dan gagasan tentang publik. Istilah publik merupakan segala aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama.

Oleh sebab itu, sering muncul istilah kepentingan publik, barang publik, sektor publik, akuntabilitas publik, utang publik dan lain-lain. Istilah publik tersebut menjadi berbeda dengan istilah privat atau murni milik pribadi, namun batasan antara ruang publik dengan ruang privat sering menjadi perdebatan atau konflik yang berkepanjangan.
Upaya untuk menjelaskan perbedaan antara ruang publik dengan ruang privat, telah dilakukan oleh para ahli bidang Ekonomi Politik dengan menggunakan gagasan pasar (market) (Habermas, 1989). Kekuatan pasar dapat dianggap sebagai cara untuk memaksimalkan kepentingan individual dan sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Peran negara adalah untuk menciptakan kondisi yang dapat menjamin kepentingan publik dan akan lebih baik jika tidak terlalu banyak campur tangan dalam pasar, atau dengan istilah memberikan kebebasan ekonomi. Kepentingan publik dapat terlayani dengan baik jika negara memfasilitasi kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar, dan bukan membatasi atau mengaturnya. Intervensi publik oleh negara ditujukan sebagai upaya menjamin penegakkan hukum, hak asasi, dan ketertiban. Dengan demikian, tujuan pengambilan kebijakan publik (Laswell, 1971) yang dilakukan oleh negara adalah mengelola ruang publik beserta masalah-masalahnya dan menangani aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang tidak mampu diselesaikan oleh kekuatan atau mekanisme pasar.
Upaya untuk mengelola ruang publik oleh negara tersebut di atas, memunculkan konsep administrasi publik yang merupakan sarana untuk mengamankan kepentingan publik. Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pegawai negeri sipil yang mempunyai tugas melaksanakan semua perintah negara (pemerintah). Oleh karena itu, birokrasi publik menjadi sangat berbeda dengan birokrasi yang ada disektor privat atau swasta (misalnya dunia bisnis, perdagangan atau industri), karena birokrasi publik lebih mengarah kepada upaya untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan nasional, dan bukan untuk mengamankan kepentingan privat atau swasta (Weber, 1991).
Melakukan analisis tentang konsep publik tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan konsep kebijakan. Kebijakan (Wilson, 1887) dapat diartikan sebagai seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan mempunyai pengaruh yang sangat luas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu kebijakan adalah ilmu yang menjelaskan proses pembuatan kebijakan atau menyediakan data yang dibutuhkan dalam membuat keputusan yang rasional terkait dengan persoalan tertentu. Ilmu kebijakan (Lasswell, 1951) mencakup tiga hal, yaitu metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi.
Pandangan ilmu kebijakan (Lasswell, 1970) mengandung ciri khas, yakni a) Berorientasi persoalan; b) Harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan teknik penelitian (multimetode); dan c) Harus menciptakan kreativitas dalam menganalisis persoalan. Selanjutnya Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menggunakan dua pendekatan yang dapat didefinisikan dalam term pengetahuan dalam proses politik dan pengetahuan tentang proses politik, artinya a) Analisis kebijakan berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk, proses politik, dan; b) Analisis proses kebijakan berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik.
Menurut Herbert Simon, studi kebijakan mempunyai jangkauan yang lebih luas dan bersifat multidisipliner yang mempunyai dampak terhadap ilmu sosial yang lainnya. Perhatian terhadap proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas, yaitu sebagai sesuatu yang ”terkekang” namun mampu membuat perbaikan. Menurut pendapat Charles Lindblom (1993) bahwa proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas dengan menggunakan pendekatan ”incrementalism” atau bertingkat naik, artinya bahwa proses pengambilan keputusan merupakan langkah-langkah yang tertata dan penuh pertimbangan, dan pembuatan kebijakan adalah sebuah proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh sebab itu, dalam mempelajari proses kebijakan harus mempertimbangkan berbagai hal, antara lain terkait pemilihan umum, birokrasi, partai, politisi, kelompok kepentingan, dunia bisnis, kesenjangan, dan keterbatasan kemampuan untuk melakukan analisis. Sedangkan menurut pendapat David Easton (1953) bahwa proses kebijakan dapat dilihat dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran input (partai, media, kelompok kepentingan), permintaan di dalam sistem politik, dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan. David Easton berusaha membuat konsep hubungan antara pembuat kebijakan, output kebijakan dan lingkungannya yang lebih luas.

Read More......

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Mei 2009)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: P2FE_UMP, Ponorogo (Oktober 2010)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit: Ardana Media Yogyakarta (Maret 2009)

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit : Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press, Maret 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit Univ. Muhammadiyah Ponorogo Press (Juli 2013

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

Penerbit UNMUH Ponorogo Press Bulan Juli 2015

  ©REYOG CITY. Template by Dicas Blogger.

TOPO